Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 256)

Selasa, 13 September 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang


OBROLAN ringan kami terganggu dengan terdengarnya teriakan dan suara pukulan berkali-kali dari kamar 19. Dengan spontan, sipir Mirwan melompat dari tempat duduknya, dan berlari keluar kamar. Tanpa sempat memakai sepatu larasnya.


“Ada apa ini?” terdengar suara sipir Mirwan dengan nada tinggi. 


Aku pun terburu-buru keluar kamar. Dan berdiri di samping Mirwan di depan jeruji besi.


“Ini, dan. Pak Sibli ngamuk. Gebukin kami yang main kartu,” kata seorang tahanan seraya meringis, menahan kesakitan akibat tamparan di wajahnya. 


Aku melihat, saat itu pak Sibli berdiri sambil bertolak pinggang. Di tengah-tengah pintu penghubung ruang luar dan dalam. Ada empat tahanan yang digebuk oleh mantan anggota Polri tersebut. Yang saat itu tengah bermain kartu.


Aku menggerakkan tangan. Memanggil pak Sibli. Pria seusiaku yang tersangkut kasus penggelapan tanah milik mantan komandannya itu, bergerak mendekat.  


“Kenapa sampai main gebuk, pak?” tanyaku, dengan santai.


“Kesel aja, bang. Sudah empat kali aku ingetin, kalau main kartu jangan berisik amat. Kami yang lain kan jadinya nggak bisa tidur, karena mereka ini teriak-teriak mainnya,” ucap pak Sibli, seraya berupaya keras mengendalikan emosinya.


Sipir Mirwan meminta tamping kunci membuka pintu kamar 19. Keempat tahanan yang digebuk pak Sibli diperintahkan keluar. Duduk di lantai depan kamar. 


Sedang pak Sibli masih berdiri di dalam kamar, menempelkan badan di jeruji besi karena tengah berbincang denganku.


“Ada yang sampai luka atau berdarah nggak?” tanya sipir Mirwan kepada empat tahanan yang telah duduk di lantai depan kamar.


“Nggak ada sih, dan. Paling juga memar aja. Kalau sudah dikasih balsem, kayaknya langsung kempes,” jawab salah satunya. 


“Ada yang mau bales dengan ngegebuk pak Sibli nggak?” tanya sipir Mirwan lagi. 


Keempat tahanan itu saling berpandangan. Dan tidak lama kemudian, mereka mengangkat bahu masing-masing. Selepasnya, memberi isyarat dengan menggelengkan kepalanya.


“Jadi, nggak ada yang mau ngebales pak Sibli ya? Beneran ya. Kalau sudah oke, aku mau panggil pak Sibli buat minta maaf sama kalian,” kata sipir Mirwan, dengan suara santai.


Kembali keempat tahanan itu hanya diam. Dan beberapa saat kemudian, menganggukkan kepalanya bersamaan.


Sipir Mirwan memanggil pak Sibli, yang berdiri di depanku. Dipisahkan oleh jeruji besi. Dengan langkah cepat, napi berbadan tinggi besar itu melangkah keluar kamar.  


“Pak Sibli, saya minta sekarang juga Anda meminta maaf ke kawan-kawan ini. Dan jangan lagi main tangan sekesel apapun,” kata sipir Mirwan dengan tegas, seraya menatap pak Sibli.


Tanpa bicara apapun, pak Sibli mendatangi keempat kawan sekamarnya yang duduk ndeprok di lantai. Dan dengan suara pelan, ia menyampaikan permohonan maafnya. Sambil menyalami mereka satu-persatu.


“Jadi sudah nggak ada masalah lagi ya. Ya sudah, kalian berempat masuk lagi. Pak Sibli ikut saya ke kamar 20,” kata sipir Mirwan, beberapa saat kemudian.


Pak Sibli duduk di kursi ruang depan kamarku sambil menundukkan wajahnya. Di sampingnya, sipir Mirwan. Sedang aku duduk di lantai, sekitar 1 meter dari mereka. Di sebelah Rudy yang tengah terbuai mimpi.


“Kenapa mesti main tangan, pak? Tinggalinlah kekasaran fisik semacam itu. Biasakan mencari cara lain yang lebih elok untuk memberi teguran kepada kawan satu kamar,” kata sipir Mirwan, dengan suara pelan.


