Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 254)

Minggu, 11 September 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang


SETELAH mandi sore dan memakai training, aku duduk di atas kasurku. Membuka Alqur’an dan membacanya. Sambil menunggu suara adzan dari masjid.


Rudy mendatangiku. Meminta obat tolak angin cair. Ia mengaku seharian badannya gregesan.


“Masuk angin kasep kalau kata orang tuaku, om,” ucapnya, sambil meringis menahan badannya yang gregesan tidak karuan.


Aku sarankan ia meminum tolak angin cair dengan mencampurkan air panas setengah gelas. Sehingga proses pelarutanya di dalam tubuh akan lebih cepat. 


Suara adzan Maghrib menggema dengan syahdunya. Membawa perubahan suasana. Dari terang menjadi gelap. Tanpa disadari, senja telah mengajarkan jika keindahan itu beradanya di akhir.


Aku keluar kamar sendirian. Rudy memilih solat di kamar akibat kondisi badannya sedang terserang demam. Ditengah pelaksanaan solat Maghrib berjamaah, mendadak hujan turun dengan derasnya. 


Begitu derasnya hujan disertai angin itu. Hingga percikannya memasuki sebagian ruangan masjid. Yang memang terbuka. Beberapa jamaah yang terkena tampias, tampak terusik konsentrasinya. Bahkan, ada yang menghentikan solatnya untuk berpindah ke tempat lain yang jauh dari terpaan air hujan yang dibawa angin.


Curahan hujan yang tumpah dari langit, semakin lama kian deras. Para anggota majelis taklim bersama-sama mengepel lantai masjid yang basah. Suara bacaan istighfar terus mengalun bersamaan dengan gerakan mereka membersihkan masjid. Dilanjutkan dengan bacaan solawat yang disenandungkan dengan rancaknya. 


Aku berdiri di sudut kiri belakang bagian masjid. Menempelkan badan di tembok. Mengikuti gerakan bacaan solawat yang ditembangkan oleh anggota majelis taklim. Begitu khidmat dan menyatu dengan semesta. Pengagungan kepada Kanjeng Nabi yang demikian tulus, bersahutan dengan suara air hujan yang jatuh mengenai asbes masjid. 


Ustadz Umar mengambil mike. Dan berbicara dengan kencangnya.


“Mari kita semua berdoa. Allahumma sayyiban nafi’an. Memohon kebarokahan Allah atas hujan yang Ia turunkan saat ini,” kata ustadz Umar dengan suara khasnya. Berat dan menggema.


Semua jamaah yang saat itu terjebak hujan di dalam masjid, membaca doa yang diajarkan ustadz Umar. Menengadahkan tangan. Menatapkan wajah dan mata ke langit-langit masjid. Seakan pandangan itu menerobosnya. Dan langsung sampai ke langit. 


“Teruskan doanya, hingga kita merasa doa itu telah sampai di langit. Bayangkan kita menjadi elang, yang tidak banyak bicara tetapi punya kekuatan untuk menyentuh langit,” kata ustadz Umar, terus menggelorakan semangat.


Puluhan jamaah terus memanjatkan doa kepada Sang Pemberi. Dan perlahan, hujan pun mereda. Banyak anggota majelis taklim yang terus membacakan doa sambil membersihkan lantai masjid dari percikan air hujan. Termasuk Danil dan Jhon. Tampak mereka demikian takdzim menjalani proses penyadardiriannya. 


Hingga waktu solat Isya tiba. Kami semua langsung solat berjamaah. Dan seusainya, ustadz Umar memberi kultum. Ia mengajak semua jamaah untuk terus melakukan muhasabah. 


“Karena kita adalah makhluk yang suka menyalahkan yang ada diluar, tidak menyadari bila masalah besarnya dari dalam,” ucapnya.


Ustadz Umar melanjutkan, apabila Allah menginginkan kebaikan kepada seorang hamba, dijadikanlah hatinya tidak mengingat amal kebaikannya, dan dijadikan lisannya tidak ingin mengabarkan amalnya kepada manusia. Allah jadikan ia sibuk mengingat dosa-dosanya saja.


“Kita semua mesti yakin, Allah menjadikan pada tiap-tiap sesuatu ada kadarnya, pada tiap-tiap kadar ada masanya, dan pada tiap-tiap masa ada ketetapannya. Dan semua orang memiliki jatah untuk jatuh, karenanya tidak perlu panik. Yang penting kepada Allah terus patuh. Yakin, semua akan membaik atas kehendak-Nya. Bukan atas kemauan makhluk,” urai ustadz Umar.


Mengenai kehidupan para tahanan di dalam rutan, ustadz Umar, mengibaratkan benih kecil yang untuk tumbuh, ia harus jatuh ke tanah kotor, tertutup dalam kegelapan, dan berjuang untuk mendapatkan cahaya.  


“Teruslah kita bermuhasabah dan merendahkan hati. Sebab, hakekat hidup ini tidak perlu terlalu terang, cukup ada. Tidak redup dan tidak pernah padam. Karena cahaya yang terlalu terang, justru akan menyamarkan penglihatan,” imbuhnya dengan bahasa bersayap.


