Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 363)

Dibaca : 0
 
Kamis, 29 Desember 2022


Oleh, Dalem Tehang 


KEASYIKAN kami berbincang ringan terhenti, saat seorang tamping membuka gembok pintu kamar. Saatnya menikmati kebebasan di luar kamar bagi semua penghuni sel di rutan.


Sambil membawa kain sarung dan memakai kupluk, aku keluar kamar. Juga semua penghuni ratusan sel yang ada di kompleks rutan, keluar dari kamarnya masing-masing. Suasana menjadi ingar-bingar. Belasan tahanan berlarian ke lapangan dengan membawa bola. 


Banyak yang hanya duduk bergerombol di tepian selasar, bercengkrama. Pun di kursi-kursi taman. Kantin tetap menjadi tujuan utama ketika waktu keluar kamar diberikan bagi para tahanan. 


Pak Waras mengajakku langsung ke masjid. Saat masuk ke Rumah Allah, aku melihat Aris dan Iyos telah berdzikir di sudut ruangan. Mengambil posisi dekat dengan keduanya, aku pun memulai prosesi peribadatan. Suara adzan Ashar menyudahinya, dilanjutkan dengan mengikuti solat berjamaah.


Ketika keluar masjid, Aris dan Iyos tengah menonton kawan-kawan yang asyik bermain sepakbola. Aku bergabung dengan mereka. Pada saat bersamaan, Dika juga bergabung. 


“Kamu ke kantin dulu, Dika. Beli gorengan sama air mineral, juga rokok. Biar lebih asyik nontonnya,” kata Aris, seraya mengeluarkan sejumlah uang dari dompet yang ada di kantong celana pendeknya. 


Tahanan berusia 27 tahunan yang selalu menampakkan wajah penuh senyum dan bersahaja itu, bergerak cepat menuju kantin. Membeli sesuai yang dipesankan Aris. Sekira 15 menit kemudian, ia telah kembali dengan membawa tiga kantong hitam berisi makanan ringan dan rokok.


Baru saja kami memulai menikmati gorengan, datang seorang pria berusia lanjut. Meminta apa yang kami makan. Aris menatapku. Spontan aku menganggukkan kepala. Setelah mengambil dua potong gorengan, pria itu pergi. Berjalan pelan dan berdiri menyandarkan badannya di tiang selasar.


“Ada aja cara Allah buat kita terus bisa berbagi rejeki ya, be,” ucap Aris, dengan santai.


“Alhamdulillah, kamu ikhlas, Ris. Itu yang bakal terus ngebuat rejekimu ngalir,” sahutku, sambil mengunyah pisang goreng.


“Orang tadi itu di kantin juga minta makanan kesana-sini kok, om. Kayak kelaperan gitu,” kata Dika.


“Kalau nggak laper, nggak mungkinlah dia sampai kayak gitu, Dika. Apalagi dia sama kita kan nggak saling kenal. Orang-orang kayak gini yang mestinya didahuluin kalau kita mau berbagi rejeki,” ucapku. 


Spontan Aris berdiri. Mengambil selembar uang dari dompetnya, dan meminta Dika memberikan kepada pria berusia lanjut yang masih menyandarkan badannya pada tiang selasar, sambil menikmati makanan ringan yang diberikan Aris.


Pria itu tersenyum ketika Dika menyerahkan selembar uang dari Aris. Ia menganggukkan kepalanya kepada Aris. Ketika pria itu akan bergerak mendekat, Aris mengangkat tangannya. Memberi isyarat, cukup dengan menganggukkan kepala saja sebagai wujud berterimakasihnya.


“Dia mau kesini kan pengen nyampein terima kasih ke kamu, Ris. Kenapa ditolak gitu?” tanyaku.


“Aku ikhlas bantu dia, be. Aku takut, keikhlasanku jadi riya kalau dia sampai salaman dengan nunjukin rasa hormat. Toh, rejeki itu dari Tuhan, aku tergerak bantu juga karena Tuhan yang mauin,” jawab Aris dengan nada serius.


Aku terdiam. Selama ini mantan anggota Dewan yang terhormat itu memang dikenal peduli dengan sesama. Ia tidak pernah membeda-bedakan saat ingin memberi bantuan. Pembawaannya tersebut membuatku ingin mengikutinya. Namun, kondisi ekonomi kami sangatlah berbeda. 


“Bisa aja orang itu sok susah aja lo, Ris. Padahal sebenernya, dia bisa nyukupi kebutuhan makannya,” kata Iyos, beberapa saat kemudian. 


