Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 252)

Jumat, 09 September 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang


SELEPAS membayar makan siang, pak Edy mengajakku kembali ke kamar. Ia tetap mengeluhkan perilaku anak sulungnya, sepanjang kami berjalan menyelusuri selasar hingga berpisah di depan kamarku.


“Om, tadi ditanya sipir Ary, waktu apel. Kemana kok om Mario nggak ada di kamar,” kata Rudy, begitu aku masuk ke kamar.


“Tadi ditraktir pak Edy makan siang di kantin, Rud. Dia ngajak ngobrol panjang lebar soal anak sulungnya. Kayaknya jadi pikiran bener soal itu buat pak Edy,” sahutku, seraya melipat kain sarung dan menaruhkan kupluk.


“Emang kenapa anaknya, om?” tanya Rudy.


“Kata pak Edy, anaknya itu selalu pulang pagi. Ibunya sudah nggak bisa ngomongin lagi. Pak Edy takut kalau terjadi apa-apa sama anaknya,” kataku.


“Emang berapa umur anaknya itu ya, om,” ucap Rudy, menyela.


“Kalau kata pak Edy sih, sudah dewasa, Rud. Sudah selesai kuliah dan malahan sudah kerja juga,” jawabku.


“Kalau sudah dewasa, ngapain juga dipikirin ya, om. Berarti kan, dia sudah tahu mana baik dan mana buruknya. Biar-biarin ajalah, toh itu semua proses buat seseorang jadi dewasa,” tutur Rudy. Bak seorang yang telah dewasa.    


“Om juga punya pandangan gitu, Rud. Semua kita kan pasti melewati proses pencarian jati diri sampai pemantapan kedewasaan. Sepanjang nggak aneh-aneh, ya biar aja. Pada hakekatnya, orang tua itu ibaratnya hanya mengantar sampai depan pintu aja. Soal apakah anak itu mau melangkah ke kanan atau kiri, ya sudah pilihannya sendiri,” uraiku, panjang lebar.


“Jadi, ngomong-ngomong om sudah makan siang ini ya? Gimana kalau cateringnya Rudy anter aja semua buat om Ino. Sebab, Rudy sudah makan juga,” ujar Rudy, mengalihkan pembicaraan.


“Ya sudah, kirim aja buat Ino, Rud. Masing-masing kita sudah dikasih rejeki sama Allah, makanan yang ada kita bagi aja dengan yang lain, biar terus berputar rejeki kita dan barokah,” kataku.


Beberapa saat kemudian, Rudy telah kembali ke kamar, setelah mengantar catering makan untuk Ino di kamar 19. Ia menyampaikan pesan, sebelum solat Ashar, Ino ingin ketemu aku.


Seusai merapihkan pakaian kotor dan memasukkannya ke kantong plastik tempat baju kotor, aku merebahkan badan. Tidur siang.


Sekira satu jam lebih menikmati istirahat siang, aku dibangunkan Rudy. Ia memberitahu, Ino menungguku di ruang depan. Masih dengan rasa kantuk, aku keluar. Menemui Ino yang telah membawa kain sarung dan kopiahnya.


“Maaf, terpaksa ganggu tidur siangnya ini, om,” kata Ino, seraya tersenyum.


“Nggak apa-apa, Ino. Tadi Rudy memang sudah sampein kalau kamu mau ketemu. Emang ada yang penting ya, sampai pakai pesen segala,” sahutku.


“Yah, penting nggak penting juga sih sebenernya, om. Tapi lebih kepada pengen minta masukan om aja,” ujar Ino. 


“Sepanjang om bisa kasih masukan, ya om sampein ke kamu, Ino. Santai aja,” kataku, dengan enteng.


“Aku kayaknya mau pindah kamar, om. Ke kamar atas. Biaya mingguannya lebih murah. Emang isinya lebih banyak. Kamarnya juga lebih kecil. Sumpek sih. Cuma, kayaknya itulah satu-satunya cara buatku bertahan hidup disini,” Ino mengurai persoalan yang dihadapinya.


Sesaat aku terdiam. Aku tahu persis mengapa Ino mengambil pilihan tersebut. Tidak lain karena kondisi ekonomi keluarganya benar-benar terpuruk dan tidak mampu untuk mengirim dana sewajarnya untuk dia selama menjalani hukumannya. Yang tinggal beberapa bulan lagi. 


