Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 374)

Senin, 09 Januari 2023
Views



Oleh, Dalem Tehang


BEGITU asyiknya aku menorehkan tulisan di atas buku khusus untuk catatan harian di rutan, hingga terdengar suara adzan Subuh dari masjid di dalam kompleks rutan. Yang kemudian diikuti dengan suara panggilan untuk solat tersebut, dari beberapa masjid yang ada di sekitaran.


“Alhamdulillah, ketemu subuh lagi,” terdengar suara pak Ramdan, yang baru bangun dari tidurnya.


Setelah merapihkan buku dan pulpen ke tempatnya, juga membersihkan seprai dari serpihan abu rokok, aku turun dari kasur untuk ke kamar mandi. Berwudhu. Pak Waras dan Anton juga telah bangun. Dan seperti biasa, dari 11 penghuni kamar 30, kami berempatlah yang rutin solat Subuh berjamaah.


Selepas solat, aku kembali ke kasur. Karena tiada rasa mengantuk sama sekali, aku mengambil Alqur’an dan melanjutkan membaca kitab suci. Dengan suara pelan, aku baca ayat demi ayat berikut artinya, yang kini telah memasuki juz 30. Tiba-tiba pak Waras mendekat dan memberi isyarat untuk duduk di dekatku, di atas kasurku.


Tepat ketika surah terakhir aku baca, pak Waras mengangkat tangannya. Dan langsung memimpin doa begitu aku menyelesaikan 30 juz Alqur’an berikut membaca artinya. Aku juga mengangkat tangan, mengaminkan doa yang dilantunkan pak Waras.


“Alhamdulillah, akhirnya babe bisa khatam Qur’an sekaligus dengan membaca artinya ayat demi ayat. Aku doain barokah ya, be,” kata pak Waras selepas kami berdoa, sambil memelukku dengan erat. 


“Alhamdulillah, terimakasih motivasi dan bimbingannya selama ini, pak. Aku memang bertekad, jadiin hidup di penjara ini sebagai musibah yang bawa barokah. Inshaallah, diberkahi Yang Di Langit,” ujarku, dengan suara haru.


“Memang kita harus berilmu dulu sebelum ibadah, be. Aku pernah baca, Umar bin Abdul Aziz bilang: siapapun yang beribadah kepada Allah tanpa diiringi ilmu, maka kerusakannya akan lebih banyak daripada perbaikannya. Sumber segala ilmu itu ya Alqur’an, dan babe sudah khataminnya dan mahami artinya. Tinggal amalin aja buat kehidupan sehari-hari,” lanjut pak Waras.


Pak Ramdan memberi isyarat, ia telah membuatkan kami minuman hangat dan ditaruh di ruang depan, tempat biasa kami berbincang ringan. Aku dan pak Waras pun bergeser dari kasurku. Dan sesaat kemudian, aku telah mengirup kopi pahit sedang pak Waras menyeruput teh manis kesukaannya.


“Om Mario habis subuhan tadi khatam baca Qur’an ya. Alhamdulillah. Selamat ya, om. Moga-moga ibadahnya diterima Allah,” kata pak Ramdan, yang ternyata menguping pembicaraanku dengan pak Waras.


“Bukan cuma khatam bacaan ayat-ayatnya aja, pak. Tapi juga sama artinya. Dan pasti babe juga belajar mahami makna yang ada dalam setiap ayatnya. Dan itu yang luar biasa nurut aku,” tanggap pak Waras. 


“Maksudnya gimana, pak?” tanya pak Ramdan.


“Aku pernah baca di sebuah buku, Ibnu Qayyim, seorang ulama besar, nyampein begini: membaca satu ayat dengan memikirkan dan memahaminya, lebih baik dibandingkan dengan membaca hingga khatam tanpa tadabbur dan memahami. Maka aku bilang, yang dilakuin babe ini luar biasa. Inshaallah, keluarbiasaan itu menyelimuti lahir batinnya dan makin mengistiqomahkan babe ke depannya,” urai pak Waras, sambil menatapku dengan pandangan tajam. Penuh optimisme.


“Masyaallah. Moga-moga berkah khataman Qur’annya ya, om. Aku sebenernya pengen juga ngaji sampai khatam, tapi baru baca beberapa ayat aja, pasti hatiku langsung ngerasa nggak tenang. Gimana caranya biar hati ini tenang waktu baca kitab suci ya, pak,” kata pak Ramdan, yang tetap asyik menghisap rokok di tangannya.


“Kalau kata seorang sahabatku, nyari ketenangan itu bukan dengan cara pergi, tetapi dengan kembali, pak. Yaitu kembali ke dalam diri sendiri, cari Tuhan di hati. Karena sebenernya, ketenangan itu adanya di dalam, bukan di luar,” sahut pak Waras.


“Jadi, aku harus kayak mana mulainya, pak?” tanya pak Ramdan lagi.


