Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 304)

Dibaca : 0
 
Senin, 31 Oktober 2022


Oleh, Dalem Tehang


JAKSA perempuannya kok nggak ramah gitu ya, bunda. Katanya adek kelas bunda waktu SMA,” ujarku, setelah tinggal aku, istriku, dan Laksa.


“Biarin ajalah, ayah. Sok jaim kali. Bunda juga sebenernya nggak inget siapa dia, kalau dia nggak ngenalin diri adek kelas waktu SMA. Profesional aja kita ngadepinnya” sahut istriku, dengan santai.


“Kali dia kesel, karena beberapa kali pendekatannya masih diambangin, mbak,” kata Laksa, seraya memandang istriku.


“Perjalanan sidang ini kan masih panjang, dek. Nggak perlu juga kita buru-buru ambil keputusan. Kita ikuti aja dulu permainannya kayak mana. Kita kan awam dalam hal beginian,” ujar istriku, tetap dengan santainya.


Hampir satu jam kami berada di ruangan khusus tersebut, barulah datang pegawai Kejaksaan. Memberitahu bila aku harus segera memasuki ruang persidangan. 


Ia memberikan rompi warna oranye dengan tulisan “Tahanan” pada bagian belakangnya. Untuk ku pakai sejak keluar ruangan, selama mengikuti persidangan, hingga kembali ke ruang tahanan sementara.


Didampingi istriku Laksmi, dan adikku Laksa, serta dikawal seorang petugas keamanan dari Kejaksaan, aku pun melangkah menuju ruang tempatku akan menjalani persidangan. 


Begitu memasuki pintu ruang sidang, Makmun dan timnya mempersilakan kami duduk pada kursi panjang yang telah mereka siapkan.


“Kita sidang pertama nanti, mas. Yang tenang ya,” kata Makmun, setengah berbisik, saat aku telah duduk di kursi panjang.


“Alhamdulillah. Kan agendanya cuma bacain eksepsi aja ya,” sahutku. 


“Iya, pembacaan eksepsi aja. Tapi nanti kita lihat, apa ada hal baru dari majelis hakim,” lanjut Makmun.


Tiga orang hakim memasuki ruang sidang. Kami semua yang ada di ruangan, berdiri tegap. Ketua majelis hakim membuka persidangan, dan memanggilku untuk duduk di kursi pesakitan. Sebelum melangkah, ku peluk istriku. Mencari tambahan ketenangan batin.


Sesuai agenda, ketua majelis hakim mempersilakan pengacaraku membacakan eksepsi. Sekitar 25 menit, Makmun bergantian dengan anggota timnya, menyampaikan nota keberatan atas dakwaan jaksa penuntut umum tersebut. 


Selepas pembacaan eksepsi, ketua majelis hakim menyatakan, bila persidanganku harus digelar dua kali dalam satu pekan.


“Karena permohonan perpanjangan masa penahanan kepada terdakwa, tidak dikabulkan oleh Pengadilan Tinggi. Maka, persidangan harus dipercepat. Pilihannya adalah sidang dilakukan dua kali dalam satu minggu. Yaitu hari Senin dan Kamis,” kata ketua majelis hakim, setelah sebelumnya berkoordinasi dengan dua hakim anggota.


Atas keputusan tersebut, jaksa sempat mengajukan keberatan. Karena mereka hanya memiliki waktu tiga hari untuk menanggapi eksepsi pengacaraku. 


Namun, majelis hakim tetap dengan keputusannya. Sidang perkaraku akan kembali digelar pada hari Kamis. Dan dalam satu pekan, dilangsungkan dua kali; Senin dan Kamis.


Pelaksanaan sidang yang berlangsung selama sekira 45 menit itu pun berakhir. Aku kembali dikawal petugas keamanan Kejaksaan menuju ruangan khusus, diikuti istriku Laksmi dan adikku Laksa. 


Saat aku tengah melaksanakan solat Ashar di ruang tahanan sementara, Makmun dan timnya datang. Mereka berbincang beberapa saat dengan istriku dan Laksa, dan setelahnya berpamitan.


“Tadi Makmun bilang, nanti setelah ada keputusan sela, mereka akan ketemu ayah di rutan untuk koordinasi langkah-langkah lanjutan,” kata istriku, menjelaskan pembicaraan dengan pengacaraku.


“Nanti bunda kawani kalau mereka ke rutan ya. Kalau pas bunda lagi nggak banyak kegiatan di kantor. Tapi kalau lagi padet agendanya, mereka aja yang ketemu ayah,” jawabku.


Ketika sorot mentari senja mulai meredup, pegawai Kejaksaan menjemputku. Memberitahu kalau aku harus segera kembali ke kendaraan tahanan dan masuk ke rutan. 


