Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 258)

Kamis, 15 September 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang 

         

SAAT berdiri di pintu ruang kunjungan umum, mataku menatap kesana-kemari. Mencari posisi istri dan anak-anakku. Di sela-sela puluhan tahanan yang tengah bercengkrama dengan anggota keluarganya.  


Tiba-tiba Dika muncul di depanku. Memberitahu bila istri dan anak-anakku berada di sudut kanan belakang.


“Itu ayuk sama anak-anak abang ada di sudut belakang,” kata Dika, sambil menunjuk sudut yang dimaksud.


Ketika mataku menatap ke arah yang ditunjukkan Dika, anak bungsuku Halilintar, berdiri dan melambaikan tangannya. Dengan penuh senyum kebahagiaan, aku pun melangkah menuju tempat keluargaku berada. Menyisir satu demi satu dari kumpulan tahanan yang sedang bertemu keluarganya. 


Begitu sampai di posisi, istriku langsung berdiri. Menyambutku dengan pelukan hangat. Ku cium Laksmi dengan penuh kerinduan. Disusul anak gadisku, Bulan, dan Halilintar. Ternyata, saat itu datang juga dua adik kandungku. 


“Sehat terus ya, mas. Tetep sabar dan istiqomah ya,” kata adikku, Mohan, sambil memelukku dengan penuh rasa haru. 


Pun adikku, Azka. Meski tetap menunjukkan wajah yang ceria, namun tidak bisa ditutupi bila kedua adik kandungku itu, tengah merasakan derita batin yang aku alami. Ditambah suasana ruang besukan tahanan yang cukup kenyal diliputi nuansa keharuan, membuat keduanya kelihatan sangat tidak nyaman.


Ku sandarkan badanku di tubuh istriku, Laksmi. Sambil tersenyum, ia elus-elus kepalaku penuh dengan kasih sayang. Beberapa saat kemudian, Bulan dan Halilintar mengeluarkan nasi bungkus dari kantong plastik. Dan kami pun makan bersama. 


Aku suapi istriku beberapa kali. Pun sesekali kepada Bulan dan Halilintar. Mereka memesan juice tomat kepada tamping kantin yang memang rajin menawarkan jajaannya kepada keluarga tahanan. 


“Gimana nduk sama adek sekolahnya?” tanyaku, di sela-sela kami menikmati makanan berlauk lele bakar sambel dengan telor dadar itu. 


“Alhamdulillah, mbak sama adek terus aktif sekolah, ayah. Ulangan harian minggu kemarin, hasilnya juga bagus-bagus. Nggak ada yang dibawah delapan,” kata Bulan, sambil menggenggam kedua telapak tangannya. Menunjukkan betapa semangat tetap menjadi bagian hidupnya. 


“Kamu masih aktif main futsal, le?” tanyaku kepada Halilintar.


“Masih, ayah. Juga lari di stadion pas hari libur. Atau sore setelah pulang sekolah,” ujar Halilintar. Wajahnya sumringah.


“Alhamdulillah. Terus aja kalian berekspresi ya. Kembangin bakat, minat, dan kemampuan dengan maksimal sesuai keinginan kalian. Ayah percaya, kalian sudah tahu mana yang harus dilakuin dan mana yang dihindarin,” kataku, sambil menatap Bulan dan Halilintar. 


Adikku Mohan dan Azka menyampaikan salam dan doa dari keluarga besar buatku. Diingatkan agar aku terus sabar, tenang, dan ikhlas. Karena tidak ada ujian yang tak berujung. Tak ada dosa yang tidak diampuni. Tiada kesalahan yang tak bisa ditebus.


Istriku Laksmi menyampaikan, ia telah menyiapkan pakaian untuk aku mengikuti sidang lanjutan pada hari Senin mendatang. Pun beberapa pakaian pengganti.


“Banyak bener pakaian ayah yang kotor ini ya. Emang sehari ganti berapa kali sih,” kata Halilintar, saat melihat kantong plastik berisi pakaian kotorku dengan kondisi menggelembung akibat penuhnya.


“Minimal kan dua kali ganti, le. Pagi dan sore. Tapi kalau pas olahraga, ya bisa tiga sampai empat kali ganti,” jelasku, sambil tersenyum.


“Kenapa? Adek mau milih kaos ayah yang belum kotor bener ya. Buat pelapis sarung bantal untuk tidur,” kata istriku, menyela.


Spontan Halilintar tersenyum. Juga Bulan. Istriku bercerita kepada adikku Mohan dan Azka, jika selama ini Bulan dan Halilintar selalu menaruhkan kaos bekas ku pakai untuk pelapis sarung bantalnya. Dengan cara itu, mereka meyakini, aku tetap bersama mereka.


Mendengar cerita istriku, Mohan dan Azka tampak matanya berkaca-kaca. Haru dan sedih menyatu. Mohan memeluk Halilintar dengan erat. Juga dielus-elusnya kepala Bulan penuh kasih. 


