Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 373)

Minggu, 08 Januari 2023
Views


Oleh, Dalem Tehang

  

SUARA adzan Ashar dari masjid di dalam kompleks rutan, mengakhiri keasyikanku menikmati permainan catur antara komandan pengamanan dengan pak Hadi. Aku segera berpamitan untuk kembali ke kamar, mengambil kain sarung dan kupluk serta menuju Rumah Allah untuk mengikuti persujudan berjamaah.


Saat aku memasuki pintu utama Blok B, tampak pak Waras, kap Yasin, dan pak Ramdan keluar kamar. Ditangan pak Waras terlihat sarung dan kuplukku.


“Sudah, nggak usah ke kamar, be. Alat solatnya sudah ku bawain,” teriak pak Waras, begitu melihatku berjalan tergopoh-gopoh.


“Alhamdulillah, terimakasih, pak,” kataku, saat pak Waras memberikan kain sarung dan kuplukku. 


Segera kami meneruskan langkah menuju masjid. Dan sesaat kemudian, ikut solat berjamaah. Seusai solat, kap Yasin mengajak kami menemui ustadz Umar.


“Ada apa emangnya, kap?” tanyaku, terheran.


“Pengen dapet ilmu sabar, om,” sahut kap Yasin, dengan santai.


Ketika ustadz Umar telah berada di ruang khusus koordinator majelis taklim, kami pun masuk.


“Assalamualaikum, ustadz. Mohon maaf, mengganggu,” kata kap Yasin, diikuti dengan menyalami ustadz Umar.


“Waalaikum salam. Nggak ada istilah mengganggu itu, pak. Semua kita tetep punya waktu untuk terus bersilaturahim,” jawab ustadz Umar, dengan tenang.


Setelah kami berempat duduk di hadapannya, ustadz Umar menanyakan ada masalah apa.


“Kami ingin ustadz beritahu mengenai ilmu sabar,” kata kap Yasin.


“O gitu. Imam Syafi’i bilang begini. Bersabarlah dengan baik, maka kelapangan itu begitu dekat. Barang siapa yang mendekatkan diri kepada Allah untuk lepas dari kesulitan, maka ia pasti akan selamat. Barang siapa yang begitu yakin dengan Allah, ia pasti tidak akan merasakan penderitaan. Barang siapa yang selalu berharap kepada-Nya, maka Allah pasti akan memberinya pertolongan. Semua itu ada di Tafsir Alqur’an Al-‘Azhim,” urai ustadz Umar.


“Jadi, maksudnya sabar yang baik itu gimana, ustadz?” tanya kap Yasin.


“Sabar atas semua yang terjadi dan dialami. Yakin seyakin-yakinnya kalau apapun itu karena kehendak-Nya. Nggak ada istilah kebetulan. Jadi, ya terima semua apapun itu dengan lapang dada dan kembalikan kepada Sang Maha Kuasa,” sahut ustadz Umar.


“Dengan sabar yang baik itu, kita akan diringankan semuanya oleh Allah ya, ustadz?” tanya kap Yasin lagi.


“Iya, pak. Kalau kita sudah sabar dengan baik, kita akan lepas dari kesulitan dan penderitaan. Bahkan, Allah turun langsung memberikan pertolongan. Tentu nggak cukup sama sabar aja, pak. Tetapi juga harus lakuin apa yang diperintah dan meninggalkan semua yang dilarang-Nya,” tutur ustadz Umar.


“Alhamdulillah, terimakasih banyak pencerahannya, ustadz,” kata kap Yasin.


Sambil tersenyum penuh ketenangan, ustadz Umar menyampaikan pesan untuk kami, sebelum berpamitan: “Kalau kalian berjumpa dengan orang taat, muliakan dan hormatilah dia. Bila kalian bertemu dengan orang ahli maksiat, sayangi dan doakanlah dia.”


Sesampai di kamar, aku mengambil buku catatan harian yang ada di rak atas tempat tidur. Menuliskan pengalaman hari ini, dan tentu saja isi tausiyah dan pencerahan yang disampaikan ustadz Umar.


“Om ini rajin bener nulis kegiatan harian ya. Buat kenang-kenangan ya,” kata kap Yasin.


“Banyak ilmu dan pengalaman disini, kap. Sayang kalau nggak dicatet. Kalau cuma diinget di otak aja, pasti lupa,” jawabku, seraya tersenyum.


