Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 311)

Dibaca : 0
 
Senin, 07 November 2022


Oleh, Dalem Tehang


AKU mencoba untuk menulis sebuah cerita pendek, mengenai kisah kehidupan Rudy. Namun, saat aku menyampaikan niat menulis cerita tentang kehidupannya, Rudy menolak. 


Dengan alasan, apa yang kini dijalaninya adalah takdir yang hanya ia pribadi berhak menikmatinya. 


“Om nulis aja yang lain ya. Jangan kisah Rudy. Sebagai penulis, om harus tahu, setiap kata adalah doa. Setiap langkah adalah ibadah. Jangan pernah berharap dipuji dan jangan takut untuk dicaci. Bersihkan diri dari perkataan buruk. Inget sama sabda Nabi: perkataan yang baik adalah sedekah,” tutur Rudy, dengan wajah serius.


Mendengar tuturan Rudy, aku terdiam. Anak muda ini semakin berisi. Pikirannya mulai disesaki dengan beragam pengetahuan tentang agama beserta pengembangannya. Batinnya juga telah menebal pondasi ketenangannya. Hingga membuatnya tampil lebih percaya diri.


“Kalau gitu, om tidur ajalah, Rud. Lagi nggak mood juga pengen ngapa-ngapain,” ujarku, beberapa saat kemudian.


“Tidur itu lebih baik ketimbang maksain lakuin sesuatu tapi nggak maksimal, om. Terkadang, emang banyak yang pengen kita tulis dan ungkapin, tapi hati berbisik pelan: Sudahlah, Allah lebih tahu segalanya,” tanggap Rudy, dan tersenyum cengengesan.


Baru saja aku membalikkan badan di kasur sambil memeluk guling, terdengar salam dari pintu depan. Aku menengok ke arah Rudy yang masih duduk bersandar tembok di lantai tempat tidur. Sesaat kami berpandangan. 


Mendadak telah berdiri di dekat kami, seorang tamping jaga malam. Ia menyampaikan, pak Anas ingin ketemu denganku. Spontan Rudy menjawab jika aku telah tidur. Saat itu, posisiku memang telah kembali membelakangi Rudy yang bersandar di tembok.


“O, pakde Mario sudah tidur ya, Rud. Kata pak Anas, tadi dia sudah kesini tapi lagi pada ngaji. Jadi dia keluar lagi. Katanya, ada perlu penting,” ujar tamping itu.


“Gini aja, kalau nanti om Mario bangun, aku sampein. Kan tinggal ke sebelah aja. Bisa ngobrol lewat teralis,” jawab Rudy, dengan enteng.


“Oke kalau gitu, Rud. Yang penting aku sudah sampein amanat pak Anas ya,” kata tamping jaga malam dan selanjutnya meninggalkan kamarku.


Setelah memastikan tamping keluar kamar dan menutup pintu depan dengan rapat, Rudy kembali duduk di dekatku. Juga dengan bersandar di tembok.


“Ngapa ya, pak Anas pengen ketemu om? Sampai nyuruh tamping. Nggak biasanya juga, apalagi malem-malem kayak gini,” kata Rudy, dengan pelan.


Aku membalikkan badan. Memandang Rudy yang tampak penuh pertanyaan di dalam pikirannya.   


“Waktu kita lagi ngaji tadi, emang om denger ada yang masuk kamar, Rud. Tapi keluar lagi. Barangkali pak Anas tadi itu,” ujarku.


“Oh, ada yang dateng ya, om. Rudy malah nggak denger sama sekali,” sahut Rudy.


“Om denger suara pintu dibuka, tapi nggak ada salam atau apa. Nggak lama, pintu ditutup lagi. Kalau itu pak Anas, kenapa dia nggak langsung salam atau negor kita,” ujarku lanjut.


“Nanti om coba ke sebelah, temui pak Anas. Penasaran juga ada apa sama guru ngaji Rudy itu, om,” kata Rudy.


