Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 307)

Dibaca : 0
 
Kamis, 03 November 2022


Oleh, Dalem Tehang 

       

WAH, om masih tidur rupanya ya, Rud. Biasanya jam segini pasti sudah bangun. Apa nggak enak lagi badannya ya,” sebuah suara terdengar di samping tempat tidurku. Cukup kencang. Dan aku tahu persis, itu suara sipir Almika.


“Barusan tidur lagi kok, pak. Tadi habis subuhan di masjid. Balik-balik rebahan dan ketiduran,” sahut Rudy. 


“Aku titip ini aja ya. Sampein ke om Mario kalau aku dari sini,” ujar sipir Almika, dan sesaat kemudian terdengar suara sepatu larasnya bergerak keluar kamar.


Meski mendengar pembicaraan antara Almika dengan Rudy, namun aku tetap merebahkan badan. Seakan masih tidur. Rudy menaruhkan bungkusan kecil di atas rak, tepat di atas kepalaku. Barang dari sipir Almika. 


Setelahnya, terdengar pintu kamar dibuka. Dan kemudian ditutup kembali dengan pelan. Melihat gaya membuka dan menutup pintu itu, aku tahu bila Rudy yang melakukannya. Beberapa saat kemudian terdengar suaranya berbincang di taman depan kamar.


Karena sudah tidak bisa tidur lagi, aku segera merapihkan kasur. Dan mandi. Seusai berganti pakaian, aku pun keluar kamar. Rudy yang tengah berbincang dengan beberapa tahanan lain di depan kamar, tampak terkejut saat melihatku telah mandi dan berpakaian rapih.


“Mau kemana, om?” tanya Rudy, sambil mengernyitkan dahinya.


“Mau ke kantin. Cari kopi pahit,” sahutku, sambil tertawa.


Spontan Rudy berdiri. Ia paham benar bila sahutanku merupakan sindiran. Dan setelah masuk kamar, ia buru-buru memasak air untuk membuat minuman kopi pahitku. 


“Alhamdulillah. Terimakasih ya, Rud. Kalau belum nikmati kopi pahit buatanmu, kayaknya belum pas nginjek bumi,” kataku, ketika Rudy menaruhkan secangkir kopi pahit minuman kesukaanku di meja ruang depan.


“Inilah yang aku suka sama om. Selalu aja ngebesarin hati Rudy. Padahal, kalau mau dihitung-hitung, lebih sering om buat minuman kopi pahit sendiri dibanding Rudy buatin,” jawab Rudy, seraya tersenyum cengengesan.


Rudy membuka lemari tempat menyimpan makananku. Ia mengeluarkan satu bungkus roti merek Regal. Mendadak, ia tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar bagian dalam. Beberapa saat kemudian kembali dengan membawa sebuah bungkusan kecil. 


“Tadi pak Almika kesini, tapi om lagi tidur. Dia nitip ini buat om,” ucap Rudy, dan menyerahkan bungkusan ke tanganku.


Dengan perlahan, aku buka bungkusan kecil tersebut. Ternyata berisi lima bungkus rokok yang doeloe menjadi kesukaanku. Rokok cap Mangga. 


Melihat kiriman Almika itu, aku pun tersenyum. Mengingat kembali betapa nikmatnya waktu masih muda doeloe menghisap rokok kretek ini. Yang sekarang, sangat sulit untuk mencarinya. Apalagi di toko-toko besar.


“Rokok apa itu, om?” tanya Rudy.


“Ini rokok kretek paling enak di jamannya, Rud. Dulu waktu masih muda, om emang demen sama rokok ini. Lintingan tangan dengan tembakau asli, jadi beda rasanya,” jelasku.


Setelah membuka satu bungkus, empat lainnya aku simpan di lemari pakaian. Aku selipkan di tengah-tengah susunan pakaian. 


“Kenapa nyimpennya gitu, om?” tanya Rudy, yang ternyata memperhatikan apa yang aku lakukan.


“Rokok ini kehilangan cita rasanya kalau kena panas, Rud. Jadi, harus disimpen di tempat yang terjaga kelembapannya,” ucapku.


“Wuih, sampai segitunya ya om paham sama rokok Mangga ini. Bener kalau gitu, dulu om demen banget sama ini rokok,” tanggap Rudy, dan tertawa ngakak.


Dan aku pun menyulut sebatang rokok Mangga pemberian sipir Almika. Pada sekali hisapan saja, begitu nikmat aku rasakan. Membawa pikiranku melayang, mengenang masa muda dulu.


Di saat aku tengah merasakan kembali cita rasa rokok saat masa muda sambil meneguk kopi pahit, tiba-tiba berdiri di balik jeruji besi, dua orang pria nan gagah. Pak Raden dan Oong.


“Oh, pak Raden dan Oong. Mau ngobrol di kamar, apa di taman,” kataku, sambil berdiri dan menyalami keduanya dari balik jeruji besi.