Segera ku peluk istriku dengan penuh kehangatan. Ku rengkuh kepalanya. Membenamkan di dadaku. Cukup lama. Baru ku peluk Laksa. Penuh dengan keterharuan sekaligus kebanggaan. Ia yang amat mengerti kondisiku dan keluarga, serta selalu hadir kapan saja saat dibutuhkan.  


Mereka mendampingi hingga aku naik ke mobil tahanan. Sambil membawa dua kantong plastik berisi berbagai makanan, aku naik ke kendaraan dan duduk di tempat semula. Belakang pengemudi. Menghadap ke belakang. 


Saat mobil tahanan mulai mengaktifkan sirine dan bergerak perlahan, ku lambaikan tangan ke arah istriku Laksmi dan adikku Laksa yang berdiri bersama puluhan keluarga tahanan lainnya di halaman samping gedung Pengadilan Negeri. 


Ku lihat Laksa memeluk erat istriku yang merupakan kakak kandungnya. Meski menunjukkan senyuman, namun aku tahu persis betapa remuknya hati mereka melihatku berada di dalam kendaraan tahanan. Seperti juga, demikian nelongsonya batinku.


Mendadak jiwaku bergejolak tiada menentu. Buru-buru, aku menundukkan wajah. Karena menyadari, ada sebutir air menggenang di kedua mataku. 


Aku ingat benar pesan istriku: jangan pernah ada orang lain yang melihatku menangis, kecuali dirinya. Dengan perlahan, ku hapus air mata itu, sebelum jatuh ke lantai mobil dan ada tahanan lain yang mengetahuinya.


Meski aku masih menundukkan wajah, namun aku merasakan bila arah mobil tahanan bukan menuju rutan. Segera ku dongakkan wajah dan melihat keluar. Ternyata benar.


“Ini mau kemana ya, Ris?” tanyaku kepada Aris yang duduk di sebelahku.


“Kayaknya ke gedung Kejaksaan Negeri kalau ngelihat jalannya sih, be,” jawab Aris.


“Lho, mau ngapain lagi?” tanyaku, terheran.


“Barangkali ada yang pelimpahan, om. Jadi sekalian sama kita dibawa ke rutannya. Minggu lalu, waktu aku sidang, juga ke kantor Kejaksaan dulu. Ada empat orang yang pelimpahan kasusnya,” kata seorang tahanan yang duduk sekitar dua  meter dari tempatku dan Aris duduk.


Aku hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala. Karena baru kali ini mengalami peristiwa semacam itu. Dan ternyata benar apa yang dikatakan tahanan berusia sekitar 30 tahunan tersebut. 


Setelah sampai di gedung Kejaksaan Negeri, masuk ke kendaraan yang membawa kami, tujuh orang tahanan baru. Hanya memakai rompi khas tahanan, mereka langsung duduk ndeprok di lantai mobil sambil memegang erat barang bawaan masing-masing.


Meski tahanan baru sudah naik ke mobil, namun baru sekitar 20 menit kemudian kendaraan kembali berjalan. Suara sirine yang meraung-raung tiada henti, membelah keruwetan jalan raya yang petang itu sangat padat. 


Dengan piawainya, pengemudi mobil tahanan membuka celah untuk melewati kemacetan. Dan sempat aku melihat, mobil istriku terjebak di dalam kemacetan di jalan protokol tersebut. 


Segera aku berdiri dan mendekat ke jendela mobil, yang tidak berkaca. Hanya berteralis besi. Pada saat bersamaan, istriku menengok ke arah mobil tahanan. Spontan, ku lambaikan tangan dari balik teralis besi di jendela mobil, sambil tersenyum. 


Istriku yang melihat sapaanku, langsung membuka kaca mobilnya, dan melambaikan tangan juga. Hanya sesaat. Setelahnya, mobil tahanan keluar dari kemacetan dan meluncur kencang menuju rutan.


“Banyak bener seninya hidup kita ini ya, be. Sampai-sampai menyapa istri pun cuma bisa lewat jendela mobil, itu juga dibatasi jeruji besi,” ucap Aris, sambil memelukku. Menenangkan jiwaku yang kembali bergejolak.


Tanpa sadar, ku hembuskan napas kencang-kencang. Melepaskan beban batin yang begitu dalam. Aris mengeluarkan rokoknya. Ia sulut dan memberikannya kepadaku.


“Ngerokok dulu, be. Hembusin aja asapnya kenceng-kenceng. Biar cepet normal lagi jiwa babe,” katanya dengan pelan.


Aku ikuti apa yang dikatakan Aris. Dan benar. Setelah beberapa kali menghisap rokok dan menghembuskan asapnya ke arah atas, perlahan jiwaku kembali tenang. Meski aku harus berjuang keras untuk menahan agar jangan sampai ada air kesedihan di mataku. (bersambung)

LIPSUS