Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 317)

Minggu, 13 November 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang


OM mau minum kopi, atau mau apa dulu?” tanya Rudy, setelah kami di kamar.


“Mau jogging dulu, Rud. Nanti aja kopinya,” sahutku, dan mengambil satu botol air mineral untuk bekal berolahraga dengan mengelilingi lapangan sepakbola.


Suasana di sekitar lapangan masih sangat sepi saat aku memulai olahraga. Rintik hujan yang hanya sesaat, menambah segarnya hawa pagi itu. Tanpa terasa, 15 kali putaran telah selesai aku lakukan.


Sambil membuka kaos yang basah oleh keringat, aku bersandar pada tiang selasar dan meminum air mineral. Pikiranku melayang. Ke rumah. Jam itu, pasti anak-anakku sudah berangkat ke sekolah, dan istriku masih dinas luar dari kantornya. 


Aku memejamkan mata. Ku kirimkan doa untuk orang-orang terkasih dan kebanggaanku itu. Gelegak rindu begitu kencang. Hingga membuat getaran tersendiri di dadaku. Rindu yang dibalut erat oleh hawa kesedihan. Karena raga yang terpisahkan.


Setelah menenangkan gelegak kerinduan di dalam jiwa, aku kembali ke kamar. Dengan tetap menunjukkan wajah penuh keceriaan. Melihatku datang, Rudy langsung menyiapkan minuman favoritku; kopi pahit.


Sambil menikmati minuman kesukaan, aku menyiapkan pakaian untuk mengikuti persidangan. Yang memang sudah dibawakan oleh istriku saat mengunjungiku akhir pekan lalu.


Seakan telah mendapatkan isyarat, jika aku akan bersidang dua kali dalam satu pekan mulai minggu ini, pada besukan itu istriku Laksmi telah menyiapkan dua kemeja warna putih lengan panjang. Padahal sebelumnya, ia hanya membawakan satu potong kemeja saja. 


Insting seorang istri, acapkali, memang mengalahkan waktu datangnya sebuah kenyataan. Hal ini yang sering diabaikan oleh seorang suami.


“Om, sebelum jam 11 sudah siap di pos ya. Hari ini ada 64 orang yang sidang, jadi berangkat sebelum dhuhur,” kata seorang tamping regis yang tiba-tiba berdiri di balik jeruji besi kamarku. 


“Banyak amat yang sidang hari ini ya?” tanyaku, dengan nada terkejut.


“Ini kan Kamis, om. Hari terakhir sidang minggu ini. Jadi pasti banyak orangnya,” jelas tamping itu, sambil membuka catatan pada kertas di tangannya. Berisikan nama-nama tahanan yang akan mengikuti persidangan pada hari itu.


“Ya sudah, sana cepetan mandi aja, om. Mau sarapan apa? Dibuatin mie instan, apa beli nasi di kantin,” kata Rudy, setelah tamping regis meninggalkan kamarku.


“Beli nasi aja, Rud. Lauknya telor bulat sambel, sama tempe dan kerupuk. Kalau kamu mau, sekalian beli,” ujarku, dan memberi Rudy sejumlah uang.


Tepat selesai aku mandi, Rudy telah kembali dari kantin. Di tangannya terdapat dua bungkusan. Sarapan untukku dan buat dia. Selepas makan, aku pun bersiap-siap.


Pukul 11.00 kurang 15 menit, aku keluar kamar. Ada belasan tahanan yang juga akan mengikuti sidang, memenuhi ruangan pintu masuk Blok B. Masih menikmati tontonan dari televisi. Diantaranya terdapat Aris dan Dika. 


Semuanya memakai kemeja warna putih, celana warna gelap, dan berkopiah. Hanya aku, Aris, dan Dika yang bersepatu. Selebihnya memakai sandal. Bahkan banyak yang hanya bersandal jepit.


“Ayo ke pos. Sudah mau jam 11,” kataku, mengajak semua yang akan bersidang untuk segera bergerak.


Tanpa perlu dikomando dua kali, semua bergerak. Meninggalkan ruangan pintu masuk blok dan berjalan beriringan menuju pos penjagaan dalam. Puluhan tahanan dari blok lain telah berkumpul disana. 


Setelah melalui pemeriksaan absensi per-orang, dengan berbaris rapih, kami menuju pintu keluar area steril rutan. Pintu gerbang kawat berduri yang menjulang tinggi itu pun dibuka. Hanya pada sebagiannnya saja. Saat tamping regis menyebut nama, baru masing-masing yang punya nama, masuk ke halaman depan kantor rutan dengan mengambil posisi berbaris tiga lajur.


Kembali pemeriksaan dilakukan oleh sipir yang bertugas di pos penjagaan luar. Setelah dinyatakan “oke”, tamping regis menuju pintu P-2-O, untuk melapor kesiapan kami keluar rutan guna mengikuti persidangan.


Proses pemeriksaan ketat pun tetap kami jalani selama di ruang P-2-O. Ruangan terakhir sebelum keluar rutan. Petugas dari Kejaksaan Negeri dan Polri, telah bersiaga.


Untuk ketiga kalinya, aku mendapat panggilan pertama keluar rutan dan langsung masuk ke mobil tahanan. Diikuti Aris dan Dika. Baru puluhan tahanan lainnya. Dua kendaraan khusus disiapkan di depan pintu gerbang utama rutan guna membawa kami ke Pengadilan Negeri. 


Suara sirine langsung meraung kencang saat mobil tahanan bergerak dari pelataran rutan. Perjalanan selama sekitar 45 menit kami nikmati, sebelum akhirnya sampai di gedung pengadilan. 


Saat turun dari mobil tahanan, aku melihat adikku Laksa telah berdiri di pintu pagar pembatas sel sementara. Berbincang dengan pegawai Kejaksaan.


Dan ketika aku masuk ke area steril di Pengadilan Negeri bagi para tahanan yang akan bersidang, langsung dibawa petugas ke sel bagian belakang. Diikuti Laksa.


Aku peluk adikku Laksa, setelah kami berdua berada di ruangan khusus bagi tahanan yang akan mengikuti persidangan.


“Terimakasih ya, dek,” kataku, sambil terus memeluk Laksa dengan erat.


Laksa hanya tersenyum. Sunggingan di tepian bibirnya yang membawa hawa keteduhan. Menenangkan. Ia langsung membuka kantong plastik yang dibawanya. Dia keluarkan nasi bungkus, juga air mineral dalam botol.


“Tadi baru makan pas mau jalan kesini, dek. Kakak bawa ke dalem aja nanti nasi bungkusnya ya. Buat makan malem,” kataku.


Laksa kembali membuka kantong plastik yang tadi dibawanya. Ia keluarkan beberapa makanan ringan. Pun minuman kaleng. Juga tiga bungkus rokok. Sambil berbincang ringan, kami pun menikmati panganan yang ada.


Di sela-sela itu, aku solat Dhuhur. Berwudhu di kamar mandi kecil yang ada di sudut ruangan, yang hanya dipagari setinggi satu meter saja. 


Ada sajadah di ruangan itu. Terlipat dan teronggok di sudut lantai. Entah punya siapa. Meski sudah sangat merebak bau apeknya, namun tidak membuatku kehilangan kekhusu’an dalam menjalankan kewajiban seorang makhluk kepada Khaliqnya. (bersambung)

LIPSUS