Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 309)

Dibaca : 0
 
Sabtu, 05 November 2022


Oleh, Dalem Tehang


JANGAN gampang marah, pak Edi. Nggak ada masalah yang selesai sama marah. Malah buat kita sakit nanti. Minimal sakit hati,” tanggapku, setelah kami berdiam beberapa waktu.


“Gimana nggak marahlah, be. Sudah tahu aku lagi nyenyak tidur, mereka malah sengaja nyanyi-nyanyi dan ngobrol kenceng-kenceng. Itu kan sama aja nggak ngehargai posisiku sebagai kap kamar,” ujar pak Edi, dengan menahan emosi.


“Lain kali, dikasih tahu aja baik-baik. Dinasihati aja kawan-kawan buat saling ngehargai. Bukan karena posisi, tapi karena kita senasib sepenanggungan,” aku memberi saran pak Edi.


“Nah, itu masalahnya, be. Mereka menolak nasihatku dengan alasan cara penyampaiannya yang nggak pas,” pak Edi, menyela.


“Prinsipnya, kalau kita sampein nasihat tapi orang menolak dengan alasan cara nyampein yang nggak pas, ya nggak usah dilanjutin, pak. Karena, kalau hati yang bermasalah, sebaik apapun nasihat yang kita sampein, tetep aja terasa nyakitin,” ujarku.


“Jadi, aku harus kayak mana ya, be. Nenangin hati aja sudah susah sekarang ini,” kata pak Edi, melanjutkan pembicaraan setelah Rudy menaruhkan secangkir kopi manis di depan tempatnya duduk.


“Aku dulu pernah diajari seorang guru, kalau susah nenangin hati, baca kalimat ini sambil ngusap-ngusap dada, pak. Mungkin bisa pak Edi coba,” sahutku.


“Apa kalimatnya, be?” tanya pak Edi, dengan cepat.


“Duhai hati, jangan cepet benci, jangan cepet marah. Karena telinga kadang salah mendengar, mulut salah mengucap, dan hati salah menduga. Itu kalimatnya, pak. Baca sambil ngusap-ngusap dada,” jelasku.


“Babe sudah pernah coba ya? Apa hasilnya?” tanya pak Edi lagi.


“Seringlah, pak. Alhamdulillah, pelan-pelan, hatiku tenang lagi. Tapi, aku tambah baca istighfar 33 kali setelah baca kalimat tadi,” kataku.


“Oke, kalau babe sudah nyobanya, aku mau juga praktekinnya. Karena nenangin hati itu susahnya minta ampun lo. Apalagi kalau keburu marah kayak tadi. Sampai ubun-ubun rasanya,” tutur pak Edi, sambil mengirup minuman kopinya.


“Ustadz Umar pernah nyampein dalam tausiyahnya, ada enam kriteria belajar yang harus kita wujudin pada situasi sekarang ini, pak. Yaitu belajar diam dari banyaknya bicara, belajar sabar atas kemarahan-kemarahan, belajar susah atas banyaknya kesenangan, belajar ikhlas atas banyaknya kekecewaan, belajar tawakkal atas segala ujian, dan belajar ridho atas takdir Tuhan,” kataku, sambil membaca catatan pada buku harianku.


“O, tausiyah ustadz juga babe tulis ya,” ucap pak Edi, setelah mengetahui apa yang aku sampaikan ada di dalam buku harianku.


“Iya dong, pak. Semua itu kan ilmu. Banyak lo yang bisa kita dapet dari tausiyah ustadz Umar. Karena aku pelupa, maka setelah balik ke kamar dari masjid, buru-buru aku tulis,” jawabku, sambil tersenyum.


“Bener juga ya, be. Emang harus ditulis gini ya, biar kita tetep inget. Yang aku rasain, baru aja denger tausiyahnya, sudah lupa apa aja isinya. Padahal, pas dengernya, kayak sudah resep bener di pikiran dan hati,” kata pak Edi, tersenyum kecut.


“Kita ini hidup dalam situasi yang nggak stabil, pak. Baik pikiran, hati maupun jiwa kita kan selalu terombang-ambing. Nggak karu-karuan ombaknya. Jadi, kita perlu kiat-kiat tersendiri buat bisa tetep ngejaga keseimbangan itu. Yang masing-masing kita pastinya berbeda cara,” ujarku, panjang lebar.


“Sepakat aku dengan omongan itu, be. Emang susah ngendaliin diri disini. Tapi, kalau sudah diskusi sama babe, aku ngerasa tenang. Nggak tahu, ada kekuatan apa yang babe punya,” tutur pak Edi lagi.


