Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 308)

Dibaca : 0
 
Jumat, 04 November 2022


Oleh, Dalem Tehang


O gitu, Rud. Bukannya Heru dan kawan-kawannya di kamar 18 dulu yang biasa main modus itu?” tanyaku.


“Sejak om Heru pindah, kegiatan mereka berhenti, om. Karena diminta setoran tinggi. Mereka nggak sanggup. Yang aktif bener itu, ya di Blok C. Hampir semua kamar, ada aja pemainnya. Canggih-canggih malahan,” urai Rudy, yang memang tampak menguasai “lapangan” rutan.


“Nurut kamu, kenapa sampai ada razia dadakan gini, dan libatin orang luar ya, Rud,” ujarku, penasaran.


“Cuma dua aja penyebabnya, om. Pertama, karena ada keluarga polisi yang kena dikadalin sama tahanan disini. Yang kedua, karena ada yang bocorin permainan modus ngaku-ngaku polisi itu,” jawab Rudy, tetap dengan nada santai. 


“Kalau nurut feeling kamu, dari dua itu mana yang lebih dominan jadi alasan adanya razia sekarang ini?” tanyaku, masih dengan nada penasaran. 


“Kayaknya sih karena alasan pertama, om. Nggak mungkinlah polisi sampai mau masuk rutan dan ngubek-ngubek kamar tahanan, kalau nggak ngerasa kedigdayaannya terganggu,” jelas Rudy.


“Bisa jadi gitu ya, Rud. Karena kalau sekadar ada tahanan yang bocorin, nggak mungkin juga segalak itu petugasnya ngelakuin razia. Emang banyak seninya disini ya,” tanggapku, dan tersenyum.


Suara adzan Dhuhur menggema dari masjid. Rudy langsung menutup bukunya, setelah memberi batas pada halaman yang tengah ia baca. Aku pun bergerak. Berwudhu dan menunggu Rudy di depan pintu kamar.


“Nggak pakai sarung, om? Cukup celana panjang aja?” tanya Rudy, saat melihatku tidak mengganti celana jeans panjang yang aku kenakan.


“Sesekali solat pakai celana kan nggak apa-apa sih, Rud. Yang penting tetep sesuai syarat dan rukunnya,” sahutku, dan menariknya untuk segera berjalan menuju masjid.  


Saat kami menyelusuri selasar, tampak petugas baru selesai melakukan razia. Ada enam kardus berisi penuh barang yang mereka bawa. Juga sembilan tahanan yang bertelanjang dada, digiring menuju pos penjagaan dan selanjutnya dibawa ke kantor rutan. Untuk menjalani pemeriksaan lanjutan.


“Banyak juga hasil razia tadi ya, Rud,” ucapku, sambil melihat belasan petugas berjalan meninggalkan Blok C.


“Itu kan cuma yang ketahuan sih, om. Yang nggak terlacak, pasti lebih banyak lagi. Hebatlah tahanan kalau urusan selip-nyelipin barang mah om,” jawab Rudy, seraya tersenyum.


“Jadi, hasil enam kardus itu sedikit ya, Rud?” tanyaku.


“Ya iyalah, om. Kalau mau dibongkar semua kamar sampai sedetilnya, bisa puluhan kardus barang terlarang masuk rutan yang mereka dapetin,” lanjut Rudy.


“O gitu, Rud. Kenapalah razia kok tanggung gitu ya,” ujarku, menyela.


“Kan petugas utamanya polisi ini, om. Mereka nggak paham detail selip-selipan di sel. Jadi, dapet hasil razia enam kardus itu aja, pasti mereka sudah ngerasa sukses besar. Padahal, yang nggak ketahuan, jauh lebih banyak lagi,” tanggap Rudy, dan tertawa ngakak.


“Emang banyak yang nyelipin barang terlarang ya, Rud?” lanjutku, masih penasaran.


“Lha, om aja kan nyelipin hp di balik rak tempat tidur. Itu kan barang terlarang juga. Beberapa kali razia, apa ketahuan. Nggak kan? Itu baru om. Pastilah di kamar-kamar lain juga banyak tempat nyimpen barang yang sulit ketahuan. Rutan ini tempatnya orang-orang cerdik, om. Tampilannya aja sok lugu. Padahal, bandit semua otaknya,” urai Rudy, masih dengan tertawa.


Sesampai di masjid, buru-buru aku dan Rudy solat sunah. Karena ustadz Umar tampak sudah selesai solat sunahnya. Dan benar saja, begitu kami sedang takhiyat akhir, solat Dhuhur dimulai. 


Aku dan Rudy berjamaah pada saf paling belakang. Puluhan tahanan dan pegawai rutan memenuhi masjid, dan solat dengan kekhusu’annya. Seusai berdoa, aku mengajak Rudy untuk segera kembali ke kamar.


“Mau makan sekarang apa nanti, om? Cateringnya ada lauk ikan asin sama sambel mentah,” kata Rudy, setelah kami berada di dalam kamar.


“Nanti aja, Rud. Kalau kamu mau makan duluan, nggak apa-apa. Tadi kan om sempet makan bakso,” jawabku, dan naik ke lantai tempat tidur. Mengambil buku catatan harian.  


Keasyikanku menulis terganggu dengan masuknya sipir yang melakukan apel. Sipir berusia 45 tahunan itu, hanya tersenyum saat melihatku sedang menulis.


