Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 320)

Rabu, 16 November 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang


SETELAH ku peluk dan cium istriku, juga Laksa, baru aku keluar ruangan khusus. Saat berjalan menuju tangga keluar, istriku memasukkan sebuah amplop berisi uang ke kantong celanaku. Spontan, ku tatap matanya.


“Buat pegangan, kalau ayah mendadak perlu apa-apa,” kata istriku, memahami makna tatapanku. 


Ku rengkuh kembali badannya. Ku peluk erat istriku. Sambil terus berjalan menuju pintu mobil tahanan. Tampak beberapa wartawan yang ada di sekitar, langsung mengambil gambar kami. Ku berikan seulas senyum untuk para jurnalis tersebut. Yang cerdik mengambil moment. 


Dari balik jendela mobil yang tidak tertutup, aku melihat istriku dan Laksa berdiri sekitar 10 meter dari posisiku. Dan seperti biasa, Laksa memeluk erat kakak kandungnya. Menebarkan ketenangan.


Sesaat kemudian, suara sirine mobil tahanan mulai terdengar. Kencang. Kendaraan berjalan. Perlahan. Ku lambaikan tangan kepada istri dan adikku Laksa. Tampak istriku menyeka matanya. Ada air kesedihan yang tak mampu ia tahan untuk tetap berada di mata indahnya. 


Para tahanan lain pun berebutan melambaikan tangan kepada anggota keluarganya masing-masing. Dan setiap kali selepas sidang, ketika mobil tahanan akan kembali menuju rutan, banyak air mata yang tumpah di pelataran parkir kantor Pengadilan Negeri. Ekspresi kesedihan dan kepedihan dari keluarga tahanan, yang benar-benar tercuatkan dari dalam jiwa.


Seperti biasa, aku duduk membelakangi pengemudi. Diapit Aris dan Dika. Setelah mobil berjalan meninggalkan kompleks pengadilan, aku keluarkan dua bungkus siomay untuk mereka. Pemberian istriku.


“Alhamdulillah. Aku tetep ada bawaan pas balik ke rutan, be,” ujar Aris, sambil menghisap rokoknya.


“Emang istri atau keluargamu nggak ada yang dateng tadi, Ris?” tanyaku.


Mantan anggota Dewan yang Terhormat ini, hanya menggelengkan kepalanya. Dengan lemah. Pertanda, ia tengah diliputi suasana sedih.


“Kenapa kok nggak ada yang dateng sama sekali?” tanyaku lagi.


“Nggak tahu, be. Tadi pagi, aku sempet telepon. Kata istriku, dia mau dateng sama adikku. Tapi nyatanya nggak muncul,” sahutnya, dengan nada cuek.


“Kalau kamu Dika, ada nggak keluargamu yang dateng?” tanyaku kepada Dika yang duduk di sebelah kiriku.


“Cuma tunanganku aja, bang. Paklek yang biasanya dateng, nggak muncul juga,” jawab Dika, santai.


Aku mengarahkan pandangan pada seisi mobil. Ada sekitar 30 orang. Berdesakan memang. Bahkan banyak yang duduk berpangkuan. Selebihnya di lantai kendaraan. 


Perhatianku fokus pada siapa saja yang membawa bungkusan, berarti sempat ada anggota keluarganya yang datang ke pengadilan. Ternyata, tidak lebih dari 15 orang yang saat itu memegang barang bawaan. Selebihnya, hanya bertangan kosong.


Aris terus menundukkan wajahnya. Dan sesekali menghisap rokok. Membuang asapnya dengan cepat. Tampak ia begitu kecewa karena tiada satu pun anggota keluarga yang menemaninya saat tengah menjalani persidangan. 


“Sabar ya, Ris. Kita nggak tahu ada halangan apa sampai istrimu atau anggota keluargamu yang lain, nggak dateng ke pengadilan,” kataku, dengan suara pelan, seraya menepuk-nepuk bahunya.


“Yah, kita kan emang cuma bisa sabar dan nrimo aja sih, be. Namanya juga tahanan, bisa apa pula kita,” sahut Aris, dengan nada kesal.


“Nanti, sampai di kamar, kamu telepon istrimu ya. Biar kamu nggak menduga yang macem-macem,” lanjutku, sambil bercerita betapa kegundahan sangat, sempat aku rasakan saat akan menuju ruang sidang, karena istriku belum datang selepas melaksanakan tugas kantor di luar kota.


