Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 306)

Dibaca : 0
 
Rabu, 02 November 2022


Oleh, Dalem Tehang 


SEUSAI berbincang dengan Rudy, aku pamit untuk menaruhkan badan di kasur. Dan tidak berselang lama kamudian, langsung tidur. Mendadak, aku terbangun dengan posisi duduk dan masih terdengar lamat-lamat suara teriakanku: la haula wala quwwata illa billah.


Spontan aku menengok ke kanan-kiri. Dino dan Basri yang semula terlelap tidur, sempat terbangun. Dan menatapku sesaat. Setelahnya, kembali meneruskan tidurnya.


Badanku basah oleh keringat. Yang entah kapan munculnya, sehingga membuat kaos yang ku pakai terasa dingin. Ketika aku tengah memikirkan bagaimana caranya tiba-tiba badan basah kuyup oleh keringat, Rudy berdiri di tepian lantai tempat tidurku dengan pandangan penuh tanda tanya.


“Om kenapa? Kok ngigaunya kenceng bener. Sampai teriak gitu?” tanya dia, dengan pandangan terarah ke wajahku.


“Subhanallah. Om mimpi ternyata, Rud,” sahutku, dan melihat jam di dinding kamar. Pukul 02.40.


Aku turun dari tempat tidur. Mengambil air putih dan duduk di ruang depan. Mengatur napas dan menenangkan jiwa serta pikiranku. Sambil sesekali meneguk air putih dari gelas, aku menyulut rokok. Mencari pelarian untuk mempercepat proses kembali mendapat ketenangan.


Rudy duduk di atas kasur tipisnya. Sekitar satu meter dari tempatku. Matanya terus menatapku. Sepertinya, banyak pertanyaan yang tengah berkerumun di dalam pikirannya.


Aku membuka lemari pakaian. Mengambil handuk kecil. Untuk mengelap badan dan leherku yang basah oleh keringat.


“Kalau boleh tahu, om mimpi apa ya? Kok sampai teriak kenceng gitu. Teriakan om la haula wala quwwata illa billah itu, nurut Rudy, pertanda kalau dapet mimpi nggak bagus,” kata Rudy, beberapa saat kemudian.


“Darimana kamu tahu kalau om mimpi nggak bagus, Rud?” tanyaku, penasaran.


“Dari kalimat yang om teriakin tadi itu. Kalimat itu kan banyak disebut orang sebagai kalimat pamungkas seorang makhluk kepada Khaliqnya. Apalagi, sampai om terduduk, kan baru sadar dari tidur,” jawab Rudy, dengan kalem.


“Iya betul, Rud. Om emang mimpi nggak bagus tadi itu. Om kayak lagi jalan di perkebunan, di atas bukit gitu. Tiba-tiba muncul api berkobar-kobar dalam bentuk wajah orang mau ngehantem om. Sekali sampai dua kali, om bisa ngehindar. Pas ketiga kali, posisi kobaran api berbentuk wajah itu makin besar menyalanya, dan dengan gerakan cepet mau nabrak untuk ngebakar om. Saat kritis itulah, om tiba-tiba baca la haula wala quwwata illa billah tadi. Dan kobaran api berbentuk wajah itu, langsung pecah. Bertaburan. Begitu sadar, posisi om sudah duduk di atas kasur tadi,” kataku, mengurai mimpi yang baru saja aku alami.


“Subhanallah. Kalau Rudy pernah denger-denger cerita, api berkobar dalam bentuk wajah orang itu berarti banaspati, om. Ada orang yang ngirimi om sesuatu yang nggak baik. Targetnya, ya nyawa om. Alhamdulillah, Allah masih lindungi dan nyelametin om. Makin hati-hati dan kuatin doa aja, om. Kita nggak pernah tahu siapa kawan dan siapa lawan sekarang ini,” ujar Rudy, dengan pelan. 


“Terimakasih perhatianmu, Rud. Selama hidup di bui, baru sekali ini om mimpi. Nggak nyangka kalau sekali-kalinya mimpi, malah serem kayak gini,” kataku, dengan suara santai.


“Rudy jadi khawatir sama om sekarang ini. Feeling Rudy, mimpi tadi itu nandain kalau om dalam bahaya. Ada yang nggak suka bener sama om. Mau ngabisin om,” lanjut Rudy, tetap menatapku dengan serius.


“Santai aja, Rud. Mimpi itu kan kembang tidur. Nggak usah ditarik kemana-mana. Kita kan punya Allah, kenapa jadi takut sama makhluk,” sahutku, mencoba menenangkan.


“Tapi, Allah juga punya mereka yang nggak suka sama om lo. Jadi, jangan juga om nganggep enteng arti mimpi tadi,” tanggap Rudy dengan cepat.


