Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 364)

Dibaca : 0
 
Jumat, 30 Desember 2022


Oleh, Dalem Tehang


SETELAH makan malam bersama, kap Yasin meminta pak Waras memberi pencerahan bagi kami semua. Sambil duduk santai di ruang depan, pria bertubuh tambun yang tersangkut kasus garam beryodium tanpa izin ini pun, memulai tausiyahnya. 


“Kita semua yang ada di penjara, pasti rasain kegelisahan, kesedihan, bahkan ngerasa terpuruk. Itu manusiawi namanya. Tapi, kata ulama Ibnul Qayyim dalam buku Uddatus Shabirin, semua itu datangnya dari dua hal. Pertama, karena pengen dan ambisi yang berlebihan sama dunia. Yang kedua, karena kurangnya lakuin amal kebaikan dan ketaatan. Kalau penyebab yang pertama, sepertinya jauh dari kita. Karena kita terkurung semacam ini. Walau ya bisa aja, pikiran dan jiwa kita terus digelimangi oleh syahwat keduniawian. Ayo, kita pupus semuanya,” kata pak Waras dengan santai.


“Jadi, kita masuk ke hal yang kedua ya, pak?” ujar Anton, menyela.


“Iya, kalau kita mau ngilangin kegelisahan, keresahan, dan kesedihan, ayo kita perbanyak lakuin amal kebaikan dan ketaatan. Nggak ada pilihan kecuali itu,” lanjut pak Waras. 


“Kebaikan paling baik itu kayak mana, pak?” kembali Anton bertanya.


“Kebaikan terindah itu yang nggak berpamrih, Ton. Kalau kesabaran terbaik, yang nggak ada keluhan. Dan maafin paling indah, beri maaf tanpa didahului kemarahan. Memang, nggak semua orang bisa lakuinnya, tapi kita harus mencobanya dan yakin pasti bisa,” urai pak Waras.


“Sering kita mau berbuat baik atau belajar taat agama, malah diketawain, pak,” kap Yasin membuka suara.


“Banyak emang yang kayak gitu, kap. Seorang kawan pernah ngomong begini: ada yang bahagia ngelihat kita terluka, dan ada yang terluka ngelihat kita bahagia. Siapakah dia? Dia adalah orang yang nggak perlu kita pikirin. Itu kata kawanku, kap. Dan setelah aku renungi omongan itu, ya itulah kenyataan yang ada dalam kehidupan. Jadi, nggak usah ngebuat kita berhenti untuk berbuat kebaikan dan lakuin ketaatan,” jawab pak Waras, seraya tersenyum.


“Nurutku, yang paling susah itu nyadari kekurangan diri sendiri. Bener gitukan, pak,” pak Ramdan berujar.


“Iya, bener itu. Kenapa bisa gitu? Karena kita sebagai manusia punya watak cinta terhadap diri sendiri, hingga sering kita nggak mau ngelihat kecuali kebaikan diri sendiri. Kita juga bertabiat nggak seneng sama orang yang musuhi kita, akibatnya kita nggak ngelihat dia kecuali kejelekan-kejelekannya aja. Bahkan terkadang, akibat berlebihannya cinta pada diri sendiri, sampai-sampai kejelekan kita pun dilihat sebagai kebaikan. Ini fakta yang ada pada diri kita masing-masing,” tutur pak Waras, panjang lebar.


“Jadi, buat ngurangi egoisme cinta diri sendiri, kita harus lakuin kebaikan dan ketaatan itulah ya, pak,” kata pak Ramdan lagi.  


“Iya. Ayo, kita lakuin hal-hal kecil buat kebaikan. Dimulai dari berbuat kebaikan sesama di kamar kita atau ke kawan-kawan yang lain. Kasih senyum dan saling sapa dengan baik itu aja, sudah jadi amal kebaikan lo. Jadi nggak usah repot-repot, yang penting niat di hati,” tanggap pak Waras.


“Gimana kalau kita sudah senyum dan menyapa tapi dicuekin, pak,” lanjut pak Ramdan.


“Memang sih, setiap orang belum tentu baik, tapi pasti ada kebaikan pada setiap orang. Begitu kata banyak orang, dan yakini aja itu. Kalau dapet tanggepan yang kurang enak, jangan sampai niat berbuat baik menjadi terhenti. Terus lakuin kebaikan aja. Karena setiap orang baik pasti punya masa lalu, dan setiap pendosa seperti kita-kita ini, pasti punya masa depan,” terang pak Waras lagi.  


“Darimana kita memulai berbuat amal kebaikan itu, pak?” tanya Anton, yang tampak antusias mengikuti dialog ringan pak Waras.


“Dari pikiran kita, Ton. Bersihin pikiran kita, karena pikiran itu kayak magnet. Kalau kamu mikirin hal-hal baik, kamu akan menarik kebaikan. Sebaliknya, kalau kamu mikirin masalah, ya kamu narik masalah. Intinya, kita semua nggak mungkin bisa narik hal yang positif selama masih berpikir negatif,” sahut pak Waras.


