Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 257)

Rabu, 14 September 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang  


PAK Sibli, ada orang yang bilang: seribu kebaikanmu akan langsung hilang lenyap saat kamu melakukan satu kesalahan. Tak peduli seberapa besar pengorbanan yang pernah kamu perbuat. Mereka hanya fokus pada titik salahmu saja dan menghakimimu menurut kemauannya, tanpa menimbang dan mengingat kebaikanmu. Itulah isi hidup dan kehidupan,” ucap sipir Mirwan, panjang lebar. 


“Saya paham soal itu, dan. Tapi, begitu mengalaminya sendiri, sakit bener hati ini,” kata pak Sibli, menanggapi. 


“Buang jauh-jauh sakit hatinya ya, pak. Nggak ada gunanya buat kita yang lagi hidup di dalem kayak gini. Baikan ambil hikmah dari semua kejadian, apapun itu. Nanti kalau sudah keluar, mau bales dendam atau apa aja, terserah. Tapi selama disini, singkirin semua hal yang buat hati sakit, pikiran kusut, atau emosi nggak terkendali. Karena kalau nggak begitu, malah ngerugiin diri sendiri,” sambung sipir Mirwan, dengan nada santai.


Pada saat bersamaan, seorang tamping waserda lewat di depan kamar. Membawa gerobak berisi beragam makanan yang dijajakannya. Sipir Mirwan memesan empat bungkus sate lontong. Dan saat itu juga, ia langsung membayarnya. Mengeluarkan uang Rp 200 ribu.  


“Sekarang kita makan dulu. Lepasin semua pikiran yang nggak ada kaitan sama kenikmatan sate lontong ini,” kata sipir Mirwan sambil tersenyum.


Aku bergegas masuk ke dalam. Ke rak peralatan makan. Mengambil piring dan sendok. Juga menyiapkan empat gelas air mineral. Rudy pun dibangunkan. Diajak makan bareng. 


Sambil menikmati sate dan lontongnya yang masih hangat, sipir Mirwan mengajak kami berbincang ringan tentang hal lain diluar urusan rutan. Tampak sekali ia ingin “melepaskan” pikiran dan perasaan pak Sibli yang tengah terjebak dalam putaran kekecewaan atas apa yang dialaminya, sehingga akhirnya berbuat kasar kepada sesama penghuni kamar.


“O iya, om. Kayaknya malem Minggu nanti, kita bakal pesta daging burung dara lo,” ucap sipir Mirwan, menatapku.


“Maksudnya gimana?” tanyaku, sambil terus mengunyah sate kambing muda.


“Di blok ini kan banyak bener itu burung dara. Nah, ada perintah agar semua burung dara dihabisin. Nggak boleh lagi ada burung dara di rutan ini. Tadi ngobrol sama komandan, penangkapannya pas kami piket lagi, yaitu malem Minggu,” urai Mirwan.


“Kenapa burung daranya mau dihabisin ya, dan,” kata pak Sibli, menyela.


“Menurut perintah yang masuk, diduga kuat di antara burung dara itu, ada yang jadi pembawa narkoba masuk kesini. Maka harus diberantas sejak dini. Deteksi dini itu lebih penting ketimbang sudah terjadi kasus besar dan meledak,” jelas sipir Mirwan.


“O gitu. Apa iya, burung dara yang segitu banyak, ada yang manfaatin buat aneh-aneh ya. Gimana milahnya buat dijadiin pembawa narkobanya,” ujarku, menyeletuk.


“Aku juga nggak paham teknisnya kayak mana, om. Yang pasti, info ini A-1. Maka turun perintah buat ngabisin semua burung dara yang ada di rutan ini,” tanggap sipir Mirwan.


“Burung dara di blok ini hampir 100 ekor lo, dan. Kalau mau ditangkepin dan dipotong, bisa semua penghuni kebagian dagingnya walau cuma sedikit-sedikit,” kata Rudy, memberi komentar.


“Yah, anggep-anggep nanti kita riungan spesial nikmati daging burung dara. Kan bukan kalian juga yang pertama kali meliharanya. Bersyukur kalian yang rasain dagingnya,” kata Mirwan seraya tertawa.


