Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 321)

Kamis, 17 November 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang 


SANGAT teliti dan cermat sekali keempat sipir melakukan tugasnya. Diawasi para sipir lainnya. Dan bila menemukan barang mencurigakan, bukan hanya dibuka sampai terjawab kecurigaannya, namun juga terjadi dialog berkepanjangan dengan tahanan yang memiliki barang tersebut. Tidak jarang dilengkapi dengan nada tinggi penuh ancaman.


Beberapa kali aku melihat jam di dinding ruang P-2-O. Waktu terus bergerak dengan cepatnya. Membuatku menjadi resah. 


Apalagi setelah diketemukan salah satu tahanan yang berada di lajur tempatku, membawa obat yang ditengarai bermasalah. Meski ia menunjukkan surat dari dokter dan bukti pembelian di apotek. Pemeriksaan pun menjadi bertele-tele.


Ketika untuk ke sekian kalinya aku kembali melihat ke arah jam di dinding, seorang sipir mendekatiku.


“Kenapa dari tadi merhatiin jam itu, om?” tanya sipir berusia sekitar 35 tahunan tersebut.


“Ngitung waktu aja. Keuber nggak buat solat maghrib,” jawabku, terus terang.


“Beneran, cuma soal itu? Atau ada sesuatu pada jam-jam segini,” katanya lagi.


“Nggak ada, cuma pengen nguber maghriban aja,” tegasku, dan menatapnya dengan serius.


Sipir itu sesaat memandangku. Menatap mataku dengan tajam. Seakan mencari sebuah keyakinan akan pembicaraanku. Setelahnya, ia berjalan. Masuk ke sebuah ruangan. Dan beberapa saat kemudian, ia kembali berdiri di depanku. 


“Om ikut aku,” ujarnya, sambil menggerakkan tangannya. Memberi isyarat agar aku mengikutinya.


Ku ikuti langkah sipir itu. Memasuki lorong kecil. Dan berhenti di depan sebuah ruangan. Sekitar 10 meter dari tempat kami para tahanan menjalani pemeriksaan.


“Silakan om solat disini. Kamar mandinya ada di bagian dalem,” kata sipir itu, dengan ramah.  


Bergegas aku membuka sepatu, dan setengah berlari masuk ke kamar mandi. Wudhu. Dilanjutkan solat maghrib. Sangat nyaman solatku, karena ruangan itu ber-AC. Penuh kesejukan. 


Ternyata, ruangan tersebut merupakan musholla bagi para pejabat, pegawai rutan dan sipir yang bertugas di P-2-O.


Seusai salam, aku langsung bersujud lagi. Menyampaikan rasa syukur kepada Ilahi Rabbi. Yang tetap membuka pintu kenikmatan untukku beribadah, dalam kondisi yang benar-benar disesaki oleh pernak-pernik urusan dunia.


Ketika aku tengah memakai sepatu, sipir yang tadi membantuku, telah berdiri di dekatku. Spontan, aku menyalaminya dan menyampaikan terimakasih. Sipir itu hanya tersenyum, dan memberi isyarat untuk aku segera kembali ke dalam barisan.


Kembali aku berdiri di tempat semula. Seorang sipir memeriksa semua barang bawaanku. Seluruh makanan, minuman, serta vitamin, termasuk kaos dan celana pendek sebagai buah tangan istriku dari luar kota, diperiksa dengan cermat. Juga amplop berisi uang pemberian istriku, tidak luput dari perhatiannya.


“Oke, masukin lagi ke tempatnya, pakde. Kalau minuman makanan sehat Energen-nya kebanyakan, boleh juga sebagiannya dikasih ke kami,” kata sipir yang memeriksa barang bawaanku, seraya tersenyum.


Tanpa bicara apapun, aku keluarkan satu kotak minuman makanan sehat Energen berisi 10 saset. Saat itu, aku memang membawa tiga kotak, pemberian adikku Laksa. 


“Langsung niatin sedekah, be. Biar ada berkahnya,” bisik Aris yang berdiri di sebelahku, setelah aku memberikan satu kotak Energen kepada sipir yang memeriksa barang bawaan tahanan di lajurku. 


Karena banyaknya tahanan yang harus dilakukan pemeriksaan, kami baru keluar ruang P-2-O seusai adzan Isya berkumandang dari masjid di dalam kompleks rutan. 


“Enak babe, sudah maghriban. Aku sama Dika ini, terpaksa lewat,” kata Aris, saat kami telah berbaris lagi di halaman depan kantor rutan untuk mengikuti proses pemeriksaan kedua oleh tamping regis dan sipir di pos penjagaan luar.


“Alhamdulillah, Ris. Ada aja kemudahan yang diberikan Allah,” ujarku, dengan santai.


“Emang abang kenal sama sipir yang kasih waktu buat solat maghrib tadi?” tanya Dika, yang berdiri di sebelah Aris.


“Nggak. Ngelihat wajahnya aja baru tadi itulah, Dika,” jawabku, apa adanya.


“Kok bisa ya. Kenal nggak, tapi kasih dispensasi gitu,” Dika menyeletuk.


“Tadi kan Aris nyuruh kita berdoa di hati, waktu masih di mobil, biar kita bisa maghriban. Ya, aku berdoalah, Dika. Alhamduillah, dikabulin doaku. Jangan-jangan, kamu bahkan Aris yang nyuruh berdoa aja malahan nggak baca doa, ya nggak dikasih kesempatan buat maghriban,” ucapku, panjang lebar.  


Dika dan Aris sama-sama tersenyum. Tanpa pernyataan pengakuanpun, aku memahami bila mereka memang tidak melakukan doa seperti yang disampaikan Aris saat kami masih di dalam mobil tahanan, beberapa saat sebelum memasuki kompleks rutan. 


Kekhasan pemeriksaan kedua adalah dengan membuka alas kaki. Aku, Aris, dan Dika pun membuka sepatu berikut kaos kakinya. Sepatu kami diperiksa dengan teliti. Bukan hanya di dalamnya, tetapi juga pada bagian luar dan jahitan-jahitannya. Hingga menggunakan alat penerang. 


“Serius amat meriksanya sih. Nggak mungkinlah aku buat masalah baru. Masalah yang sekarang aja belum jelas selesainya,” kataku kepada sipir dan tamping regis yang memeriksa sepatuku. 


“Ini protapnya, om. Secara pribadi, aku percaya sama om. Tapi, kalau nggak aku periksa, dan ada tahanan lain lapor ke komandan, kan masalah buatku,” jawab sipir itu, sambil menatapku.


Ku anggukkan kepala, seraya mengacungkan kedua jempol ke arah sipir tersebut. Menghargai profesionalitasnya dalam menjalankan tugas. (bersambung)

LIPSUS