“Emang, ilmu atau pengalaman itu harus ditulis biar nggak lupa ya, om,” Anton menyela.


“Iyalah, Ton. Kalau cuma didengerin aja, pasti kita lupa. Om juga pernah baca, Nabi Muhammad SAW bersabda: ikatlah ilmu dengan menulisnya. Jadi, dengan nulis gini, om tetep jalani sunah Kanjeng Nabi,” kataku.


“Bukan hanya itu, be. Nurut Imam Syafi’i, ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya. Maka, ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. Termasuk kebodohan kalau kamu memburu kijang tapi setelah itu kamu tinggalkan terlepas begitu saja,” pak Waras menimpali.


“Oh gitu ya, pak. Terimakasih tambahan ilmunya. Aku seneng ngumpulin serpihan-serpihan ilmu dan pengalaman semacam ini,” ujarku, dan menyalami pak Waras yang tersenyum sumringah. 


Baru saja selesai mandi sore, suara adzan Maghrib telah terdengar dengan kencangnya. Pak Ramdan bergegas menyiapkan sajadah untuk kami solat berjamaah. Pak Waras mendadak memintaku untuk menjadi imam. 


Selepas doa bersama, kap Yasin minta pak Ramdan dan beberapa kawan segera menyiapkan makan malam. Aktivitas membosankan terus bergulir. Hingga kantuk datang. 


Tepat tengah malam, terdengar suara gaduh dari kamar 31. Ada pertengkaran fisik antar penghuninya. Beberapa sipir berlarian, dan setelah pintu sel dibuka, yang terlibat keributan dibawa ke pos penjagaan. 


“Emang nggak mudah belajar sabar hidup di lingkungan kayak gini ya, om,” kata Anton, setelah melihatku duduk dari rebahan di kasur karena mendengar suara gaduh dari kamar sebelah. 


“Hidup ini emang nggak ada yang mudah, Ton. Jalani aja dengan hati lapang dan pikiran enteng. Ngapain juga ribut-ribut sesama kawan sekamar, malahan timbul masalah baru,” sahutku. 


“Nah, itu yang aku nggak ngerti, om. Kenapa juga mereka harus berantem. Kayak mana kap-nya ngendaliin kamar kok sampai ada penghuni yang kelahi gitu. Kan ikut repot juga kap-nya,” lanjut Anton.


“Sudah dulu, Anton. Kamu ini masih suka aja kepo sama urusan orang,” mendadak kap Yasin menyela, sambil terus merebahkan badannya di kasur, tepat di sampingku.


“Sorry, kap. Bukan kepo maksudnya. Kan kata pak Waras, semua yang terjadi disini adalah pembelajaran, aku pengen dapet tambahan pengalaman aja sih,” sahut Anton.


“Emang susah ngomongin kamu itu ya, Anton. Benerlah kata orang: jangan perbaiki orang bodoh, karena dia akan membenci. Perbaiki aja orang bijak, karena dia akan menghargai,” sambung kap Yasin.


“Wah, salah kali itu, kap. Kalau orang pinter nggak mau perbaiki si bodoh, gimana si bodoh bisa dapetin pengetahuan buat jadi baik pikiran dan hidupnya. Lagian, kalau orang pinter cuma mau perbaiki yang sudah bijak karena bakal dihargai, berarti si pinter itu nggak ikhlas berbagi ilmu dan pengalamannya. Aku nggak setuju sama pandangan orang yang kap sampein tadi,” balas Anton.


“Ya terserah kamu ajalah, Anton. Aku kan cuma sampein yang pernah diomongin orang. Aku seneng kalau kamu tetep jadi diri kamu sendiri, berarti kamu punya citra diri. Tapi, jangan terus-terusan usil sama yang bukan urusan kamu, nggak baik itu. Lebih bagus, perbaiki aja pikiran kamu, dan nggak semua hal perlu dikomentari,” kata kap Yasin kemudian.  


Karena tidak bisa melanjutkan tidur, aku pun turun dari kasur. Membuat minuman hangat, kopi pahit. Dan kembali mengambil buku catatan harian. Menulis sambil merebahkan badan di kasur.


Ditemani sebatang rokok dan secangkir kopi pahit. Aku terus berusaha mengisi waktu dengan kesibukan, hanya dengan itu ketrenyuhan di batin ini dapat disingkirkan. (bersambung)

LIPSUS