Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 313)

Rabu, 09 November 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang


SEBUAH botol air mineral yang dibawa Iyos, aku minta. Dan langsung ku minum, hingga habis. Tidak bersisa walau satu tetes pun.


“Wuih, haus bener kayaknya, be. Emang berapa putaran sih?” ucap Aris, sambil tertawa.


“Biasa aja sebenernya, Ris. 15 kali putaran. Cuma nggak tahu, rasanya kok haus bener gini,” jawabku.


Melihat aku bersama Aris dan Iyos di tepian selasar, pak Sibli langsung mendekat. Menyelesaikan begitu saja kegiatan olahraganya.


“Ris, kemarin waktu tahlilan di kamarmu, emang kamu yang pesen makanan ringan dalam bungkusan buat yang hadir itu?” tanya pak Sibli, sambil memandang Aris.


“Iya, aku yang pesen, pak. Di kantin kok pesennya, bukan dari luar. Sebungkusnya Rp 1.500. Isinya tiga potong gorengan sama segelas air mineral. Memangnya kenapa, pak,” sahut Aris.


“Rencananya, nanti malem di kamarku mau ada tahlilan. Ibunya pak Anas ninggal, sudah dua hari lalu. Tadi ngobrol-ngobrol sama bang Mario, kayaknya sudah pantes kalau kasih bingkisan buat yang ikut ngaji, sebungkus makanan kayak di kamarmu waktu itu,” pak Sibli mengurai.


“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Kok bisa  baru tahu sudah dua hari ninggal, pak. Emang nggak ada keluarganya yang kasih kabar ya. Padahal, kalau orang tua kandung yang ninggal, kita bisa dapet dispensasi buat ngelayat dan ikut nguburin lo,” kata Aris, dengan suara penuh keseriusan.


“Itu aja nggak sengaja tahunya, Ris. Kemarin sore, habis aku telepon keluarga, pak Anas yang nemeni ke wartelsus, ku kasih kartu buat telepon keluarganya juga. Nah, waktu itulah dikasih tahu kalau ibunya sudah ninggal sejak dua hari lalu. Kalau kemarin itu dia nggak ikut aku ke wartelsus, nggak kebayang kapan dia tahu kabar musibah ini,” tutur pak Sibli, panjang lebar.


“Prihatin juga ya sama pak Anas. Padahal, dia orang baik. Nanti malem, perlu berapa bungkus gorengannya, pak. Aku pesenin dan aku yang bayar. Hitung-hitung wujud ikut dukacitaku kepada pak Anas,” kata Aris, masih dengan nada serius.


“Tadi ngobrol sama bang Mario, perlu sekitar 20 sampai 25 bungkus. Terimakasih bener kalau kamu mau pesenin sekalian bayarinnya, Ris. Pasti seneng bener pak Anas dengernya. Alhamdulillah,” ujar pak Sibli, dan spontan memeluk Aris.


“Oke, aku pesenin 30 bungkus ya, pak. Siapa tahu kurang kalau cuma 25 bungkus. Selesai aku sama Iyos jogging, langsung aku pesen di kantin. Habis isya kan tahlilannya,” lanjut Aris, penuh semangat.


“Alhamdulillah. Iya, habis isya acaranya, Ris. Kamu sama Iyos dan kawan-kawan dateng ya. Masak kamu yang nyumbang makanan, nggak ikut tahlilan,” sambung pak Sibli, seraya tersenyum.


“Semua tergantung babe aja, pak. Kalau babe perintahin tamping kunci nanti malem bukain pintu kamarku, ya aku sama kawan-kawan ikut tahlilan. Tapi, kalau nggak dibukain pintunya, kami nggak bisa ikut pengajian,” jawab Aris, seraya melirikku dan tertawa.


“Iya, nanti ku minta tamping kunci bukain kamarmu, Ris. Bertiga aja ya. Kamu, Iyos, dan Dika,” sahutku, menjawab sindiran Aris. Dan kami pun tertawa ngakak. 


Ketika Aris dan Iyos mulai memasuki pinggir lapangan untuk berolahraga, aku dan pak Sibli kembali masuk ke Blok B. Duduk di taman depan kamar, sambil mengeringkan keringat. 