“Kirain nggak ada orang, ternyata pakde ada di dalem lagi nulis. Rudy kemana ya, pakde,” kata sipir berwajah ganteng dengan kulit putih bersih itu.


“Kali dia lagi nganter catering buat Ino di kamar 23, pak. Maaf kalau pas apel, aku nggak di depan,” sahutku, dan buru-buru bangun dari tempat duduk.


“Tolong nanti sampein ke Rudy, aku minta dibuatin kopi manis. Anter ke kamar 6 aja, kami nanti mau main disana,” lanjut sipir itu, seraya tersenyum.


“Oke, paham, pak,” jawabku, pendek.


Sipir itu langsung keluar kamar dan melanjutkan tugasnya melakukan apel siang. Memeriksa semua sel dan penghuninya di Blok B. Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar dibuka dengan kencangnya. Ternyata Rudy yang datang. Sambil ngos-ngosan, ia menanyakan apakah sudah apel kamar kami.


“Barusan aja, Rud. Tadi sipirnya pesen, dia minta kamu buatin kopi manis dan nanti dianter ke kamar 6. Katanya, dia mau main disana,” ucapku, yang kembali asyik menulis pada buku catatan harian.  


“Oalah, lagi-lagi ngebuatin kopi. Heran aku sama sipir-sipir yang jadwal tugasnya siang ini, om. Mereka selalu main kartu di kamar 6. Ngajak tahanan mainnya. Kalau kalah, mereka minta dibeliin rokok. Tapi kalau menang, langsung ngilang,” kata Rudy, panjang lebar.


“Itu kan cara mereka ngatasi kejenuhan saat tugas sih, Rud. Ya ngertiin aja. Lagian, main kartu juga hiburan. Jangan gampang heran kalau ngelihat sesuatu yang nurut pandanganmu agak nyeleneh,” kataku, tetap sambil meneruskan catatan harian.


“Tapi nggak fair-lah, om. Masak kalau kalah, minta dibeliin rokok sama tahanan yang menang,” sambung Rudy.


“Tahanan yang mau diajak main kartu aja yang kurang mikir panjang, Rud. Sudah tahu sipir itu penguasa, masih mau main juga. Masih untung cuma minta dibeliin rokok, gimana kalau mereka minta lagi semua uangnya setelah mainnya kalah,” ujarku, sambil tersenyum. 


“Iya juga ya, om. Sama aja bohong ya kalau sudah menang main, eh diminta lagi sama sipir yang kalah,” kata Rudy, menyela dengan cepat, sambil tertawa ngakak.


Baru saja Rudy keluar kamar, terdengar pintu kamar dibuka dan suara salam. Aku mengenali suara itu. Pak Edi. Kap kamar 34. 


“Waalaikum salam. Masuk, pak Edi,” kataku, tetap dalam posisi menulis di lantai tempat tidur.


“Oh, kirain babe lagi tidur. Nggak tahunya nulis. Kok rajin amat sih nulisnya, be. Sejak di polres dulu sampai sekarang, nulis terus,” kata pak Edi, dan duduk di dekatku. Sambil menyandarkan badannya di tembok.


“Yah, sekadar buat catatan harian aja, pak. Ketimbang nganggur. Lagian, supaya ada kenangan saat kita terpuruk gini,” jawabku dengan santai.


“Sudah habis banyak dong bukunya, be. Kalau sudah penuh bukunya, ditaruh dimana emangnya,” lanjut pak Edi. Matanya berkeliling melihat rak tempatku menaruh beberapa barang pribadi.


“Sudah banyaklah, pak. Nggak kehitung lagi jumlahnya. Kalau satu buku sudah penuh, aku kirim ke rumah. Buat bacaan istri dan anak-anak. Jadi mereka tahu apa aja kegiatanku, juga kejadian-kejadian yang aku alami disini,” tuturku.


“Apa nggak malah buat mereka sedih, be? Buat mereka trauma nantinya?” tanya pak Edi, dengan wajah serius.


“Alhamdulillah, nggak. Mereka justru tanya kalau aku lama belum kirim buku catatan harian dari sini. Buat istri dan anak-anakku, buku ini kayak pengganti aku cerita gitu, pak. Jadi hiburan juga buat mereka,” jawabku, tetap dengan santai.


“Unik juga ya, be. Beberapa kali aku masuk bui, baru kali ini ketemu orang yang nulis catatan harian kayak babe gini,” ucap pak Edi, masih dengan wajah serius.


“Sebenernya, pasti banyak jugalah yang lakuin kayak aku ini. Cuma, pak Edi nggak tahu aja. Lebih pasnya, karena nggak kenal orangnya, jadi ya nggak perlu tahu juga,” ujarku.


“Aku tadi habis marah besar di kamar, be. Gara-garanya, aku lagi tidur, banyak aja yang berulah. Ngobrol kenceng-kencenglah, ada yang nyanyilah. Nggak karuan aja tadi itu. Makanya aku jadi marah. Kesini karena kepengen ngopi sambil nenangin diri,” kata pak Edi lagi.


Aku panggil Rudy yang sedang menonton televisi di ruang pintu masuk blok. Untuk membuatkan kopi pak Edi. Dengan gerakan cepat, OD kamarku itu memenuhi permintaanku. Anak muda ini memang cekatan, dan tanpa banyak bicara saat melakukan pekerjaan. (bersambung)

LIPSUS