“Nah, ini yang aku nggak suka. Berandai-andai itu ngerusak hati dan pikiran, Yos. Kalau mau lakuin sesuatu, ya lakuin aja. Sepanjang buat kebaikan. Nggak usah pakai mikir ini-itu, apalagi ngebuka aib orang,” jawab Aris.


“Ya kan bisa aja orang itu ngebohong dengan gaya kayak susah-susah bener gitu,” lanjut Iyos.


“Biar aja dia mau pakai topeng, toh kita berbuat baik sama dia. Justru dengan kita ngeduga-ngeduga gini, keikhlasan itu jadi kurang nilainya, Yos. Aku sampein ya, kalau mau hidup kita terhindar dari kehinaan, kegiatan agama kita jadi sempurna, dan harga diri kita terjaga, jangan biasain mulut kita ngomongin aib orang lain atau ngeduga-ngeduga yang negatif,” tutur Aris.


“Sepakat aku, Ris. Ngejaga pikiran dan hati sendiri dari banyak praduga itu, jauh lebih baik daripada kita selalu ingin tampil seperti orang lain,” Dika menimpali.


“Jadi, kita yang lagi di penjara ini, nggak usah mikirin hal-hal negatif ke sekeliling. Perbaiki yang bisa kita perbaiki, ubah yang bisa kita ubah. Nggak usah mikirin hasil yang memang bukan kuasa kita. Biarlah Tuhan yang ngaturnya buat kita,” kata Aris lagi. 


“Aku tambahi, Ris. Sebenernya, kita ini saling bersabar, sebab setiap kita bisa jadi ujian buat orang lain. Kalau Iyos ngenilai orang tua tadi kayak gitu, ya itu ujian juga buat aku, Aris, dan om Mario untuk ngadepinnya. Kuat nggak kami dengan keyakinan untuk terus mandang positif ke siapapun, itu ujiannya,” kata Dika.


“Sok tahu kamu Dika kalau sesama kita juga bagian dari ujian,” Iyos menyela dengan cepat.  


“Aku bukan sok tahu, Yos. Ada di Alqur’an, surah Alfurqan ayat 20. Allah bilang: Dan kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan adalah Rabb-mu yang Maha Melihat,” jawab Dika dengan serius.


Kami semua terdiam. Tidak menyana bila anak muda ini memiliki pengetahuan keagamaan juga. 


“Hebat kamu, Dika. Sejak kapan bisa tahu soal beginian, apalagi sampai hafal surah dan ayat di Alqur’an?” tanyaku dengan menatap Dika.


“Sejak di rutan inilah, om,” sahut Dika, diiringi tertawa ngakak.


“Kok bisa kamu tergerak mahami isi Alqur’an itu kenapa?” tanyaku lagi, penasaran.


“Aku kan muslim, om. Masak nggak faham isi kitab suci sendiri. Ya malulah, om. Dan aku nyadari, pada akhirnya selalu ada batas pada setiap perjalanan, juga selalu ada kata selesai untuk sesuatu yang dimulai. Nah, aku nggak mau sia-siain waktu disini, jadi aku rajin belajar ngaji dan mahami pesen-pesen di Alqur’an,” tutur Dika.


Perbincangan kami sambil menikmati makanan ringan pada senja nan temaram itu spontan berhenti, saat terdengar suara sirine dari pos penjagaan dalam. Diikuti pengumuman, bila semua penghuni rutan wajib segera kembali ke kamar masing-masing.


“Terima kasih atas gorengan dan rokoknya ya, Ris,” kataku, saat kami berpisah di pintu utama Blok B. 


“Sama-sama,  be. Terus saling doa ya,” sahut Aris, sambil menebar senyuman.


Saat memasuki kamar dan melihat kamar mandi tengah kosong, buru-buru aku mengambil pakaian ganti dan alat-alat mandi. Aku mulai terbiasa memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan pribadi, mengingat penghuni kamar 30 ini sebanyak 11 orang. Tepat selesai mandi sore, suara adzan Maghrib menggema dari masjid.


Pak Ramdan bergegas menyiapkan sajadah untuk solat berjamaah. Dan seusai solat Maghrib, aku kembali ke bidang tempat tidurku untuk mengaji. Meneruskan membaca Alqur’an. 


Kap Yasin dan pak Waras mengaji di ruang depan. Sementara, kawan-kawan yang lain, asyik dengan kegiatan masing-masing. Hingga suara adzan Isya terdengar, kami menyudahi membaca kitab suci untuk bersama-sama melaksanakan solat berjamaah. (bersambung)

LIPSUS