Cari Berita

Breaking News

Kaleidoskop Kisah Kelam Melalui Puisi Esai Denny JA

Rabu, 28 Desember 2022
Views



Oleh Irfan Amali
(Direktur Eksekutif Peace Generation Indonesia)


________
25 Drama Kisah Konflik Primordial di 5 Wilayah Setelah Reformasi dalam 25 Puisi Esai Denny JA


*** Dengan gaya dan semangat jurnalisme yang menjadikan fakta sebagai dagingnya, Denny JA memotret 25 kisah di lima titik kerusuhan saat era reformasi. Namun fakta-fakta ini tidak berhenti di cerita atau bahkan berita. Denny JA mengajak melihat fakta-fakta ini melampaui sekadar data dan angka. Di sinilah sastra bekerja.***

“Tadi teman di sekolah orang apa aja?” Rekan saya bertanya pada putrinya yang baru pulang sekolah. Putrinya baru masuk ke sekolah internasional yang siswanya beragam bangsa. Dengan polos putrinya menjawab, “Ya orang aja seperti saya.” 

Sebetulnya bukan jawaban itu yang diharapkan. Rekan saya berharap putrinya bercerita tentang asal kebangsaan teman-temannya. Tapi jawaban polos anaknya itu membuat dia tersadar, kalau anak-anak itu “color blind”. 

Mereka melihat manusia ya sebagai manusia. Definisi ras, bangsa, tampilan fisik hanya kategorisasi dari imajinasi orang-orang dewasa.

Cerita teman saya itu membawa saya ke masa kecil saya yang indah dan berwarna. Saya tinggal di sebuh pemukiman padat di barat kota Bandung. 

Teman-teman kecil saya berasal dari etnis tionghoa, flores, batak, penganut agama Jawa dll. Nama-nama teman saya cukup aneh-aneh untuk telinga orang Sunda, seperti Pushen, Kunche, Chun chun, Tote, Ancis. 

Wajah dan warna kulitnya berbeda-beda. Tapi saat saya kecil saya tak merasa ada yang aneh dan beda. Masa kecil saya color blind.

Saat tumbuh dewasa, mulailah pendidikan dan budaya kita memberi kita kacamata dalam memandang realita. Untung jika kacamatanya jernih. 

Tak jarang kita diberi kacamata yang penuh warna bahkan noda. Sehingga kita melihat realita dengan cara yang berbeda. Guru agama saya di SD, tak jarang mendiskreditkan agama selain Islam, padahal di kelas saya ada seorang teman beragama Kristen. Saya sering melihat teman saya itu tertekan dan tak nyaman.

Saya tumbuh menjadi remaja yang penuh ingin tahu. Rasa ingin tahu itu membawa saya bertemu buku-buku tentang kebencian pada agama lain. Gagasan-gagasan ini memberi kacamata yang membuat saya melihat realita dengan penuh prasangka.

Saat saya mahasiswa, peristiwa kerusuhan 98 meletus. Media dan berita mengabarkan beragam kengerian. Imajinasi saya terbang kembali ke masa kecil. Saya ingat Pushen, Kunce, Chun chun. Apa kabar mereka?

Momentum itu jadi titik berangkat saya mulai concern dengan topik perdamaian. Saya bergabung dengan beberapa gerakan tanpa kekerasan, mengikuti workshop dan pertemuan kemah perdamaian. Semakin dalam menyelam, semakin sadar bahwa ada api dalam sekam.

Saat masa Orde Baru, jurnalisme dibungkam. Banyak fakta dan data dikubur dalam-dalam. Sehingga keadaan seolah-olah damai dan tentram. Saat itu sastra menjadi pilihan. Beragam keresahan dituangkan dalam baris-baris puisi dan prosa agar pesannya bisa terkaburkan.

Reformasi membuka keran demokrasi. Jurnalisme yang dibungkam tiba-tiba bisa berteriak keras. Seperti orang kehausan di padang pasir yang menemukan oase, saya membeli beragam majalah dan tabloid untuk mendulang fakta yang sebelumnya tak pernah disajikan seberani itu.

-000-

Saat saya membaca buku “Jeritan Setelah Kebebasan” karya Denny JA ini, seolah melihat film yang diputar ulang di benak saya. 

Dari judulnya saja saya langsung terbayang bagaimana jeritan yang selama ini dibungkam, menemukan momentum kemerdekaannya. Namun jeritan itu menyadarkan kita tentang kepiluan yang mengerikan namun terlupakan.

Pada karya yang Denny JA sebut sebagai puisi esai ini saya merasakan ada pertemuan antara jurnalisme dan sastra secara padu. 

Jika dulu sastra menjadi wadah alternatif saat jurnalisme dibungkam, maka pada karya ini jurnalisme dan sastra bukan sebagai dua hal yang saling menggantikan (substitusi) tapi saling melengkapi (komplementer). 

