Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 310)

Dibaca : 0
 
Minggu, 06 November 2022


Oleh, Dalem Tehang


SAAT keluar masjid, aku melihat pak Raden dan Oong telah berdiri di depan teras. Sambil berbincang. 


“Kita tunggu pak Hadi sebentar ya, bang,” kata pak Raden, begitu aku bergabung.


Tidak beberapa lama kemudian, pak Hadi keluar dari masjid. Berempat kami menuju kantin. Saat itu, suasana kantin penuh sesak. Hampir 50 penghuni rutan tengah kongkow disana. 


Ada yang memang menikmati makanan dan minuman yang dijajakan, banyak pula yang sekadar berbincang dengan sesama. Berbaur antarsesama WBP pada petang hari, menjadi kebiasaan yang telah lama berlangsung. Pada saat itulah, keceriaan wajah para tahanan tetap terpancarkan. Menutup erat kepedihan di dalam jiwa.


Kami berempat memilih duduk di taman depan kantin, yang baru saja ditinggalkan beberapa WBP. Menikmati mie ayam ditambah tahu dan tempe goreng, mata kami sambil melihat kawan-kawan yang sedang bermain sepakbola maupun bola volly.


“Dulu, aku suka bener main bola. Tapi karena umur, akhirnya milih olahraga catur,” kata pak Hadi. 


“Apa enaknya main catur itu ya, kap?” tanya Oong pada pak Hadi.


“Yang pasti, melatih kesabaran dan ketenangan. Dari keduanya itu, makna di balik gerakan memainkan bidak-bidaknya, yang sebenernya lebih asyik,” kata pak Hadi, dengan gaya khasnya; kalem.


“Asyiknya gimana, pak?” pak Raden bertanya, sambil terus menyuapkan mie ayam ke mulutnya.


“Keasyikan yang aku rasain, kita jangan pernah ngerasa tertingggal, karena setiap orang punya waktunya masing-masing. Dan pion-pion ngajari kita untuk tidak pernah mundur dalam kondisi apapun,” jelas pak Hadi, seraya tersenyum. 


“Kata banyak orang, siapa yang jago main catur, bisa dibilang orang yang matang ya, kap,” ucap Oong, menyela. 


“Main catur itulah proses nuju kematangan pribadi kita, Oong. Yang akan buat tetep tenang kalau ada yang ngomongin kejelekan kita di belakang. Bukannya kita nggak tahu, tapi lebih milih untuk ngabaiin, karena banyak hal lain yang lebih penting buat dipikirin. Dari kematangan pribadi itulah, lahir kesabaran dan ketenangan, dua hal yang sangat penting buat kesuksesan kehidupan ini,” tutur pak Hadi dengan panjang lebar.


“Itulah kenapa selama ini kap nggak peduliin orang mau ngomongin apa aja ya?” tanya Oong lagi.


“Aku pegang bener apa yang disampein Imam Syafi’i, Oong. Beliau bilang; Orang jahil berbicara kepadaku dengan segenap kejelekan, aku enggan menjawabnya. Dia semakin bertambah kejahilan, dan aku makin bertambah kesabaran. Seperti gaharu dibakar, akan semakin menebar kewangian,” sahut pak Hadi, tetap dengan suara kalem.


“Hebat emang ketenangan batin kap ini. Salut aku,” ucap Oong, dengan cepat.


“Jangan cepet kagum sama seseorang, Oong. Karena kita semua nggak ada yang sempurna. Sama-sama aja kita jadiin penjara ini buat perbaiki diri, lahir dan batin. Inshaallah, ada kebaikan setelah keluar nanti,” tanggap pak Hadi.


“Sepakat aku, pak. Minggu lalu aku dikirimi surat sama anakku. Isinya gini; Sekuntum bunga tak pernah bercerita untuk apa dia tercipta. Dia hanya selalu mengeluarkan wangi aroma. Begitupun dengan manusia. Dia tak perlu bercerita siapa dirinya. Cukuplah selalu berbuat baik kepada sesama,” kata pak Raden, sambil matanya menatap kertas kecil yang sebelumnya ia keluarkan dari kantong baju kokonya. Surat dari sang anak. 


Setelah mendengar beberapa perbincangan lain, yang penuh dengan suplemen batin dan satir, aku pun berpamitan. Kembali ke kamarku. Mandi dan duduk di atas kasur. Meneruskan membaca Alqur’an. Hingga suara adzan Maghrib menggema dengan kencangnya.


“Rud, om solat di kamar aja ya?” kataku kepada Rudy yang tengah bersiap ke masjid.


“Lho, kenapa om?” tanya Rudy dengan nada heran.


“Lagi pengen solat di kamar aja. Terus mau lanjut baca Qur’an,” jawabku.


Mendengar jawabanku, Rudy tak berkomentar lagi. Anak muda berusia 27 tahunan itu langsung melangkahkan kakinya. Keluar kamar dan menuju masjid. Untuk solat berjamaah. Selepas melaksanakan solat sendirian di kamar, aku kembali membaca Alqur’an.


Melihat aku masih mengaji dengan serius, Rudy yang telah kembali dari masjid, mengambil kitab suci miliknya, dan duduk bersandar tembok di dekatku. Membaca ayat-ayat ciptaan Ilahi Rabbi. Suara bacaan Alqur’an pun menggema dengan syahdunya di kamarku.


Sempat aku mendengar suara pintu depan, ada yang membuka. Namun tidak berselang lama, ditutup kembali. Karena posisiku membelakangi pintu, dan terhalang tembok pemisah kamar mandi, tidak tahu dengan pasti siapa yang tadi membuka pintu dan sempat masuk kamar tapi kemudian keluar lagi.


Hingga suara adzan Isya menggema dari masjid, aku dan Rudy sama-sama menutup kitab suci.


“Kita solat di kamar aja ya, om. Tapi jamaahan. Om yang jadi imam,” kata Rudy, seraya memegang Alqur’an yang didekapkan di dadanya.


“Boleh juga, Rud. Kayaknya emang perlu juga sesekali kita jamaahan di kamar, biar terasa lebih adem kamar kita ini,” sahutku, dan bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu.


“Kan belum batal sih, om. Ngapain wudhu lagi?” tanya Rudy melihatku berwudhu.


“Emang belum batal, Rud. Tapi memperbaiki wudhu itu lebih baik,” kataku, dan meneruskan untuk bersuci.


Selepas kami solat Isya berjamaah di lantai tempat tidur, Rudy langsung menyiapkan makan malam. Pada saat bersamaan, apel malam pun berlangsung. Sipir Fani yang bertugas.


“Sehat terus ya, bang,” kata Fani, sambil kami bersalaman dari sela-sela jeruji besi.


“Alhamdulillah, terus sehat. Kamu sekeluarga juga selalu sehat ya, Fani,” ucapku, menimpali. 


“Alhamdulillah, terus saling doa aja yang penting, bang,” kata Fani lagi dan bergerak ke kamar 19 untuk mengecek penghuni sel.


Malam terus bergerak mengikuti siklusnya. Perlahan, suasana rutan pun mulai sunyi. Hanya sesekali terdengar suara canda tawa dari beberapa kamar yang penghuninya belum tidur. (bersambung)

LIPSUS