Pada saat kami masih berbincang ringan, tampak pak Anas berdiri di balik jeruji besi kamarnya. Memandang ke arah kami. Tatapan matanya sayu. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. 


Segera aku memanggil Rudy, untuk meminta bantuan tamping kunci, mengeluarkan pak Anas dari kamarnya. Beberapa saat kemudian, pria hafidh Qur’an tersebut, telah bergabung dengan aku dan pak Sibli. Duduk di taman depan kamarku.


Suara burung parkit yang ramai dan saling bersahutan, kucuran air dari pancuran pada beberapa kolam ikan kecil yang ada di seputaran taman, tak mampu membuat suasana pagi itu melahirkan kegembiraan. 


Rasa dukacita pak Anas yang demikian mendalam atas meninggalnya sang ibu, telah merayapi batinku dan pak Sibli. Apalagi, pak Anas baru mengetahui kabar dukacita tersebut setelah dua hari ibunya dimakamkan. Aku dan pak Sibli memiliki perenungan yang sama; andai musibah kepergian orang terkasih baru kami ketahui setelah sekian hari, betapa nelongsonya batin kami.


“Kok pada ngelamun ya. Aku bergabung ini kan pengen dapet penghiburan, babe dan pak Sibli malahan sama-sama ngerenung,” mendadak pak Anas bicara dengan suaranya yang terdengar masih parau.


Aku dan pak Sibli berpandangan. Ada rasa malu di dalam hati, apa yang tengah kami pikirkan, terbaca dengan gamblang oleh pak Anas.


“Memang menyedihkan, menyakitkan, dan buat nyesek di dada, apa yang ku alami sekarang ini. Tapi, inilah takdir Allah. Sudah digariskan sejak aku belum lahir ke dunia, kalau saat ibuku wafat, aku nggak bisa melihat apalagi ikut menguburkannya. Karena aku sedang di penjara. Jujur, aku saat ini bener-bener ngerasa rapuh, terpuruk. Aku butuh pertolongan buat kembali bisa bangun, berjalan tertatih, dan akhirnya jalan dengan normal,” pak Anas melanjutkan dengan nada suara yang diliputi kesedihan.


“Kami emang sedih bener dengan musibah yang pak Anas alami. Sampai kami terbawa pikiran, gimana kalau kami ngalami seperti ini. Apa kami sanggup ngadepinnya. Alhamdulillah, walau pak Anas bilang saat ini bener-bener rapuh dan terpuruk, tapi masih bisa sampein ke kami, karena kami sahabat pak Anas. Tetep ada tempat berbagi. Belum tentu kalau itu aku yang ngalami, apa iya masih ada orang yang mau jadi tempat berbagi,” ucap pak Sibli, yang larut dalam kesedihan pak Anas.


“Semua kita pasti dapet ujian, pak. Nggak ada manusia di dunia ini yang nggak ngalami ujian, cobaan, maupun musibah. Bedanya hanya pada tingkat berat-ringannya ujian itu sendiri. Aku seneng punya sahabat seperti pak Sibli dan babe yang tulus hati. Inshaallah, aku juga bisa jadi sahabat yang seperasaan dan sepengertian,” imbuh pak Anas.


“Mohon maaf ini, pak Anas dan pak Sibli. Bukan aku nggak ngerasain apa yang sama-sama kita rasain saat ini, tapi sebaiknya kita nggak berlarut-larut di dalamnya. Ibu yang wafat, mari kita doakan. Rencana tahlilan buat doain ibu sudah kita matengin. Alhamdulillah, untuk kue bingkisan buat yang nanti ikut pengajian, sudah ditangani sama Aris. Tinggal nanti aku sampein ke pegawai penanggungjawab blok. Inshaallah, semuanya lancar,” kataku, menyela dengan cepat.


“O iya, maaf ini, be. Kok jadinya aku ngebawa pak Sibli ke alam kesedihanku ya. Alhamdulillah kalau Aris mau bantu,” jawab pak Anas, seraya mengusap air matanya. (bersambung)

LIPSUS