Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 316)

Sabtu, 12 November 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang


SEUSAI solat Maghrib dan berdoa, aku buru-buru kembali ke kamar, bersama Rudy. Untuk membaca Alqur’an. Hingga suara adzan Isya terdengar, aku langsung solat. Di kamar. Di atas kasurku. Rudy tetap ke masjid. 


Dan selepas melaksanakan penyerahdirian seorang makhluk kepada Sang Khaliq, aku ke kamar 19. Kamar pak Anas. Ikut menyiapkan acara tahlilan.


Aris ditemani Dika dan Iyos datang. Membawa lima kantong plastik besar. Berisi 50 bungkusan untuk dibagikan kepada yang hadir dalam pengajian nanti. Mendoakan ibu pak Anas yang wafat tiga hari lalu.


Pak Anas memimpin langsung acara tersebut. Sekitar 40-an warga penghuni Blok B mengikuti rangkaian pembacaan ayat-ayat suci dan prosesi doa dengan penuh kekhusu’an. 


Seakan semua telah menyadari, bila kematian bisa terjadi kapan saja dan akan menjadi semakin berat rasa duka saat pamungkas kehidupan di dunia itu terjadi, ketika kami tengah di penjara. Seperti yang kali ini dialami pak Anas.


“Alhamdulillah. Terimakasih banyak atas semua doa dan bantuannya. Hanya Allah yang bisa membalas kebaikan kawan-kawan,” kata pak Anas, saat jamaah tahlilan akan kembali ke kamar masing-masing.


Setelah acara selesai, aku kembali ke kamar. Langsung tidur. Karena besok akan kembali mengikuti persidangan. Menjelang adzan Subuh, aku terbangun. Masih ada kesempatan untuk melaksanakan solat sunah. Tidak aku sia-siakan. Upaya penyatuan jiwa raga dengan Sang Pemilik Kehidupan pun terus aku coba untuk dirutinkan. 


Ketika adzan Subuh menggema, Rudy bangun dan mengajakku ke masjid. Rintik hujan pagi itu mengiringi sujud kami, bersama puluhan WBP dan beberapa pegawai rutan. Seperti biasa, selepas subuhan, Ustadz Umar menyampaikan kultum.


“Jika bukan karena musibah atau ujian, tentulah banyak mata yang enggan menangis, hati yang enggan merendah, tangan yang enggan menengadah ke atas, bibir yang enggan beristighfar, kening yang enggan bersujud, dan hidup yang terus lalai. Karenanya, teruslah kita semua bersyukur dan bersabar atas ujian atau musibah ini,” ujar ustadz Umar, tiada henti memompa semangat para manusia bermasalah yang tengah menjalani hukuman dunia di dalam rutan. 


Ia menambahkan, bersikap sabar dalam menerima musibah sebagai bagian dari takdir, membawa seseorang pada kehidupan yang tiada merugi.


“Imam Ibnu Qoyyim pada bukunya Madarijus Salikin, menyatakan, teguklah kesabaran. Jika kesabaran membunuhmu, ia membunuhmu dalam keadaan mati syahid. Bila kesabaran itu membuatmu tetap hidup, ia membawamu hidup dalam keadaan mulia,” lanjutnya.


Pria bertubuh tambun yang baru saja diberhentikan sebagai tenaga pengajar pada sebuah perguruan tinggi karena tengah di penjara ini, melanjutkan tausiyahnya dengan menyampaikan perkataan Ali bin Abi Thalib.


“Ketika kamu ikhlas menerima semua kekecewaan hidup, maka Allah akan membayar tuntas semua kecewa dengan beribu-ribu kebaikan. Belajarlah untuk mengerti, bila segala sesuatu yang baik untukmu, tidak akan Allah izinkan pergi kecuali akan diganti dengan yang lebih baik lagi,” tutur ustadz Umar, dengan suara penuh semangat.


Ditambahkan, saat seseorang tengah terpuruk dan di penjara, maka semua orang yang selama ini dekat, pasti akan menjauh. Bahkan lebih banyak lagi yang mencibir dan merendahkan. 


