Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 305)

Dibaca : 0
 
Selasa, 01 November 2022


Oleh, Dalem Tehang          


SETELAH melihatku kembali menemukan ketenangan, Aris menepuk-nepuk kakiku bagian atas dengan pelan. Menyelimuti ketenanganku dengan perhatian yang tulus.


“Terimakasih ya, Ris,” kataku, dengan pelan. Dan tetap menikmati rokok pemberiannya.


“Santai aja, be. Kita cukup nikmati hidup ini dengan tenang. Kita harus jadi pemeran terbaik dalam setiap kisahnya. Dan tetep jadi orang yang mencintai diri kita sendiri atas apapun yang kita lalui,” ucap Aris, dengan kalem.


“Iya, terimakasih motivasinya, Ris. Kalau ngelihat istri dan anak-anak ikut terpuruk, aku memang langsung down berat. Ini kelemahanku, Ris,” kataku. Terus terang.


“Itu bukan kelemahan, be. Justru itulah kekuatan babe. Demi istri dan anak-anak, babe harus tetep tegar, sabar, dan kuat. Inget ya, be. Matahari juga butuh terbenam untuk besok kembali bersinar terang. Hidup pun butuh jatuh dan bangun berkali-kali. Dan kita harus yakin, seberat apapun ujian yang kita pikul sekarang, hanya sementara,” tutur Aris, dan kembali memelukku. Menguatkan.   


Mobil tahanan memasuki kawasan rutan. Dan setelah pintu berkunci dibuka, kami turun satu demi satu. Memasuki ruang P-2-O. Proses pemeriksaan ekstra ketat pun dilakukan. Ketujuh tahanan baru, ditepikan, membuat barisan tersendiri.


30 orang yang baru menjalani persidangan, berbaris dengan rapih. Terbagi dalam dua lajur. Barang bawaan masing-masing ditaruh di depan tempatnya berdiri. Sipir P-2-O mulai melakukan pemeriksaan. Semua barang dikeluarkan dari tempatnya, dan mayoritas dibuka. 


Beberapa tahanan yang membawa nasi bungkus, juga dibuka. Bahkan digelar di lantai. Dengan memakai sendok, sipir mengobrak-abrik isinya dengan teliti. Rokok yang telah dibuka bungkusnya, langsung disita.


Berbagai alat mandi cair, dibuka tutupnya. Dicermati benar isinya. Tidak jarang sampai dikeluarkan isinya. Sikat gigi langsung dipatahkan menjadi dua. Bagian ujung yang lancip, dibuang ke kotak sampah. Gunting kuku dan gunting kecil yang dibawa salah satu tahanan, juga diamankan.


Seluruh isi kantong pun dikeluarkan. Ditaruh dekat kaki. Saat diketemukan ada yang membawa obat-obatan, akan diselidik dengan serius kegunaannya. Termasuk membatasi jumlah obat yang dibawa masuk ke kamar.


Berbagai makanan yang aku bawa, tidak ada yang bermasalah. Setelah ditaburkan di lantai dan menjalani pemeriksaan, sipir memerintahkan untuk kembali merapihkan dan memasukkan ke kantong plastik tempat semula. Hanya pecahan uang Rp 20.000 yang diambil sipir.


“Buat nambah beli rokok ya, pakde,” kata sipir yang memeriksa barangku, dengan entengnya.


Aris dan beberapa tahanan lain yang menaruhkan uang pecahan Rp 10.000 sampai Rp 20.000 di lantai dekat kaki, hampir semuanya mendapat perlakuan yang sama.


“Niatin sedekah aja, be. Biar tetep ada berkahnya, walau hati kita ngedumel,” bisik Aris, saat melihatku tampak tidak terima dengan perbuatan sipir itu.


“Jangan-jangan malah jadi bengek nanti sipir yang ambilin uang kita buat beli rokok itu, Ris,” sahutku, menyela dengan cepat.


“Nggak boleh doain jelek itu, be. Teteplah diniatin buat kebaikan, sedongkol apapun yang kita rasain,” tanggap Aris, tetap dengan suara pelan.


Hampir 50 menit proses pemeriksaan di ruang P-2-O. Dan saat kami memasuki halaman depan kantor rutan, suara adzan Maghrib pun menggema. Bersamaan dengan itu, rintik hujan turun dari langit. Buru-buru aku memasukkan kopiah ke dalam pakaian, agar tidak terkena air hujan.


Dua orang tamping regis bersama tiga sipir pos penjagaan luar, kembali melakukan pemeriksaan. Namun karena hujan mulai deras, kegiatan wajib sebelum tahanan memasuki area steril itu, dipercepat. 


