Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 312)

Selasa, 08 November 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang 


RUDY menepuk-nepuk telapak kakiku dengan pelan. Membangunkan dari tidur setelah terdengar suara adzan Subuh. Tanpa banyak bicara, aku dan Rudy bergerak cepat menuju masjid. Mengikuti solat berjamaah. Selepas berdoa, aku beringsut. Keluar masjid. Rudy mengikuti. 


“Nggak dengerin kultum dulu, om?” tanya Rudy, sambil memakai sandal di depan masjid.


“Absen dulu, Rud. Om kok kepikiran terus sama pak Anas. Nemuin dia dulu aja,” sahutku, dan bergegas meninggalkan masjid.


Aku berdiri di balik jeruji besi kamar 19. Ku lihat, pak Anas tengah duduk tepekur di atas sajadahnya. Di sudut ruang depan kamarnya. Menempel di pintu. 


Wajahnya menunduk. Dalam-dalam. Matanya memejam. Di tangannya, tasbih terus bergerak. Pelan. Menandakan ia tengah menyenandungkan dzikir.


“Assalamualaikum,” ucapku, dengan pelan.


“Waalaikum salam,” sambut pak Anas, dengan suaranya yang parau.


Sesaat kemudian, pria yang sehari-hari bekerja sebagai tukang sol sepatu dan tersangkut kasus togel itu, mengangkat wajahnya. Menengokkan wajahnya ke posisiku yang berada di balik jeruji besi. Sambil berdiri dengan pelan, pak Anas menunjukkan sebuah senyuman. Yang tetap penuh keteduhan.


“Maaf, pak. Baru bisa nemuin. Ada masalah apa?” kataku, saat kami bersalaman dari sela-sela jeruji besi.


“Bisa babe keluarin aku dari kamar? Enaknya ngobrol di kamar babe aja,” ucap pak Anas, masih dengan suaranya yang parau.


Aku bergeser, ke kamarku. Meminta Rudy yang saat itu tengah mencuci gelas dan piring di kamar mandi, untuk mencari tamping kunci. Mengeluarkan pak Anas dari kamarnya. 


Sekitar 10 menit kemudian, pria lowprofile itu telah duduk di kursi ruang depan kamarku. Rudy dengan cepat menyiapkan kami minuman hangat. Untukku kopi pahit, dan pak Anas teh manis.


Ku pandangi wajah pak Anas yang tetap tanpa ekspresi saat ia dengan kalem meneguk teh manisnya. Membuatku sempat ragu untuk segera mengajukan pertanyaan. Sampai kemudian, ia yang memulai cerita. 


“Maaf, sampai minta tamping nyampein ke babe kalau aku pengen ketemu. Karena ini memang soal penting. Mau minta masukan dari babe,” tutur pak Anas, memulai pembicaraan.


“Nggak apa-apalah, pak. Justru aku yang minta maaf, baru sekarang bisa nemuin pak Anas. Memangnya ada apa, pak?” sahutku, dengan santai. 


“Kemarin sore aku dapet kabar, ibuku wafat dua hari lalu, be. Nanti malem, tahlilan hari ketiga di rumah. Kira-kira, bisa nggak babe fasilitasi buat kita adain pengajian di kamarku,” ucap pak Anas dengan suara tercekat.  


“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Aku turut berdukacita, pak. Inshaallah, ibu husnul khotimah,” sahutku dengan cepat, dan memeluk pak Anas yang duduk di kursi dengan kondisi lemah.


“Terimakasih, be. Inshaallah, ibu mendapat tempat yang terbaik di pangkuan Ilahi Rabbi,” katanya, dan tampak ada sebutir air jatuh dari kedua matanya. 


“Nanti aku sampein dulu ke pegawai penanggungjawab blok ya, pak. Inshaallah, diberi kesempatan untuk kita pengajian dan tahlilan nanti malem,” kataku lagi.


“Terimakasih sebelumnya ya, be. Cuma babe sama pak Sibli yang tahu musibah ini. Kebetulan, sore kemarin pak Sibli pinjemi kartu telepon wartelsus. Aku telepon ke rumah. Dapet kabar duka inilah. Kalau aku nggak telepon, ya nggak bakal tahu kalau ibu wafat, padahal sudah dua hari lalu,” urai pak Anas dengan suara diliputi kesedihan.