“Sebelum baca Qur’an, setelah wudhu, baiknya berdoa dulu. Mantepin hati. Minta dikasih keridhoan dan hidayah. Lepasin semua pikiran soal dunia. Khusu’ aja dengan niat baca kitab suci. Inshaallah, pada waktunya, pasti pak Ramdan bisa dengan tenang baca Qur’annya,” tanggap pak Waras.


Pak Ramdan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kedua telapak tangannya mendadak mengepal. Pertanda ia telah mendapat semangat untuk memulai membaca kitab suci. 


Melihat ekspresi pria berusia 60 tahunan tersebut, aku dan pak Waras tersenyum. Ada kebanggaan dan kebahagiaan di hati kami. Tebaran kebaikan itu terus mendapat sahutan positif.


“Makin lama, aku makin nyaman dan seneng ada disini,” ucap pak Waras, beberapa saat kemudian.


“Maksudnya, pak Waras ngerasa lebih enak tinggal di rutan gini?” tanya pak Ramdan dengan cepat. Ada kernyitan di dahinya.


“Secara lahiriyah, ya pasti nggak enaklah tinggal di penjara, pak. Maksudku ngerasa lebih nyaman dan seneng itu secara batin,” jelas pak Waras.


“Maksudnya gimana sih, pak. Aku nggak nyambung,” ujar pak Ramdan lagi. Penasaran.


“Gini lo, pak. Aku ini kan dulu waktu di luar, sering diminta ceramah. Ustadz tingkat kampung gitulah. Sering kasih petuah-petuah di berbagai acara. Tapi, rasa nyaman dan senengnya beda bener yang aku rasain di hati setelah aku bisa terus sampein kebenaran di dalem sini. Karena disini kan tempatnya orang-orang bermasalah. Tempatnya penjahat gitulah sebutannya,” urai pak Waras.


“Pagi-pagi sudah ceramah aja bapak tua ini. Coba dulu buatin aku kopi,” tiba-tiba terdengar sebuah suara dari balik jeruji besi, dengan kencangnya.


Spontan, kami menengokkan wajah. Ternyata, ada seorang sipir berdiri di balik jeruji besi. Matanya tampak menahan kantuk dengan wajah agak memucat. Pertanda ia tidak tidur semalaman.


“Siap, dan. Segera dibuatin. Mau kopi manis apa pahit, dan,” kata pak Ramdan yang bergegas berdiri dari duduk ndeproknya.


“Ya kopi manislah. Masak kopi pahit. Cuma orang nggak waras yang suka sama kopi tanpa gula itu,” ujar sipir berusia sekitar 45 tahunan tersebut.


Sambil menunggu pak Ramdan menyeduhkan kopi manis, sipir itu memandangi aku dan pak Waras. Tiba-tiba ia menunjuk bungkus rokok yang ada di depanku. Aku faham, ia meminta rokok. 


Aku pun berdiri dan membuka bungkus rokok untuk ia mengambil sebatang rokok dari dalam bungkusnya. Namun, ia justru mengambil bungkusnya dan langsung memasukkan ke kantong pakaian dinasnya. Spontan aku tersenyum dan kembali duduk di tempat semula, di samping pak Waras.


Pak Ramdan menyerahkan secangkir kopi kepada sipir tersebut melalui sela-sela jeruji besi. Dan tanpa mengucapkan kata apapun, pria berbadan kecil itu langsung melangkah pergi. 


“Nggak punya adab bener sipir itu,” celetuk pak Ramdan.


“Biar aja, pak. Kita yang sehat, ngalah aja,” ujar pak Waras, dengan nada santai.


“Ya nggak gitu juga kali, pak. Alangkah banyak sipir yang baik, yang tetep ngemanusiain kita sebagai tahanan disini, apa sipir tadi itu makhluk baru yang tugas disini ya, kok gayanya kayak koboi bangun kesiangan gitu,” kata pak Ramdan, dengan nada gusar. 


“Ibaratnya kan gini sih, pak. Di dalam satu keluarga, pasti ada aja salah satu anaknya yang nyeleneh. Yah, anggep aja sipir tadi itu salah satu anak yang nyeleneh. Jadi nggak usah dibahas. Lagian, pak Ramdan malah dapet amal, ngebuatin dia kopi. Babe juga dapet pahala, karena rokoknya diambil semua,” kata pak Waras, tetap dengan gaya santainya.   


“Oh ya, sipir tadi ngambil rokok om sekalian sama bungkusnya?” tanya pak Ramdan dengan ekspresi wajah terkejut.


“Iya, dia bawa semua rokokku, pak. Ya sudah, dia lebih butuh dibanding aku. Ikhlasin aja. Toh, masih ada stok rokokku. Yang kayak gini anggep aja bagian dari ujian kesabaran, jadi tetap santai ngadepinnya,” sahutku, seraya tersenyum. (bersambung)

LIPSUS