“Kalau emang rejeki, nggak kemana ya, dan,” kata Rudy, seraya tersenyum. 


“Ya, ini juga bagian hidup yang harusnya kita syukuri. Melihara nggak, pernah kasih makan juga nggak, tahu-tahu banyak, eh malah mau dapet dagingnya,” sahut sipir Mirwan, juga tersenyum.


Selepas menikmati makanan sate dengan lontong, sipir Mirwan pun berpamitan. Ia akan kembali ke posnya. Di pos jaga sel khusus AO. Pak Sibli juga kembali ke kamarnya. Kamar 19.


“Terimakasih banyak atas semuanya ya, Mirwan. Barokah rejekimu,” kataku seraya menyalaminya.


“Allah yang kasih kita rejeki, om. Aku cuma dititipi buat disampein ke om dan kawan-kawan,” sahutnya, dengan enteng.


Setelah merapihkan meja dan menaruhkan piring serta sendok ke dalam kamar mandi untuk dicuci keesokan harinya, aku langsung berwudhu. Melanjutkan aktivitas dengan solat malam dan membaca Alqur’an. Hingga kantuk datang, baru aku bersiap untuk merebahkan badan. Tidur. Lelap.


Sampai kemudian, Rudy menepuk-nepuk telapak kakiku. Menyampaikan bila waktu solat Subuh telah datang.


“Emang sudah adzan ya, Rud,” kataku, masih dengan terkantuk-kantuk.


“Sudah, om. Barusan aja. Kalau om mau ke masjid, belum terlambat kok jamaahan,” ucap Rudy. 


Baru saja selesai wudhu, tiba-tiba terdengar suara hujan. Langsung deras. Bak ditumpahkan dari langit dengan kencangnya. Akhirnya, aku solat Subuh di atas kasurku saja. Dan setelahnya, kembali merebahkan badan. Melanjutkan tidur.


“Om bangun, ada tamping regis dateng,” kata Rudy, sambil menggoyang-goyangkan badanku. 


Rasa kantuk masih begitu erat menyelimuti badanku. Namun karena beberapa kali Rudy membangunkan dengan cara menggoyang-goyangkan badan, akhirnya aku pun membuka mata.


“Kok pakai goyangin badan gitu sih banguninnya, Rud. Kan biasanya juga nepuk-nepuk telapak kaki,” ujarku.


“Sudah berkali-kali nepuk telapak kaki tapi om nggak bangun juga. Maka Rudy goyang-goyangin aja badan om,” jelas Rudy, sambil tertawa.


“Maklum, om kan baru tidur satu jam, Rud. Jadi masih ngantuk berat,” sahutku, masih bermalas-malasan untuk bangun.


“Satu jam apaan. Om itu tidur sudah empat jam lebih, tahu. Sekarang sudah jam 10, om tidur tadi habis solat subuh,” kata Rudy, menyela.


“Oh ya, sudah jam 10 ya sekarang. Subhanallah. Perasaan kayak baru satu jam aja tidur tadi,” kataku lagi.


“Jangan pakai perasaan om. Pakai kenyataan. Lihat itu jam di dinding. Jam 10 kan,” tanggap Rudy, dan kembali tertawa.


Perlahan, ku buka mata. Dan menatap ke arah jam yang ada di dinding kamar. Ternyata benar. Telah jam 10. Bahkan lebih 12 menit.


“Itu ada tamping regis dateng. Bawa tiga tentengan. Katanya, tante sama anak-anak om nunggu di ruang besukan,” kata Rudy, beberapa saat kemudian.


“Oh ya. Ya sudah, ambil aja barangnya. Taruh disini. Om mandi dulu kalau gitu. Suruh tamping nunggu om. Nanti bareng ke ruang besukannya,” kataku, dan segera melompat dari kasur. Masuk ke kamar mandi.


Sambil bersiul-siul, ku bersihkan badanku dengan gerakan yang cepat. Membayangkan akan bertemu istri dan anak-anak, membuat semua rasa kantuk dan lelah itu, lenyap begitu saja. Yang ada hanyalah rona bahagia yang menyusup hangat ke dalam jiwa. Mengencerkan pikiran yang terus terjaga siklus pengkancahannya. (bersambung)

LIPSUS