Dan pintu gerbang berteralis kawat baja segera dibuka. Kami memasuki area steril rutan serta berlarian menuju pos penjagaan dalam. Untuk kembali dilakukan pengecekan personil serta barang bawaan.


Di dalam pos penjagaan dalam, satu demi satu kami menjalani pemeriksaan. Dan aku melihat, beberapa tahanan dimintai uang untuk sipir membeli rokok dan makanan. Tamping pos jaga yang ditugaskan. Hanya aku dan Aris yang tidak dikenakan permainan “sepemahaman” tersebut.


Selepas dari pos penjagaan dalam, aku dan Aris berjalan bersama menuju Blok B. Di pintu masuk, tampak Rudy telah menunggu, dan langsung mengambil dua kantong plastik yang aku bawa.


“Cepetan solat, om. Sudah hampir isya ini,” kata Rudy, setelah dua kantong plastik yang penuh berisi makanan, dipegangnya.


Setengah berlari, aku menuju kamar. Dan setelah melepas sepatu, langsung berwudhu. Maghriban di atas kasurku. Baru saja selesai solat, suara adzan Isya terdengar dengan kencangnya. Aku pun memilih melanjutkan solat wajib tersebut.


Seusai mandi dan berganti pakaian, aku duduk di ruang depan. Sambil meneguk minumman kaleng kiriman adikku Laksa. Menunggu Rudy kembali dari masjid. 


“Om mau makan sekarang?” tanya Rudy saat masuk kamar. Ku anggukkan kepala.


Dengan cekatan, anak muda yang tengah menjalani hukuman karena tersangkut kasus penggelapan mobil ini, mengeluarkan nasi dan lauk yang dikirimkan istriku. 


Kami makan malam berlauk ikan gabus bakar dengan sambel terasi. Dilengkapi daun kemangi serta terong bakar. Saking lahapnya, aku dan Rudy sama-sama menambah nasi. Keringat kenikmatan pun membasahi badanku. 


“Catering sore, kirim semua ke om Ino aja ya, om. Kita kan sudah makan,” kata Rudy, setelah kami makan malam.


“Oke, kasih semua ke Ino aja. Kita berbagi rejeki,” sahutku.


Sekembali dari kamar Ino mengantar catering, Rudy membawa bungkusan. Berisi gorengan; tahu, tempe, dan pisang.


“Kiriman om Ino ini, om. Kayaknya dia tadi ngeborong makanan. Semua penghuni kamarnya lagi pada ngemil sambil ngopi,” kata Rudy.


“Alhamdulillah. Ada aja rejeki yang dikasih Allah buat kita ya, Rud. Kita terus saling ngingetin buat bersyukur dan berbagi ya,” ucapku.


“Siap, om. Rudy seneng bisa kenal sama om. Banyak dapet ilmu kehidupan,” kata Rudy, sambil tersenyum. 


“Samalah, Rud. Om juga kan banyak kamu bantu. Kita saling isi aja ya. Jangan ada yang ngerasa lebih. Kecuali soal umur, iya om lebih tua,” kataku, juga sambil tersenyum. Mencoba terus membangun keringanan pada beban batin.


“Rudy kemarin baca buku, dan dapet tambahan ilmu lagi, om. Di buku itu ditulis, kalau kamu ketemu orang yang lebih pandai, itulah waktunya buat menimba ilmu. Kalau ketemu orang sama pandainya, itulah saatnya berbagi ilmu. Sedang kalau ketemu orang yang kurang pandai, itu waktunya menyampaikan ilmu,” tutur Rudy.


Spontan aku mengacungkan kedua jempol tangan ke arah Rudy. Mengapresiasi semangatnya untuk terus mengisi dan mengasah otaknya.


“Ada juga hadits yang Rudy baca, om. Hadits riwayat Tirmidzi itu bilang; Sesungguhnya, Allah, para malaikat, penduduk langit dan bumi sampai semut di sarangnya dan ikan di lautan, turut mendoakan kebaikan untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia. Ternyata, luar biasa bener pengaruhnya buat orang yang terus nyampein kebaikan itu ya, om,” sambung Rudy, masih sambil tersenyum.


“Hebat kamu, Rud. Semangat belajarmu itu, buat om kagum. Jangan pernah ngerasa hebat dan paling pinter ya, Rud. Karena di atas langit, ada langit. Dan merendah adalah sikap yang terbaik,” kataku, dan kembali mengacungkan jempol untuk OD kamarku yang masih berusia 27 tahunan tersebut.


“Rudy jadi gila baca buku ini kan karena om yang kasih motivasi. Maka, kalau dapet ilmu baru dan ada kesempatan santai kayak gini, Rudy sampein ke om. Berbagi pengetahuan itu juga menebar kebaikan,” tanggap Rudy, dengan senyum sumringah. (bersambung)

LIPSUS