“Alhamdulillah, banyak pencerahan kita dapetin malem ini. Nurutku, inilah nasihat atas nama cinta. Saling menasihati dan berbagi pengetahuan itu, tanda kita saling mencintai. Dan lewat bernasihat semacam ini, aku ingin kita semua jadi makin baik, bukan merendahkan atau menyalahkan sesama kita,” kata kap Yasin dengan senyum sumringah.


“Aku juga seneng suasana kayak gini, kap. Jadi nambah pengetahuan. Dulu-dulu, apalagi waktu masih aktif jadi ASN dan pegang jabatan, aku ngerasa apapun yang aku omongin atau lakuin, pasti bener. Sampai suatu saat, dateng kawan kecil ke kantor, dia ingetin aku. Dia bilang: ketika dirimu telah merasa benar, maka kebenaran-kebenaran yang datang menghampiri, menjadi tertolak. Omongan kawan itu kelihatan sepele, tapi setelah aku pikirin dalem-dalem, bener apa yang dia sampein. Akhirnya, aku ngebuka diri dari berbagai masukan staf, dan perlahan banyak ajaran-ajaran kebenaran yang aku dapetin,” kata pak Ramdan, dengan wajah serius. 


“Ini semua hidayah buat kita, bisa tetep nambah pengetahuan dan saling ngingetin untuk kebaikan, walau di dalam penjara. Aku pernah baca buku, judulnya Al-Ikhlash Wan Niyyah, disana disampein begini: siapa yang perbaiki hatinya, Allah akan perbaiki lahiriyahnya, siapa yang perbaiki hubungannya dengan Allah, maka Allah akan perbaiki hubungannya dengan manusia, dan siapa yang mentingin akheratnya, Allah akan cukupi dunianya,” kata pak Waras.


Tiba-tiba seorang sipir memukulkan tongkat di tangannya ke jeruji besi kamar. Kami semua terkejut. Karena suaranya yang cukup keras.


“Lagi ngobrolin apa ini? Rencanain perbuatan jahat ya,” kata sipir berkumis tebal melintang itu, dengan wajah serius.


“Lagi ngerancang permufakatan buat amal kebaikan dan ketaatan kok, dan,” jawab kap Yasin, dengan santai.


“Beneran gitu? Jangan bikin ulah macem-macem ya. Barusan di kamar 20, aku pergoki penghuninya lagi minum-minuman keras. Pesta miras disana. Mabuk-mabukan. Bisa aja, mereka malah lagi ngerencanain mau masukin barang yang aneh-aneh,” kata sipir itu, tetap dengan wajah serius dan suara tinggi.


Spontan aku istighfar di dalam hati. Baru beberapa hari aku meninggalkan kamar tersebut, kini telah timbul persoalan disana. Tersadarlah aku, betapa begitu indah cara Allah menggeserku agar terhindar dari hal-hal yang tidak baik.


“Siapa yang lagi mabuk-mabukan itu, dan?” tanya kap Yasin, memberanikan diri.


“Orang yang baru beberapa hari masuk sana. Ngajak OD-nya juga. Katanya, orang sebelumnya pindah kesini, bener ya,” ujar sipir itu.


Aku berdiri, dan mengenalkan diri kepada sipir tersebut. Tampak ia mengernyitkan dahinya saat menatapku dengan pandangan serius. Bahkan tanganku ketika bersalaman, agak lama dia genggam, dan dengan keras. Mendadak pada tangan kananku terasa ada hawa panas yang bergerak di urat-uratnya. Dalam hati, aku langsung membaca istighfar. Aku memahami, sipir ini tengah memainkan keilmuan gaibnya untuk mengukur diriku. 


Sekira 10 menit, sipir itu menggenggam erat tanganku, hingga akhirnya dengan gerakan cepat, ia lepaskan. Tidak lama kemudian, kedua tangannya masuk ke sela-sela jeruji besi. 


Melihat gerakannya, aku tahu, ia ingin memelukku. Aku penuhi keinginannya. Sambil terus menyenandungkan istighfar di dalam hati.


“Maafin aku ya, bang. Nggak ada niat jelek kok, cuma pengen tahu aja,” kata sipir itu, saat kedua tangannya memeluk badanku dari sela-sela jeruji besi.


Aku hanya tersenyum. Beruntung, sejak awal masuk kawasan rutan, aku telah dibekali berbagai pengetahuan oleh komandan pengamanan yang membantuku, sehingga ketika tiba-tiba ada sipir yang berlaku tidak sewajarnya, aku tetap bisa mengendalikan diri dan selalu menjaga ketenangan. Karena sebagai penjaga dan pengawas tahanan, mayoritas sipir memang memiliki berbagai ilmu kebatinan yang cukup mumpuni. (bersambung)

LIPSUS