“Oh, jadi ayuk tadi itu langsung dari bandara ya, be,” kata Aris, dan menatapku.


“Iya, langsung dari bandara, Ris. Adik ayukmu, Laksa, yang nemeni aku sejak dateng ke pengadilan tadi. Pas mau masuk ruang sidang, ayukmu baru sampai. Alhamdulillah, adik Laksa selalu dampingi sebelumnya, jadi aku nggak ngerasa drop juga karena sendirian,” tanggapku.


“Ayuk yang habis dinas luar aja sampai bandara langsung ke pengadilan, be. Lha, istriku yang cuma di rumah, malah nggak ada kabarnya. Wajarkan kalau aku kesel,” ujar Aris, menimpali.


“Aku paham gimana keselnya hatimu, Ris. Tapi jangan juga banding-bandingin gitu. Nggak elok dan nggak etis itu. Nanti, kamu telepon istrimu, tanya baik-baik. Pasti ada hal serius, kenapa dia nggak dateng tadi. Jangan mikirin yang macem-macem ya. Tetep aja mikir positif, biar kejadiannya tetep baik,” kataku, panjang lebar.


“Maleslah telepon istri, be. Biar aja dia semaunya,” ucap Aris, dengan cepat. Ada amarah pada tekanan suaranya.


Aku memahami, dalam kekecewaan yang demikian dalam, sebaik apapun rangkaian kata penyemangat, akan sulit bisa diterima dengan lapang dada. 


Ku buka kantong plastik. Perlahan, aku pilih makanan yang ada. Memasukkan kaos dan celana pendek buah tangan istriku ke kantong plastik yang lain. Dan beberapa makanan serta minuman, aku masukkan ke kantong plastik tersebut.  Memberikannya kepada Aris.


“Ini buatmu, Ris. Masukin sini siomaynya. Jadi satu kantong aja,” kataku.


Sambil menerima kantong plastik berisi makanan dari pilihanku hasil pemberian istri dan adikku Laksa, Aris menatapku dengan mata berkaca-kaca.


“Sudah, nggak usah melo gitu. Kita ini sudah sama-sama sejak di polres. Kamu sendiri yang bilang, jadi adikku. Jadi, ya wajar kalau kakak kasih ke adik. Baru kurang ajar, kalau adik nolak pemberian kakak,” kataku, dengan tegas.


Aris spontan memelukku. Menaruhkan kepalanya di pundak kananku. Menangis haru. Hingga kopiahnya jatuh ke lantai mobil.  


Mobil tahanan memasuki kawasan perumahan penduduk, sebelum sampai di rutan. Terdengar dari masjid, suara adzan Maghrib. Bersahutan dari beberapa tempat ibadah yang ada di wilayah tersebut. 


“Alhamdulillah, masih ketemu adzan maghrib. Inshaallah, masih ada waktu buat solatnya,” ucapku, pelan.


“Ya tetep bisa solatlah, bang. Masih satu jam lebih lagi waktu isya-nya,” sahut Dika, yang mendengar suaraku. 


“Jangan mastiin sesuatu yang bukan dalam kendali kita, Dika. Coba hitung, kita ini ada 64 orang, yang semuanya mau diperiksa begitu masuk rutan. Tiga kali pula pemeriksaannya. Kalau masing-masing tiga menit aja, sudah berapa banyak waktu yang harus kita lewati,” kataku.


“Iya juga ya, bang. Nggak mungkin kita ke kamar duluan. Harus bareng-bareng itulah bubarannya di pos jaga dalem,” ucap Dika, seraya tersenyum kecut.


“Nggak usah dipusingin soal ginian mah, be. Kalau pun nggak keuber waktu solat maghrib, Allah juga tahu masalahnya. Kita berdoa aja di hati, banyak kemudahan nanti. Jadi bisa tetep maghriban,” Aris menimpali.


Satu demi satu tahanan turun dari mobil. Memasuki ruangan P-2-O dan langsung berbaris dalam empat lajur. Setelah semua bawaan ditaruh di dekat kaki masing-masing, empat sipir melaksanakan tugasnya. Memeriksa dengan cermat semua barang yang ada. (bersambung)

LIPSUS