Semua kekurangan, kejelekan, dan kesalahan akan menjadi topik pembicaraan dimana-mana. Hingga seakan, tiada sama sekali kebaikan yang pernah dilakukan oleh orang tersebut. 


“Bila ada yang menyakiti, merendahkan, dan menghina kita yang tengah terpenjara, tetaplah tenang dan sabar, dengan terus mendinginkan hati dan pikiran. Karena sesungguhnya, dengan ketenangan dan kesabaran itu, alam sedang menyiapkan seseorang untuk membalaskan sakit hati kita, bahkan tanpa kita memintanya. Dan jangan pernah kita membalas mereka-mereka yang merendahkan atau menghina. Tetaplah tersenyum dan terus bahagiakan diri kita. Jika mereka-mereka yang membenci, tahu kita tetap bahagia, saat itu mereka akan merasakan sakit di hatinya,” sambung ustadz Umar.


Ia meminta para jamaah untuk tidak membenci masalah yang datang. Melainkan, hadapi saja dengan pikiran jernih, tenang, sabar, dan ikhlas pada takdir. Karena di dalamnya, banyak kebaikan yang akan merubah diri menjadi lebih baik.      


Pada bagian lain kultumnya, ustadz Umar mensitir perkataan Jalaluddin Rumi: “Aku lebih memilih dianggap bodoh, tapi tahu cara menghargai sesama makhluk ciptaan Tuhanku, daripada dianggap pintar tapi merendahkan sesama ciptaan-Nya.”


Mengakhiri tausiyah selepas solat Subuh berjamaah pagi ini, koordinator majelis taklim rutan itu mengajak semua jamaah untuk membedah diri sendiri, dengan menelaah secara mendalam apa yang disampaikan ulama besar, Ibnul Jauzi.


“Wahai pendosa yang jarang menangis, tangisilah kondisimu yang tidak bisa menangis. Para sahabat Nabi menangis, padahal mereka adalah orang-orang yang bertakwa. Sementara kamu tertawa, padahal banyak dosa,” ucap ustadz Umar, dan menutup kultumnya.


Saat berjalan meninggalkan masjid untuk kembali ke kamar, tampak Rudy hanya menundukkan wajahnya. Mulutnya berkomat-kamit. Terus menerus.


“Kamu kenapa, Rud?” tanyaku, dengan pelan.


“Baca istighfar, om. Penutup tausiyah tadi buat Rudy sadar diri. Begitu banyak dosa ini,” sahut Rudy, juga dengan suara pelan.


Spontan, aku merangkul anak muda berusia 27 tahunan itu. Bangga sekaligus haru dengan pengakuan jujurnya. Di saat banyak orang lebih mengagungkan kelebihan dan kebaikannya, Rudy justru mendahulukan kesadaran akan berlumurannya dosa.


“Om bangga sama kamu, Rud,” bisikku, saat kami memasuki pintu utama Blok B.


“Rudy pernah baca di buku, ada tokoh China, Lao Tju, yang bilang: mengenal orang lain itu kecerdasan, mengetahui diri sendiri merupakan kebijaksanaan sejati. Menguasai orang lain adalah kekuatan, dan menguasai diri sendiri wujud kekuatan sejati. Nah, Rudy prioritasin tahu dan kuasai diri sendiri, om. Buat apa tahu atau nguasai orang lain, kalau diri sendiri aja, kita belum ngenali dengan baik,” kata Rudy, dengan santainya.


Aku langsung terdiam. Semakin menyadari bila proses belajar bisa didapat darimana saja dan melalui siapa saja. Tidak terhalang oleh rentetan usia dan keberadaan. Bahkan dari seorang Rudy yang semula tidak menyukai membaca buku, berkat motivasiku, akhirnya menjadi kutu buku. Dan telah seringkali memberiku pelajaran dan penambahan pengetahuan. (bersambung)

LIPSUS