“Enakan di taman aja, bang. Biar nggak kerasa amat kalau kita hidup di penjara,” sahut Oong, sambil tertawa ngakak.


Dengan membawa cangkir kopi pahit dan sebungkus rokok cap Mangga, aku keluar kamar. Duduk berhadapan dengan Pak Raden dan Oong di kursi taman depan kamar. Rudy menawarkan kopi untuk kedua tahanan yang beberapa hari lalu aku kenal tersebut. Kedua kawan pak Hadi itu pun menyahuti tawaran Rudy dengan penuh sukacita.


Sambil menikmati minuman kopi dan beberapa gorengan yang dibeli Rudy dari kantin, kami terlibat pembicaraan. Berbagai hal kami perbincangkan. Aku merasa, ada kesetaraan pada apa yang kami bicarakan.


Setelah sekitar 30 menit berbincang di taman, Pak Raden mengajak kami makan bakso di kantin. Saat kami tengah menikmati makanan ringan tersebut, tampak belasan sipir bergerak cepat ke arah Blok C. Juga beberapa pria berpenampilan layaknya aparat keamanan dengan pakaian sipil. 


“Mau ada razia ini, bang. Kami balik ke kamar dulu ya,” kata Oong, dan segera meninggalkan kantin bersama pak Raden.


Usai membayar makanan, aku akan keluar kantin. Namun, seorang aparat berpakaian preman, menahanku di depan pintu. Sambil menanyakan aku tinggal di blok apa. Setelah mendengar penjelasanku, pria berperawakan tinggi itu tetap memintaku masuk kembali ke kantin.


Tak ayal, aku dan beberapa penghuni rutan yang saat itu tengah berada di kantin, tidak dapat kembali ke kamar. Namun, kami bisa menyaksikan betapa razia mendadak tersebut telah membuat suasana Blok A menjadi tegang. 


Suara berbagai barang yang diangkat dan dijatuhkan begitu saja, terdengar dari beberapa kamar. Juga beberapa kali suara keras serta bentakan dari petugas razia. Karena pelaksanaan razia serentak dilakukan pada semua kamar yang ada di blok tersebut, suasana pun menjadi hiruk-pikuk dalam ketegangan. 


Beberapa penghuni Blok C dikeluarkan dari kamarnya. Berdiri tegak di depan kamar masing-masing. Petugas yang merazia tampak membawa beberapa barang. Kebanyakan berupa telepon seluler. 


Tiga petugas masuk ke dalam kantin. Meminta kami yang ada di tempat makan tersebut untuk berbaris. Pemeriksaan badan dilakukan. Cermat sekali. Sampai lipatan jahitan baju dan celana pun, diperiksa. Juga sandal yang dipakai. Semua rokok ditabur di atas meja. Diteliti satu demi satu.


“Ini rokok apa, kok cap Mangga?” tanya seorang petugas yang merazia saat melihat bungkus rokokku yang telah tergeletak di atas meja.


“Rokok jaman dulu ini, pak. Rokok kretek paling enak pada jamannya,” kataku, dengan santai.


“Ini buatan tangan ya. Lintingan sendiri gitu. Jangan-jangan, ada campuran ganja di dalemnya,” lanjut petugas berpakaian preman tersebut.


“Iya, memang buatan tangan, pak. Tembakau asli ini, tanpa campuran. Kalau bapak ragu, belah aja rokoknya. Nanti sama-sama kita lihat isinya,” sambungku dengan percaya diri.


Merasa tertantang, petugas itu membelah satu batang rokokku. Menaburkan tembakaunya di meja kantin. Ia sisir tembakau itu dengan pulpennya. Cermat sekali. Dan setelahnya, ia memandangku.


“Kenapa, pak?” tanyaku, spontan.


“Bener, isinya tembakau asli. Nggak ada campuran apa-apa. Dimana rokok ini belinya,” kata petugas tersebut.


“Ini pemberian kawan, pak. Saya nggak tahu dimana belinya. Baru tadi pagi juga saya terimanya,” kataku lagi.


“Oke kalau gitu. Kalian semua silakan kembali ke kamar masing-masing,” ucap petugas itu, dan aku bersama beberapa orang yang sempat tertahan di kantin, segera berjalan ke kamar masing-masing.


Sesampai di kamar, tampak Rudy tengah rebahan di lantai tempat tidur. Sambil membaca buku. 


“Ada razia d Blok C, Rud. Om tertahan di kantin tadi,” kataku, seraya duduk di dekatnya.  


“Iya, Rudy denger kalau ada razia. Tapi nggak masuk sini kok, om. Mereka yang pakaian preman itu polisi dari Polda. Nyari tahanan yang biasa modus ngaku-ngaku aparat,” tanggap Rudy, dengan santainya. (bersambung)

LIPSUS