Terdengar suara pintu depan dibuka, diiringi langkah sepatu laras. Pasti sipir. Ternyata benar. Sipir Fani yang datang. Ditangannya terdapat sebuah bungkusan.


“Rud, ambil piring. Ini ada martabak. Sambil ngopi, pasti lebih enak makan martabak hangat,” kata Fani, seraya membuka sepatu larasnya dan duduk di lantai tempat tidurku.


“Emang abang sudah mau tidur ya?” tanya Fani tiba-tiba, begitu melihat aku bangun sambil merapihkan selimut.


“Rebahin badan aja tadi itu, Fani. Sambil ngobrol-ngobrol sama Rudy,” jawabku.


Dan beberapa saat kemudian, Rudy telah membuatkan Fani minuman kopi hangat. Martabak manis yang dibawa Fani, ditaruh pada piring beserta dua sendok kecil.


Sambil berbincang ringan, kami pun menikmati minuman dan makanan ringan, yang cukup mengenyangkan. Setelah minuman kopinya habis, sipir Fani pamit. Ia akan kembali ke pos jaganya. Di Blok C.


Sepeninggal Fani, aku panggil Rudy. Untuk menikmati martabak yang dibawa sipir muda usia yang selalu berpenampilan rapih dan wangi itu. 


“Pak Fani itu baik bener ya, om. Pembawaannya sopan, ngomongnya juga santun. Dan nguwongke, kalau kata orang Jawa. Padahal, kalau ngelihat badannya yang tinggi besar dengan jambang lebet di wajahnya, juga matanya yang tajam kalau natap orang, belum lagi diajak ngomong, orang sudah keder duluan,” kata Rudy, sambil mengunyah martabak dengan lahapnya.


“Makin kita yakini, emang nggak boleh nilai orang cuma dari tampilan aja, Rud. Ada yang posturnya kurus kering, tapi ternyata galaknya minta ampun. Kalau ngomong kayak nggak ada harga lagi kita-kita ini. Kalau Fani, sejak om kenal waktu kuliah dulu, bawaannya selalu tenang, bersahaja, dan ramah sama siapa aja. Nggak milih-milih dalam bertemen,” sahutku, dan kembali memakan martabak pemberian Fani.


“Hidup ini emang unik ya, om. Kita jadi kaya pengalaman dalam mahami orang selama disini. Bener kata orang-orang, kehidupan ini kayak sebuah cerita. Rudy jalani peran sendiri, om juga jalani peran om. Cuma, kita sama-sama nggak tahu, akhir cerita hidup ini bakal seperti apa,” tutur Rudy, panjang lebar.


“Nikmati aja perjalanan hidup ini, Rud. Karena semua sudah tertakar, nggak mungkin tertukar. Dan tetep syukuri bagian takdir kita, nggak usah iri sama takdir orang lain,” tanggapku, seraya tersenyum.


“Bukan dulu, om. Gimana sama pak Anas? Jadi nggak om nemuin dia. Apa besok pagi aja,” kata Rudy, setelah kami berdiam beberapa saat.


“Besok pagi ajalah, Rud. Kayaknya pak Anas lagi ada masalah, dan mau nyampein ke om. Paling juga minta cariin solusinya. Sesekali dulu kita tidur sore tanpa bawa beban pikiran berbungkus masalah,” jawabku, sambil tertawa.


“Iya juga ya, om. Kalau tidur nggak bawa beban pikiran kan, bisa mimpi indah,” kata Rudy, menanggapi dengan cepat, juga diiringi suara tawanya.


Satu bungkus martabak pemberian Fani telah habis kami makan, Rudy segera membawa piring, sendok, dan gelas ke kamar mandi, dilanjutkan dengan  membersihkan lantai tempat tidur. Dan aku pun bersiap untuk memulai istirahat. Beberapa saat kemudian, aku telah lelap dalam kematian sesaat. (bersambung)

LIPSUS