“Maaf, dan. Sebenernya, aku sudah berusaha sabar. Empat kali menegur mereka dengan cara baik-baik. Semua kawan di kamar juga tahu. Tapi, nggak dianggep omonganku. Mereka malah mainnya sambil teriak-teriak. Seperti sengaja mengejekku. Lama-lama, ya emosi jugalah, dan,” sahut pak Sibli, terus terang.


“Saya tahu, selama ini Anda termasuk orang yang sabar. Walau sering kesal, namun tetep nunjukin senyum. Maka saya heran, kok malem ini Anda sampai meledak gini. Pasti ada sesuatu yang sedang dirasa kurang enak, atau lagi kenapa ya,” sambung sipir Mirwan, menggali informasi.


“Jujur, dan. Pikiranku memang lagi kusut nggak karuan. Ditambah sejak sore tadi, sakit gigiku kambuh. Jadi emang, kondisiku lagi nggak stabil. Mohon maaf atas perbuatanku tadi,” tutur pak Sibli. Ada getaran tersendiri dalam penyampaian kata-katanya.


Sambil menyulut rokok ditangannya, sipir Mirwan tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia telah menemukan penyebab tidak terkendalinya emosi pak Sibli pada malam itu.


“Saya paham sekarang, kenapa Anda sampai meledak begitu. Tapi saya sarankan, Anda untuk tetap bisa menekan emosi, menguatkan sabar dan ketenangan dalam situasi apapun itu. Karena dampak dari ledakan emosi Anda ini, bisa berkembang kemana-mana. Yang ujungnya juga, akan menyusahkan Anda sendiri,” tanggap sipir Mirwan, dengan tenang.


“Siap, dan. Sekali lagi, mohon maaf atas perbuatan saya. Dan saya berharap, persoalan ini tidak berlanjut,” ucap pak Sibli, dengan suara bergetar. Menahan berbagai perasaan yang tengah berkecamuk di dalam jiwa dan pikirannya.


“Nggaklah, masalah ini nggak akan berlanjut. Sudah saya anggep selesai. Saya hanya ingin sampaikan, saat ujian hidup terasa berat, teruslah untuk selalu ingat, bahwa Allah tahu kalau Anda itu kuat dan ingin Anda lebih hebat. Nah, kalau Allah saja begitu percaya kepada Anda, jangan kotori tangan Anda dengan perbuatan yang menyakiti sesama makhluk,” kata sipir Mirwan.


“Siap, dan. Mohon maaf, aku emang bener-bener lagi down. Begitu aku dipecat, semua kawanku di Polri langsung balik badan. Nggak ada satu pun yang mau lagi bantu-bantu aku, apalagi keluargaku. Kayak aku selama ini pecundang aja buat mereka,” tutur pak Sibli, beberapa saat kemudian.


“Ya, itulah kehidupan, pak. Kebanyakan orang hanya menghargai atau menghormati kita karena status, jabatan, atau kekayaan lahiriyah. Begitu semuanya lepas, bayangan kita pun enggan nunjukin keberadaannya lagi. Saya yakin, Anda lebih paham soal beginian dibanding saya. Iyakan,” tanggap sipir Mirwan.


“Iya bener sih, dan. Begitu kita terpuruk, semua kawan pasti ngilang. Yang buatku bener-bener down, saat ini istriku lagi opname di rumah sakit. Waktu mau bawa dia ke rumah sakit, aku telepon bekas ajudan, minta tolong pakai mobilnya bawa istri ke rumah sakit. Eh, dia nggak muncul-muncul ke rumah. Sampai akhirnya, empat jam kemudian, anakku yang bawa istri pakai motornya,” urai pak Sibli. Tampak sebulir air jatuh dari matanya. Jiwanya demikian teriris-iris. Pedih. 


Keterusterangan pak Sibli atas apa yang dialaminya, membuat aku dan sipir Mirwan, kami terdiam. Pria yang sempat berpangkat perwira polisi ini, belum lagi dua bulan diberhentikan tidak dengan hormat, setelah mengabdi lebih dari 20 tahun. Namun, ia langsung merasakan “ketiada-artian” atas apa yang pernah ia lakukan selama ini. (bersambung)

LIPSUS