Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 314)

Kamis, 10 November 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang


PAK Sibli menceritakan kepada pak Anas, pembicaraan kami beberapa waktu lalu dengan Aris dan Iyos. Juga kesiapan Aris untuk menanggung semua kebutuhan bingkisan untuk yang hadir pada acara tahlilan nanti malam.


Tiba-tiba terdengar suara perintah dengan kencang dari arah pintu masuk blok kepada para tamping kebersihan yang tengah bersendaugurau disana. Aku hafal betul, itu suara pegawai penanggungjawab blok. Orang yang akan aku mintakan izinnya untuk acara tahlilan di kamar 19 malam nanti.


Spontan aku berdiri. Mengajak pak Sibli dan pak Anas. Menemui pegawai yang tengah berdiri di ruang masuk Blok B. Sambil berdiri, aku sampaikan musibah yang dialami pak Anas serta rencana untuk mendoakan almarhumah ibunya nanti malam.


“O iya, boleh. Silakan diatur aja sama om Mario dan kawan-kawan. Saya ikut dukacita ya, pak Anas,” kata pegawai penanggungjawab blok, dan menyalami pak Anas dengan kedua tangannya. Menunjukkan sikap ikut prihatin.  


Pegawai itu mengingatkan, agar kegiatan yang diikuti penghuni kamar lain, tidak melebihi pukul 21.30. Karena biasanya, kepala rutan selalu melakukan pemeriksaan berkeliling pada pukul 22.00. 


Selepas berbincang beberapa saat, aku, pak Sibli, dan pak Anas kembali ke taman depan kamarku. Sementara pegawai penanggungjawab blok melanjutkan arahannya bagi para tamping kebersihan.


“Alhamdulillah, banyak kemudahan. Inshaallah, tahlilan nanti malem barokah,” kataku.


“Terimakasih banyak bantuannya ya, be. Juga pak Sibli. Seneng bener aku punya sahabat kalian ini. Inshaallah, kita terus bisa jaga silaturahmi sampai sama-sama keluar dari sini,” ucap pak Anas, dengan serius.


Rudy berdiri dari balik jeruji besi kamar. Saat aku melihatnya, ia mengangkat sebuah piring berisi makanan. Memberi isyarat bila sarapanku telah ia siapkan. Aku berpamitan kepada pak Sibli dan pak Anas. Keduanya juga langsung beranjak, kembali ke kamarnya.


Seusai menikmati sarapan, aku mandi. Sambil membersihkan badan, lahir rencanaku untuk selanjutnya ke masjid. Solat dhuha dan membaca Alqur’an. Namun, baru saja aku keluar kamar mandi, datang seorang tamping regis.


“Om, dipanggil kabag umum. Disuruh ke ruangannya sekarang,” kata tamping regis itu, sambil tetap berdiri di balik jeruji besi.


“Sebentar ya, aku pakai baju dulu,” sahutku.


Dan dengan terburu-buru, aku memakai kaos bertuliskan WBP, memakai celana pendek jeans belel, dan bertopi. Tidak lupa mewangikan badanku dengan menyemprotkan minyak wangi.


Proses pelaporan di pos pengamanan, tetap aku lakukan. Baik di pos dalam maupun luar. Bahkan, saat memasuki ruang P-2-O, sebelum menaiki tangga untuk menuju ruang kabag umum, semua petugas menyambutku dengan baik dan penuh senyum.


Mataku langsung terbelalak saat melihat istriku Laksmi dan adikku Laksa tengah duduk di sofa panjang yang ada di depan ruang kerja kabag umum. 


“Assalamualaikum,” sapa istriku, begitu melihatku datang setelah melewati tangga melingkar.


“Waalaikum salam. Alhamdulillah, bunda sama Laksa sehat-sehat ya,” sahutku, dan segera memeluk istriku. Dilanjutkan dengan memeluk Laksa.


Kabag umum rutan keluar dari ruang kerjanya. Pria seusiaku itu tersenyum. Dan kami pun bersalaman dengan penuh kehangatan.


“Terus jaga kesehatan ya, bang. Tetep buat seneng hati dan pikiran. Kalau ada apa-apa, segera kasih kabar,” ucap kabag umum, dengan menggenggam erat tanganku.


“Siap, terimakasih atas bantuannya selama ini, pak,” sahutku. Dan memeluknya penuh dengan rasa persahabatan.


“Tadi pas ayuk mau daftar besukan, saya sampai kantor juga. Makanya, langsung saya ajak kesini aja. Lebih baik manggil abang kesini, daripada ayuk dan adek ikut antrian panjang, sebelum ketemu abang,” urai kabag umum yang berpembawaan santai itu, seraya tersenyum.


“Alhamdulillah. Terimakasih bantuannya ya, pak,” kataku, juga dengan tersenyum.


“Santai aja, bang. Saya juga sudah kasih nomor hp ke ayuk. Kalau mau nemuin abang, telepon saya aja. Nanti biar abang yang kesini. Kan lebih bisa santai juga ngobrolnya,” sambung kabag umum, dan mempersilakan kami melanjutkan pembicaraan.


Ia sendiri langsung masuk ke ruang kerjanya, dan sesekali terdengar menelepon seseorang dengan memberikan tugas-tugas sesuai posisinya.


Saat itulah, aku memahami bila rutan pun memiliki sistem pekerjaan layaknya kantor pemerintahan lainnya. Hanya bedanya, di tempat ini spesial menangani orang-orang yang bermasalah dengan hukum. 


Hari itu, istriku Laksmi dan adikku Laksa memakai pakaian dinas kantornya. Mereka hanya berpakaian bebas saat menemuiku pada hari Sabtu. Dan ternyata, dengan berseragam kantor, membawa pengaruh terhadap sikap dan penerimaan jajaran pegawai rutan. Termasuk petugas sipirnya. Lebih menghargai dan menghormati.


“Sudah lama ya bunda sama Laksa nunggu ayah disini. Pas dikasih tahu kalau dipanggil kabag umum tadi, ayah baru selesai mandi. Nggak dibilang kalau ada bunda sama Laksa disini,” kataku, setelah duduk berdampingan dengan istriku di kursi sofa panjang.


“Iya, tadi ketemu pak kabag umum pas bunda mau daftar besukan. Dia langsung ngajak bunda dan Laksa ikut kesini. Ya sudah, bunda ikuti aja. Emang lebih nyaman ketemu disini ya, ayah. Nggak perlu lewat pintu gerbang sekali lagi ditambah ngantri-ngantri,” ujar istriku.


Tidak lama kemudian, istriku mengeluarkan makanan ringan. Beberapa roti, buah-buahan, dan juga minuman dalam kaleng. 


“Bunda tadi buru-buru kesini, nggak direncanain dari malem. Jadi bawa makanan dan minuman seadanya aja. Nggak apa-apa ya, ayah,” tutur istriku, sambil mengelus-elus wajahku.


“Nggak apa-apalah, yang penting kan kita bisa ketemu, bunda. Soal makanan dan lainnya itu, nomor 13. Ayah bersyukur bener bunda dan Laksa bisa selahin waktu di jam kerja buat kesini. Bahagia dan seneng hati ayah,” sahutku, dan mencium istriku.


Wajah istriku sumringah. Keceriaan hatinya terpancar dengan jelas. Derita batin yang terus menggelayut di sudut hatinya, seakan terlepaskan. (bersambung)

LIPSUS