“Nggak adalah kekuatanku, pak. Cuma terus belajar buat tetep tenang ngadepi apapun. Walau pikiran, perasaan, dan jiwa terasa nggak karu-karuan goncangannya,” sahutku, dan kembali tersenyum. 


Terdengar suara salam dari pintu depan. Masuklah tiga orang pria. Pak Hadi, pak Raden, dan Oong. Ketiganya telah membawa kain sarung, yang dililitkan pada leher masing-masing.


“Ini bukan masjid. Masjidnya kan deket sama kamar kalian, kok malah nganclong kesini,” kata pak Edi, ketika melihat ketiganya langsung duduk santai di dekat kami berdua.


“Ya kan belum waktunya solat sih, pak. Makanya mampir ke kamar bang Mario dulu. Pengen kongkow sambil ngopi,” jawab Oong, dan tertawa ngakak.


Aku mencari Rudy, yang ternyata tengah bermain tenis meja di depan kamar 25. Begitu melihatku berdiri di depan kamar, ia paham bila aku tengah mencarinya. Dengan langkah terburu-buru, ia menuju ke tempatku berdiri. Aku sampaikan ada tiga tamu dan ingin menikmati minuman kopi buatannya.


Bergeraklah Rudy memanaskan air dari galon menggunakan teko listrik. Menyiapkan tiga cangkir dan mengisinya dengan adonan kopi serta gula. Hanya beberapa waktu kemudian, minuman kopi panas untuk pak Hadi, pak Raden, dan Oong sudah disuguhkan di depan tempat duduk mereka.


“Terimakasih ya, Rud. Ya sudah sana, lanjutin permainan tenis mejamu,” kataku, setelah Rudy menyelesaikan tugasnya.   


“Jadi apa cerita razia tadi itu?” tanya pak Edi kepada ketiga penghuni Blok C yang bertandang ke kamarku saat itu.


“Tim khusus IT dari Polda yang tadi turun. Dilapis sama sipir disini. Karena banyak laporan adanya permainan modus ngaku-ngaku aparat yang sudah resahin masyarakat,” kata pak Hadi. 


“Terus hasil razianya gimana? Emang ada yang terlibat permainan modus itu?” tanya Pak Edi lagi.


“Awalnya, ada tiga orang yang dicurigai. Begitu diteken sama polisi, mereka nyanyi. Jadilah sembilan orang yang dibawa. Kayaknya sih, bakal diangkut ke polda dulu. Diproses disana,” sambung pak Hadi.


“Kayaknya semua kamar diubek habis-habisan ya?” tanyaku, menyela.


“Iya, bang. Semua kamar diperiksa dengan teliti. Kami semua juga diperiksa badan. Alhamdulillah, dari kamar kami nggak ditemuin barang terlarang. Jadi kap Hadi ya tenang-tenang aja,” kata pak Raden, sambil tersenyum.  


Mendengar penjelasan pak Raden, pak Hadi hanya tersenyum. Pria yang selalu berpenampilan tenang ini, memang memiliki kecerdikan tersendiri dalam memimpin belasan orang di kamarnya.


Terdengar suara adzan Ashar dari masjid. Setelah menghabiskan minuman kopinya, pak Hadi, pak Raden, dan Oong bergerak keluar kamar. Menuju masjid. 


Rudy yang semula bermain tenis meja,  juga kembali ke kamar, mengambil kain sarung dan kopiahnya. Hanya pak Edi yang kembali ke kamarnya.


“Ayo ke masjid, om,” kata Rudy, saat melihatku masih merapihkan cangkir-cangkir di lantai tempat tidur.


“Beresin ini dululah, Rud,” ujarku.


“Sudah biarin aja. Nanti Rudy beresin. Yang penting cepetan kita ke masjid. Sayang kalau nggak solat jamaah,” lanjut Rudy.


Aku pun ke kamar mandi. Berwudhu dan setelah mengambil kain sarung serta kupluk, langsung berlari mengejar Rudy yang telah berjalan lebih dahulu. Sesampai di masjid, pak Raden mendekatiku.


“Habis solat ini kita ke kantin ya, bang,” kata pak Raden.


“Ngapain di masjid ngomongin soal makan sih, pak. Nantilah itu kita bahas,” sahutku, yang terganggu rencana untuk melakukan solat sunah.


“Bukan gitu, bang. Tadi pagi kan aku ngajak abang makan bakso. Tapi karena ada razia, akhirnya abang yang bayar bakso kita bertiga. Nah, nanti kita makan mie ayam, aku yang bayar. Gantianlah,” jelas pak Raden, sambil tersenyum. 


“Ya sudah, yang penting kita konsentrasi solat dulu. Soal makan, urusan belakang,” ucapku, dan bergerak masuk ke saf untuk solat Ashar berjamaah. (bersambung)

LIPSUS