Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 318)

Senin, 14 November 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang


INSHAALLAH, mbak Laksmi nanti bisa kesini, kak. Tadi telepon terakhir, dia sudah mau naik pesawat,” ucap Laksa, setelah aku kembali duduk bersamanya.


Laksa memang memahami betul adanya kekosongan di batinku, karena istriku belum ada di pengadilan. Untuk mendampingiku mengikuti persidangan seperti sebelum-sebelumnya.


“O iya, dek. Inshaallah, perjalanannya lancar dan selamat tanpa halangan apapun. Hari ini, lebih dari 60 orang yang sidang, jadi panjang waktunya. Kalau bisa sidang duluan, kita bisa lama ngobrol disini,” kataku.


“Banyak bener yang sidang hari ini ya, kak. Kenapa kayak dipaksain gitu sidangnya,” tanggap Laksa.


“Waktu sidang itu kan cuma dari Senin sampai Kamis aja, dek. Nah, yang masih harus sidang, jumlahnya banyak bener. Bisa dibilang, sekarang ini hampir separuh isi rutan masih berstatus tahanan, belum jadi napi. Jadi, pengadilan harus pinter-pinter ngatur waktunya. Kalau sampai lewat masa penahanan, kan bisa bebas demi hukum,” ujarku, mengurai.


“O gitu. Jadi kalau batas waktu penahanan sudah habis tapi belum vonis, bisa bebas demi hukum ya, kak,” kata Laksa, dengan cepat.


“Iya, ketentuannya kayak gitu, dek. Makanya, sidang kakak dibuat seminggu dua kali, biar nggak lewat masa penahanan,” lanjutku. Dengan tersenyum kecut.


Pada saat bersamaan, muncul pengacaraku. Makmun ditemani dua anggota timnya. Mereka langsung masuk ke ruangan. Setelah bersalaman dan saling bertanya kabar, Makmun menjelaskan agenda sidang. Jawaban jaksa atas pledoi yang diajukan. Pekan depan, giliran majelis hakim yang memutuskan. Apakah perkaraku berlanjut atau tidak.


“Coba diusahain sidang duluan. Jadi bisa istirahat disini agak lamaan. Sambil nunggu nyonya,” kataku, kepada Makmun.


Tiba-tiba datang dua jaksa penuntutku. Seperti biasanya, setelah menanyakan kesehatan, juga kesiapanku untuk bersidang. Saat itu, aku menyampaikan keinginan untuk bisa bersidang lebih awal. Karena ada 64 orang yang akan disidangkan hari itu.


Jaksa pria mengajak Makmun untuk melakukan pertemuan dengan majelis hakim, meminta agar persidanganku didahulukan. Bergegas mereka meninggalkan ruangan khusus tempatku berada. 


“Tadi mbak Laksmi kasih kabar, kak. Dia sudah turun pesawat dan sekarang sedang nuju kesini,” kata Laksa, setelah jaksa dan pengacaraku keluar ruangan.


“Alhamdulillah. Inshaallah, bisa sampai sini sebelum kakak masuk ruang sidang ya, dek,” jawabku, dengan nada ceria.


“Inshaallah bisa, kak. Kita doain aja jalannya nggak macet. Yang penting, kakak tetep sabar dan tenang. Itulah satu-satunya pilihan saat ini,” tanggap Laksa, penuh keseriusan.


“Iya, dek. Bener itu. Kenyataan emang ngalahin segalanya,” ujarku, pendek.


“Kakak inget apa kata Syech Abdul Qodir Jaelani soal musibah? Beliau bilang; sesungguhnya bencana atau musibah terhadapmu bukan untuk menghancurkanmu, melainkan mengujimu, mengesahkan kesempurnaan imanmu, dan menguatkan dasar kepercayaanmu, serta memberikan kabar baik ke dalam batinmu,” tutur Laksa, sambil memandangku dengan tatapannya yang teduh.


Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala. Mencoba memahami pesan ulama besar, yang disampaikan adikku Laksa. Begitu sederhana rangkaian katanya, namun membawa pengaruh yang cukup besar bagi batinku. Menebar keindahan dan ketenangan tersendiri dalam melakoni kenyataan yang ada saat ini.


Seorang pegawai Kejaksaan datang. Membawakan sebuah rompi warna merah menyala, yang pada bagian belakangnya terdapat tulisan “Tahanan”. Sambil tersenyum, ia menyerahkan pakaian pelapis khas pengikut persidangan tersebut kepadaku.


Laksa langsung mengemasi makanan dan minuman yang tergeletak di lantai. Untuk dimasukkan ke dalam kantong plastik, dan bersiap untuk membawanya.


“Makanannya ditaruh sini aja, pak. Nggak usah dibawa ke ruang sidang. Nanti kan habis sidang kesini lagi. Aman kok,” kata pegawai Kejaksaan itu, ramah.


“O gitu. Siap, pak,” jawab Laksa, dengan cepat. Dan menaruhkan kantong plastik berisi makanan di lantai tempat kami duduk.


Saat memakai rompi khas pesakitan, aku berdoa. Meminta kelancaran dalam persidangan. Juga memohon kepada Sang Pengatur, untuk segera mendatangkan istriku, Laksmi. Sosok yang begitu berarti buatku. Menguatkan lahir batinku. Menenangkanku dalam meniti gelegak gelombang kehidupan yang seakan tiada henti ini.


Aku mengikuti barisan para tahanan yang akan menaiki tangga untuk memasuki ruang sidang yang telah ditentukan, dengan perasaan tidak karuan. Karena belum melihat istriku. 


Ku tengokkan wajah ke arah Laksa. Yang berdiri kaku di belakang pegawai Kejaksaan, yang akan mengawal kami ke ruang persidangan. Ia beri aku seulas senyuman. Membawa pesan, agar aku terus berjuang untuk mengendalikan perasaan.


Ketika aku dan tahanan lain telah melewati tangga untuk naik ke lantai tempat ruang persidangan, tampak istriku, Laksmi, berdiri di dekat pintu salah satu ruang persidangan. Matanya memerah. Menahan tangis. 


Spontan, aku keluar barisan. Mendekati istriku, dan memeluknya dengan erat. Tumpah kesedihanku. 


“Ayah tetep tenang ya. Bunda sudah disini kok,” ucap istriku dengan pelan, masih dalam pelukanku.


Ku tatap matanya. Yang semula memerah. Menahan kesedihan. Perlahan kembali memancarkan keceriaan. Aku cium pipinya. Ku elus-elus kepalanya yang ditutup hijab. Penuh dengan sentuhan kasih sayang.


“Terimakasih, bunda. Ayah tenang kalau bunda sudah ada disini,” kataku, dan langsung menggandengnya. Menyusul barisan tahanan lain menuju ruang persidangan.


Makmun berdiri dari tempat duduknya saat melihat aku memasuki ruang persidangan. Mempersilakan menempati kursi yang ia duduki sebelumnya. Sambil terus ku peluk istriku, aku panggil Laksa untuk duduk di sebelah kananku.


Sekira 10 menit kemudian, majelis hakim memasuki ruang persidangan. Dan seperti yang diinginkan, aku menjadi tahanan pertama yang duduk di kursi pesakitan. Sidang pun dimulai. Mendengarkan jawaban jaksa atas pledoi tim pengacaraku. 


Proses persidangan hanya berlangsung sekitar 25 menit. Akan dilanjutkan Senin pekan depan dengan agenda pembacaan keputusan sela oleh majelis hakim. (bersambung)

LIPSUS