“Intinya, yang paling tahu kondisi kita, ya kita sendiri, Ino. Lakuin aja apa yang kamu yakini. Soal tempatnya lebih sempit, bakal umpel-umpelan atau pasti jauh dari kenyamanan seperti yang kamu rasain selama ini, ya itulah kenyataan yang harus diterima. Yang penting, tetap jaga hatimu, terus optimis, terus bisa kendaliin jiwa dan pikiran, dan yang lebih utama jangan keluhin kondisi yang ada sampai buatmu lupa untuk bersyukur,” tanggapku, beberapa saat kemudian.


“Terimakasih masukannya, om. Aku sebenernya emang sudah mantep dan yakin sama pilihan ini. Cuma biar lebih sip lagi, perlu masukan om. Sebab, om kan orangnya simpel dan nyantai-nyantai aja ngadepin situasi apapun,” ujar Ino. Kembali pria berbadan tambun ini mengurai senyumnya.


“Om juga banyak belajar dari orang dan kehidupan yang sama-sama kita lakoni selama ini, Ino. Nggak ada lebihnya. Prinsipnya, kita nggak boleh takut saat melewati kegelapan. Karena kalau kita nggak melewatinya, kita nggak akan pernah sampai pada cahaya yang kita mauin,” ucapku.


“Cuma kata pak Sibli, kalau aku pindah ke kamar atas, aku bakal hilang dari peredaran, om,” kata Ino, menyela.


“Maksudnya apa ya, Ino?” tanyaku, tidak paham.


“Nurut pak Sibli, kamar atas itu kan kayak tempat buangan untuk tahanan, om. Orang-orang susah, orang-orang fakir miskin, tahanan berkelas AI, atau yang nggak diurus keluarganya, yang mayoritas nempatin kamar atas itu. Nanti pergaulanku jadi terbatas dan kawan-kawan selama ini, bakal lupain aku,” jelas Ino. Mengurai.


“Nggak usah mikirin yang gituan, Ino. Emang apa hebatnya kita bergaul luas di rutan ini. Emang apa lebihnya kita jadi tahanan terkenal di dalem sini. Dan kamu jangan pernah ngerasa jadi fakir ya. Kamu masih terus dikasih rejeki sama Allah. Orang fakir miskin itu bukan orang yang nggak punya uang. Tapi orang yang nggak berakhlak dan beradab. Inget itu. Lakuin dan jalani yang nurut kamu terbaik buatmu. Nggak usah mikirin penilaian orang lain,” kataku, panjang lebar.   


“Tapi, kalau sampai kehilangan kawan atau sahabat, kan sedih juga, om,” tutur Ino, ada nada memelas.


“Ino, inget ya. Yang namanya sahabat itu tetaplah seorang manusia. Yang kadang salah, kadang khilaf, punya kepentingan sendiri, dan punya kehidupannya sendiri. Yang harus kita lakuin, gimana caranya kita bisa saling ngerti, saling mahami satu sama lain. Karena itulah sesungguhnya inti dari sebuah persahabatan. Jadi bukan soal tempat yang sama, atau runtang-runtung kesana-sini bersamaan,” jelasku.


“Jadi nurut om, sudah bener ya pilihanku pindah kamar ini?” tanya Ino, setelah berdiam beberapa saat.


“Kamu jangan ragu dengan pilihanmu sendiri, Ino. Yakini itulah yang terbaik buatmu. Selesai. Yang harus kita jaga adalah gimana kita selalu dikelilingi sama orang-orang yang suka bicara soal ambisi, ide-ide, hal-hal positif, dan kesuksesan. Mereka ini yang akan bantu kita naik level. Kamar itu kan cuma tempat kita naruh badan aja. Tetep manfaatin waktu pintu dibuka untuk bersosialisasi sama kawan-kawan yang baik,” lanjutku, kembali dengan panjang lebar.


Suara adzan Ashar terdengar dari masjid. Aku berwudhu dan setelah Rudy siap, kami bertiga keluar kamar. Berjalan bersama menuju masjid. Mataku terus menatap ke bawah. Ke kakiku yang melangkah pelan. Bersamaan dengan tapakan langkah itu, ku iringi dengan mengucapkan kalimat: Alhamdulillah. (bersambung)

LIPSUS