Dengan gaya dan semangat jurnalisme yang menjadikan fakta sebagai dagingnya, Denny JA memotret 25 kisah di lima titik kerusuhan saat era reformasi. Menggunakan mata Denny JA, pembaca diajak untuk melihat beragam fakta. 

Namun fakta-fakta ini tidak berhenti di cerita atau bahkan berita. Denny JA mengajak melihat fakta-fakta ini melampaui sekadar data dan angka. Di sinilah sastra bekerja. 

Denny JA dengan kepiawaiannya dalam meramu kata menggubah baris-baris puisi, pembaca diajak untuk bertamasya kata. Sehingga fungsi jurnalisme yang bertugas menyampaikan berita dilengkapi oleh puisi yang bertugas mengantarkan rasa dan makna.

Saat membaca membaca “Tangisan Anakku di Mall Itu,” saya langsung related. Cerita Koh Enlai dan dan putrinya, Lian berhasil membuat saya masuk ke dalam ceritanya sekaligus membawa saya pada imajinasi tentang sahabat-sahabat kecil saya.

Bagi Koh Enlai, jumlah kematian itu bukan hanya angka. Karena Lian termasuk yang mati di Mall itu.

Koh Enlai mewakili kepedihan ratusan orang yang kehilangan orang yang dicintai. Baris ini juga sekaligus menjadi kontra-narasi bagi media jurnalistik yang memotret peristiwa sekadar angka-angka dan meniadakan rasa. 

Rasa yang dialami Koh Enlai dan ratusan orang yang kehilangan orang yang dicintai.

25 cerita dalam buku ini juga menjadi seperti memoar, kaleidoskop atau mungkin museum. Tak cukup sekali baca. Kita bisa mengunjunginya berulang- ulang dengan pengalaman dan pemaknaan yang beragam. 

Itulah bedanya straight news alias berita dengan sastra. Karya sastra akan everlasting melintas zaman. Sehingga peristiwa tidak berhenti jadi fakta dalam kliping-kliping lusuh. Tapi menjadi mutiara-mutiara dalam kaca. Yang dibaca, dijaga, dan memberi makna.

Selain sebagai sebuah karya, buku ini juga sebagai bukti komitmen panjang Pak Denny pada tema perdamaian dan antidiskriminasi. 

Saya mengenal sosok Pak
Denny sebagai insiator gerakan Indonesia tanpa Diskriminasi yang dimotori salah satunya oleh Mas Anick. 

Saya bertemu Denny JA ketika diundang Fahd Pahdepie, yang saat itu meluncurkan inspirasi.co yang didukung Pak Denny di belakangnya. 

Saat peluncurannya, saya masih ingat Luthfi Assyaukanie menyebut aktivitas Pak Denny menulis karya sastra sebagai bukti bahwa Pak Denny punya cukup waktu luang. 

Karena sastra adalah produk peradaban, dan peradaban tercipta dari waktu luang. Saat manusia hidup nomaden dan berburu, manusia terus bekerja dengan mode survive. Saat manusia mulai bercocok tanam, maka ada masa-masa menunggu panen. 

Saat waktu luang tercipta maka, terciptalah nyanyian, tarian, sastra, desa, kota hingga akhirnya peradaban.

Pun karya-karya yang lahir dari Denny JA, adalah salah satu indikator, bahwa Pak Denny sudah tidak hidup dalam mode survive. Waktu luang memberi ruang untuk berefleksi, mengambil jeda untuk melihat realitas dengan kacamata yang lebih jernih. 

Dalam kehidupan dengan tempo yang makin cepat ini, orang sering luput dari realitas apalagi sejarah masa lalu. Sementara Pak Denny, masih sempat merekam, merefleksikan sebuah topik kemanusiaan yang sudah mulai pudar terlupakan.

Sebuah kehormatan saat Mas Anick meminta saya untuk menjadi salah satu orang yang membaca dan memberikan tanggapan terhadap karya Pak Denny ini. Meskipun sempat ragu, mengapa saya diberi kesempatan ini, karena saya bukanlah sastrawan ataupun kritikus sastra. 

Tapi saya berpikir mungkin setidaknya saya punya tiga irisan dnegan pak Denny. Pertama karena sama-sama bekerja dan berjuang dalam isu perdamaian. Kedua, sama-sama alumni Amerika, ketiga karena sama-sama suka menulis. Sisanya banyak bedanya, termasuk nasibnya. :)

Saya ucapkan selamat atas terbitnya karya ini. Semoga menjadi pengingat buat Indonesia yang suka cepat lupa.[]

Garut, Oktober 2022.

-----
Irfan Amali, penulis buku “Islam Itu Ramah bukan Marah.” Cofounder dan Direktur Eksekutif Peace Generation Indonesia


LIPSUS