“Kok nggak ada keluarga yang berusaha kasih kabar ke pak Anas sih? Ini kan kabar yang penting,” ujarku, menyela.


Pak Anas tidak menjawab. Ia hanya menunjukkan senyuman. Kali ini, senyum kecut penuh kepedihan. Segera aku tersadar, selama sekian bulan menjalani hukumannya di rutan, belum pernah sekalipun ada anggota keluarganya yang menengok. Bukan karena tidak berkeinginan, namun terhambat oleh ketidakmampuan finansial. 


Dan di dunia penjara, tipe seperti pak Anas ini masuk dalam kategori AI alias anak ilang. Tahanan yang tidak pernah dibesuk dan diurus oleh anggota keluarganya.


“Maunya pak Anas tahlilan nanti gimana? Setiap kamar ada yang ngewakili, atau beberapa tambahan orang aja selain kawan-kawan sekamar,” kataku, beberapa saat setelah kami sama-sama diam.


“Aku serahin semua sama babe, terserah baiknya aja. Babe lebih tahu gimana kondisiku,” jawabnya, berpasrah.


“Ya sudah, nggak usah pak Anas pikirin teknisnya ya. Nanti aku obrolin sama pak Sibli. Yang pasti, selepas isyaan kita tahlilan di kamar pak Anas buat doain almarhumah ibu,” ujarku lagi, sambil menepuk bahunya. Menenangkan. 


Mentari mulai menampakkan sosoknya. Sinarnya telah menyapa sebagian taman di depan kamar. Aku mengajak pak Anas untuk berolahraga, mengelilingi lapangan. Namun, ia memilih kembali ke kamarnya.


Saat tamping kunci mengantar pak Anas masuk kamar, pak Sibli keluar. Dengan alasan akan ada yang dibicarakan denganku. Ketika itu, posisiku mulai jogging di lapangan sepakbola. Pak Sibli langsung berjalan cepat. Mengejar langkahku. 


“Santai aja sih jalannya, bang,” kata pak Sibli, menyapaku.


“Ya, ini kan santai aja jalannya, pak,” sahutku, setelah memastikan yang menyapaku dari arah belakang. 


“Tadi pak Anas sudah bicara sama abang kan? Jadi gimana. Bisa malem nanti kita adain tahlilan buat doain ibunya,” kata pak Sibli, saat kami telah berjalan berdampingan.


“Inshaallah bisa, pak. Nanti aku bicarain sama pegawai penanggungjawab blok dulu. Yang jadi pikiranku, apa semua kamar ada perwakilan, apa cuma tambahan beberapa orang aja. Selain kita-kita sama kawan-kawan di kamar,” ucapku.


“Nggak usah semua kamar ada perwakilanlah, bang. Isi kamarku sudah 12 orang, ditambah abang, Rudy, dan beberapa orang yang selama ini deket sama pak Anas aja. Ya, sekitar 20 sampai 25 orang ajalah,” tanggap pak Sibli.


“Maksimal 25 oranglah ya, pak. Nah, pakai makanan apa nggak? Kalau di kamar 12 beberapa hari lalu, semua yang ikut tahlian, pas pulang dikasih bungkusan, isinya gorengan sama air mineral gelas. Apa kita buat kayak gitu juga,” kataku lagi.


“Boleh juga itu, bang. Berapa perbungkusnya ya. Kalau sudah tahu harganya, kita cariin dananya,” ujar pak Sibli, bersemangat.


“Nanti kita tanya sama Aris. Kayaknya dia yang tangani waktu ada orang tua kawan di kamarnya ninggal dan adain tahlilan,” jawabku, sambil terus berjalan santai mengelilingi lapangan sepakbola di dalam area steril rutan.


Seusai 15 kali memutari lapangan, aku pun menepi. Beristirahat di tepian selasar. Pak Sibli masih melanjutkan joggingnya. Tiba-tiba, pundakku ada yang menepuk. Aris dan Iyos telah berdiri di belakangku. Bersiap untuk berolahraga juga. (bersambung)

LIPSUS