“Mbak Bulan sama Mas Hali yang sabar ya. Semua ini sudah garisan tangan ayah. Juga cerita kehidupan kita semua. Kita lakoni aja dengan tetep tawakkal dan yakin, Allah pasti kasih hikmah kebaikan di balik semuanya,” ucap Mohan dengan suara bergetar.


“Iya, paklek. Kami terus Alhamdulillah kok. Bersyukur atas semua ini. Karena kata bunda, dalam kondisi apapun, kami wajib untuk terus ucapin Alhamdulillah. Jangan sampai Allah berkurang ridho-Nya karena kami mengeluh,” tanggap Bulan dengan suara santai.


“Alhamdulillah. Paklek seneng dan bangga dengernya. Inshaallah terus ada kemudahan untuk kita semua,” kata Mohan, dengan melepas senyum.


Pengunjung tahanan terus silih berganti. Namun, kami tetap duduk santai di sudut belakang ruang besukan tersebut. Tidak ada tamping regis yang mendekati, apalagi mengingatkan kami untuk mengakhiri pertemuan.


“Kok kita nggak didatengin petugas dan disuruh keluar ya, ayah. Yang lain-lain itu pada diusirin. Gantian sama yang masih antri di depan,” kata Halilintar, yang baru pertama kali ini menemuiku di ruang kunjungan umum. 


“Mereka tahu kalau kita lagi kangen-kangenan, le. Mereka nggak mau ngeganggu kita sampai waktu besukan selesai,” sahutku, dengan enteng.


“Ayah kan tahanan terkenal, dek. Jadi tamping-tamping itu emang berkawan sama ayah. Ya, nggak mungkinlah mau suruh kita buruan ketemunya,” ucap Bulan, menyela. Ada rasa percaya diri yang tinggi dari perkataannya.


Sambil terus memeluk istriku Laksmi, ku sampaikan kepada anak-anak dan adik-adikku, bahwa kehidupan di rutan harus dijalani dengan mengedepankan hati, perhatian, dan toleransi yang tinggi. 


“Karena secara psikologis, mayoritas penghuni rutan dalam kondisi tidak stabil jiwanya. Dengan kita perhatiin mereka, mengajak ngobrol yang ringan-ringan, dan nunjukin kita senasib sepenanggungan, kita bisa diterima dengan baik. Walau emang, nggak perlu juga kita bergaul sama semua yang ada disini,” lanjutku.


“Kata bunda, disini kegiatan majelis taklimnya maju ya, ayah. Kok bisa ya,” kata Halilintar, beberapa saat kemudian.


“Iyo, bener itu, le. Ada ratusan orang yang jadi anggota majelis taklim disini. Makanya, masjid itu nggak pernah sepi,” jawabku.


“Banyak penjahat yang taubat ya, ayah,” lanjut Halilintar.


“Alhamdulillah, le. Banyak memang yang menemukan hidayah dan memilih menjadi anggota majelis taklim. Nah, ini ayah pengen sampein, jangan kita terlalu buru-buru atributi seseorang sebagai penjahat. Memang, semua yang ada disini pasti tersangkut kasus hukum. Juga, setiap orang belum tentu baik, tapi inget, selalu ada kebaikan pada setiap orang,” ujarku dengan serius.


“Kita nggak boleh terlalu cepet nilai orang ya, ayah. Gitu maksudnya kan,” sambung Halilintar, dengan cepat.


“Iya, bener itu, le. Kita nggak boleh terlalu cepet menilai seseorang. Karena setiap orang suci pasti punya masa lalu, dan setiap pendosa masih punya masa depan. Kita cukup nggak suka sama perbuatannya, bukan orangnya. Intinya itu, le,” tuturku lagi. 


“Ayah, ini ndukmu lagi bete berat sebenernya. Banyak kawannya yang belakangan ngejauh, bahkan kayak sengaja gitu ngerendahin dia, karena ayah lagi di penjara,” tiba-tiba istriku menyampaikan situasi yang sedang dialami Bulan.


“O gitu, nduk. Yo wes, sing sabar wae yo. Inget omongan ayah ini, ketika seseorang sudah ngerasa lebih baik, lebih tinggi, dan suka ngerendahin orang lain, maka tinggal tunggu aja. Ia akan terjatuh tanpa harus disentuh. Jadi nduk nggak perlu kecil hati. Kata nduk tadi, seperti yang diajarin bunda, tetep ucapin Alhamdulillah nerima perlakuan apapun. Gusti Allah mboten sare, nduk. Yakin itu,” kataku panjang lebar.


Mendadak Bulan menggerakkan badannya. Dan memelukku dengan erat. Ada getaran halus di dadanya. Ketrenyuhan yang ia simpan. Perlahan, ia tengadahkan wajahnya. Mata indahnya menatap mataku. Sesaat kemudian, senyum kelegaan ia tunjukkan di bibir indahnya. Alhamdulillah. (bersambung)    

LIPSUS