Mengakhiri kultumnya, ustadz Umar menyampaikan, roda kehidupan selalu berputar. Kita tidak akan pernah tahu posisi kita akan di atas atau di bawah. Jika suatu hari nanti kita terlupa dimana tempat menabur benih, niscaya hujan akan memberitahukan dimana kita menanamnya.


Setelah hujan semakin mereda, barulah kami meninggalkan masjid. Untuk kembali ke kamar masing-masing. Danil dan Jhon sempat menyalamiku saat kami berjalan bersama menyelusuri selasar.


“Terus jaga kesehatan kalian ya,” pesanku kepada keduanya, saat aku akan masuk ke pintu utama Blok B. Sementara mereka masih harus berjalan sekitar 250 meter lagi untuk sampai di pintu masuk Blok A, tempat kamar khusus anggota majelis taklim berada.


“Abang juga selalu jaga kesehatan lo. Sekarang lagi musim pancaroba. Cuacanya nggak menentu,” sahut Danil dan memelukku penuh ketulusan.


Sesampai di kamar, aku melihat Rudy meringkukkan badannya di kasur tipisnya. Dibawah jeruji besi utama kamar kami. Aku pegang badannya cukup panas. 


Ku ambil obat penurun panas dan air putih hangat. Aku bangunkan Rudy untuk ia minum obat.


“Tadi kan barusan minum tolak angin, om. Apa nggak nanti malah over obatnya, kalau ditambah minum obat ini,” kata Rudy.


“Nggak apa-apa, Rud. Masing-masing obat ini kan punya daya kerjanya. Nggak bakal ngacau di badanmu,” ujarku, meyakinkan.


Akhirnya, Rudy mau meminum obat penurun panas yang aku berikan. Dan setelahnya, ia kembali meringkukkan badannya. 


Aku duduk di kursi ruang depan. Sekitar setengah meter dari tempat Rudy tiduran. Tampak sesekali badannya bergoyang-goyang. Gregesan. Demam tinggi. Kasihan aku melihat kondisi anak muda berusia 27 tahunan itu. Sudah jarang ditengok keluarga, kini ia sakit pula. 


Beruntung, ia memiliki mental yang cukup tangguh, sehingga tetap bisa bertahan hidup sewajarnya di dalam rutan. Juga dikenal ringan tangan dan berperilaku sopan kepada siapapun. Hingga semua penghuni Blok B senang berkawan dengannya.  


Karena begitu terpakunya mata dan pikiranku kepada Rudy yang sesekali menggerakkan badannya menahan deraan demam, tanpa aku sadari ada seorang sipir telah berdiri di depan jeruji kamar.


“Rudy kenapa, om?” tiba-tiba sipir itu mengeluarkan kata. Sipir Almika berdiri di depan jeruji besi.


“Kena demam. Badannya gregesan kata dia tadi. Sudah minum obat sih. Lagi proses penyembuhan aja,” sahutku, dengan nada terkejut.


“Dari tadi mika perhatiin, om kayaknya prihatin bener ngelihat Rudy kayak gini,” lanjut sipir Almika, sambil membuka pintu kamarku dan duduk di kursi sebelahku.


“Iya, kasihan om lihat dia, mika. Mudah-mudahan aja sakitnya nggak berkepanjangan. Besok pagi om ajak dia ke poliklinik dulu, biar dapet obat yang bagus,” kataku.  


“Rudy biasa dikerikin nggak ya, om. Kalau biasa, baikan dikerikin aja dulu. Untuk pertolongan awal,” saran Almika.


Aku bangunkan Rudy. Dan menawarinya untuk dikerik terlebih dulu badannya.


“Siapa yang mau ngerikin, om. Kalau nyuruh tamping, Rudy nggak punya uang buat bayarnya,” ucap Rudy. Ada senyum kecut di bibirnya yang memucat.


“Nanti om yang bayarin. Nggak usah kamu pikirin soal itu. Yang penting kamu mau dikerik aja,” sahutku dengan santai.


Tiba-tiba sipir Almika bergerak. Keluar kamar. Dan tidak lama kemudian ia kembali lagi bersama seorang tamping pos jaga. Tamping itu telah membawa koin untuk mengerik, juga minyak gosoknya.


“Buka bajumu, Rud. Biar cepet dikerik,” perintah sipir Almika. 


Dan beberapa saat kemudian, tamping itu telah menjalankan tugasnya. Mengerik seluruh badan Rudy.


“Terimakasih bantuannya ya, mika,” kataku, sambil menatap Almika.


“Sama-sama, om. Santai aja, om. Mika tinggal dulu ya. Nggak usah om pikirin soal bayaran buat tamping yang ngerik, urusan mika itu,” ujarnya, dan berdiri. 


Setelah menyalamiku, sipir muda usia yang dikenal sangat perhatian dengan penghuni rutan itu, keluar kamarku. Menuju tempat tugas favoritnya. Di menara pos jaga bagian depan.  


“Alhamdulillah. Itu Rud. Kamu sakit aja masih tetep Allah kasih rejeki lewat sipir Almika. Kurangi ngeluh. Tahan sakitmu dengan terus istighfar dalam hati,” kataku kepada Rudy yang tengah mengerang kesakitan menjalani kerikan dibadannya. (bersambung)

LIPSUS