“Bukan nganggep entenglah, Rud. Tapi yakin, kalau Allah pasti ngebela yang nggak neko-neko. Biar doa kita aja yang bertarung di langit. Lagian, urusan ajal, jodoh, dan maut itu kan hak sepenuhnya Yang Di Langit,” sahutku, tetap dengan nada santai.


“Iya sih, soal umur itu rahasia Allah. Cuma pesen Rudy, om jangan ke-pede-an. Mimpi tadi itu nandain ada sesuatu yang lagi dikerjain orang untuk ngabisin om. Perkuat doa dan kepasrahan sama Allah aja om,” kata Rudy, dan merebahkan badannya di kasur.


Aku pun bergerak. Ke kamar mandi. wudhu. Dan solat hajat. Meski tetap tenang atas peristiwa mimpi yang menyeramkan tadi, namun suara hatiku memberi isyarat, agar aku meningkatkan ibadah dan doa. 


Dalam kekhusu’an bermunajat pada keheningan suasana rutan dinihari itu, memang terasa ada getaran “ancaman” yang tengah diarahkan kepadaku. Entah oleh siapa, dan untuk apa. Namun aku meyakini, Allah tidak akan memberi ujian, cobaan maupun musibah di atas kemampuanku mengatasinya.


Suara adzan Subuh mengalun sendu dari masjid. Ku bangunkan Rudy, untuk bersama-sama mengikuti solat jamaahan. Meski masih terkantuk-kantuk, anak muda yang trengginas itu, mengikuti ajakanku.


Selepas melaksanakan solat sunah qabla subuh, barulah ustadz Umar mengimami solat wajib. Angin dingin yang cukup kencang, membuat suasana masjid terasa begitu dingin. Hingga beberapa kali badanku menggigil. 


Dalam kultumnya, ustadz Umar tiada lelahnya mengingatkan semua jamaah untuk terus bersyukur. Karena dengan itu kita akan bahagia.


“Jangan pernah menyesali sebuah peristiwa dalam hidup ini, termasuk dengan orang yang Alah hadirkan untuk kita. Karena Allah tidak mungkin mempertemukan dua orang atau lebih, tanpa alasan dan tujuan. Bisa jadi, dia yang akan merubah hidup kita. Atau sebaliknya, kita yang merubah hidupnya,” tutur ustadz Umar.


Ia melanjutkan, setiap orang yang Allah hadirkan pasti memberikan pelajaran. Baik dia yang tetap tinggal ataupun yang hanya sekadar singgah. 


Ustadz Umar mengingatkan untuk terus berjuang mencari keadilan. Karena keadilan harus dicari, sebab pada hakekatnya keadilan bukan untuk semua manusia.


“Keadilan itu hanya untuk mereka-mereka yang mencarinya. Maka, jangan pernah lelah mencari keadilan,” imbuh dia.


Mengakhiri kultumnya, ustadz Umar mengemukakan, nasib tidak bisa diduga, takdir tidak bisa diubah. Hanya doa yang mampu merubah semuanya. Seperti tetesan air hujan yang turun ke bumi, dan tak ada yang bisa untuk menghalanginya.


“Tetaplah kita semua sabar dan ikhlas dalam menjalani setiap episode kehidupan, karena suatu saat kebahagiaan itu akan datang tepat pada waktunya,” tutup ustadz Umar. 


Sambil berjalan kembali ke kamar, aku perhatikan beberapa sipir yang tampak terkantuk-kantuk duduk di pos penjagaan dalam. Mereka akan selesai bertugas pada pukul 07.00.  


“Rud, kirim dulu minuman kopi panas buat sipir-sipir itu. Kayaknya pada ngantuk berat,” kataku kepada Rudy yang berjalan di sebelahku.


“Ngapain, om. Stok kopi dan gula mereka aja pasti banyak. Jangan-jangan justru karena kebanyakan ngopi semaleman, makanya pada ngantuk gitu,” tanggap Rudy, seraya cengengesan.


“Iya juga ya, Rud. Nanti malahan kita dianggep sok dermawan pula. Padahal, kita susah-susah bener,” kataku, sambil tersenyum.


“Kedermawanan itu sebenernya nggak ada hubungan sama status kaya atau miskin, om. Dermawan itu sebuah karakter bagi mereka yang mampu ngalahin kekikiran dalam jiwanya. Tapi, kalau niatnya bersedekah, ya boleh juga nanti kita kirim minuman kopi panas buat para sipir itu, om,” ucap Rudy.


“Nggak usahlah, Rud. Niat kita kan mau sedekah, masak ngasihnya ke orang yang lebih segalanya dari kita. Nggak pas juga,” kataku dengan cepat. 


Dan merangkul Rudy untuk berjalan lebih cepat menuju kamar. Aku ingin segera menikmati leyeh-leyeh di kasur, serta kembali tidur. (bersambung)

LIPSUS