Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 428)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Sabtu, 04 Maret 2023


Oleh, Dalem Tehang


ATAU saya panggil Hamid aja ya, pak. Biar dia ngomong langsung sama pak Mario,” kata komandan, setelah beberapa saat kami sama-sama diam.


“Nggak usah, pak. Yang penting kan pesennya sudah sampai. Lagian, mestinya ya dia sendiri yang sejak awal nemuin dan bilang langsung ke aku. Nggak pakai perantara komandan kayak gini. Kesannya kan sekadar jajaki aja,” sahutku, dengan cepat.


“Tadinya, dia emang niat mau nemuin pak Mario langsung. Tapi, setelah ngobrol dengan saya di pos, eh malahan minta tolong saya buat sampein. Barangkali, dia nggak punya keberanian buat ngomong langsung,” ujar komandan.


“Yah, masing-masing orang emang beda karakter. Hal-hal yang mestinya nggak butuh keberanian, sering kali jadi nakutin ya, pak. Padahal, sebelumnya juga dia enteng-enteng aja kok ngobrol sama aku,” sahutku, dan tertawa.


“Aneh dan lucu emang gaya Hamid itu, pak. Dan saya jadi inget soal filosofi durian,” tanggap komandan, juga diiringi tawanya.


“Gimana filosofi durian itu, pak?” tanyaku, terpancing.


“Kalau saja durian itu nggak keluarin bau harumnya, pasti nggak ada satu orang pun yang mau merasakannya. Pasti semua menduga, luarnya aja berduri, apalagi dalemnya. Kan gitu,” tutur komandan, masih sambil tertawa.


“Iya juga ya. Terus makna yang ada di filosofi durian ini apa, pak?” tanyaku lagi.


“Kalau kata orang tua saya dulu, durian itu ngajari kita bahwa untuk dapetin manisnya hidup, kita harus lewati dulu duri-duri kehidupan,” jelas komandan, dan tersenyum lepas.


Aku tersenyum, sambil mencoba memahami makna filosofis yang terkandung dalam lahiriyah buah durian yang disampaikan sang komandan. Dan entah darimana, aku seakan mendapat sebuah pesan yang tersembunyi, jika kekurangan seseorang janganlah dibuat gurauan, pun kelebihan seseorang janganlah dijadikan kesempatan.    


Saat pembicaraan mengenai pesan Hamid telah berujung, aku menyampaikan keinginan Aris untuk bisa mendapat izin keluar rutan karena akan menikahkan adik perempuannya.


“Kapan waktunya, pak?” tanya komandan.


“Nah, itu masalahnya, pak. Si Aris belum kasih tahu hari dan tanggalnya. Besok saya tanya kepastiannya,” kataku.


“Ya sudah, pastiin dulu dengan Aris, nanti suruh dia temui saya aja, pak. Inshaallah bisa dapet dispensasi, walau paling lama empat jam,” ujar komandan, dengan tersenyum.


“Alhamdulillah, terimakasih banyak ya, pak. Inshaallah, semua bantuan selama ini bawa berkah buat komandan sekeluarga, aamiin,” kataku, dan memegang tangannya erat-erat. 


Waktu terus berlalu, malam semakin pekat. Suasana di lingkungan rutan telah sunyi sepi. Hanya sesekali terdengar suara tawa dan canda dari beberapa kamar yang penghuninya belum tidur. 


Tepat pukul 24.00, komandan berpamitan. Harus melakukan pengecekan pada semua kamar yang ada di tiga blok dalam kawasan pemenjaraan tersebut.


Aku masuk ke kamar sambil membawa sisa makanan ringan berupa roti bakar dan tahu gejrot. Yang langsung diminta oleh Teguh dan pak Ramdan. Keduanya masih asyik bermain catur. 


“Alhamdulillah, akhirnya kesampeian doa kami, ayah,” kata Teguh, saat memasukkan roti bakar ke mulutnya.


“Emang apa doamu?” tanyaku.


“Waktu kami cium bau roti bakar sama tahu gejrot pas ayah sama komandan ngobrol di gezebo tadi, aku bilang sama pak Ramdan. Aku berdoa dulu ya, pak. Biar ayah nyisain makanannya buat kita. Alhamdulillah, akhirnya kewujud doaku,” ujar Teguh, dan tertawa ngakak.  


Aku tersenyum mendengar celoteh Teguh, anak muda yang selalu berwajah ceria, tanpa beban, yang tersangkut kasus narkoba berkilogram banyaknya. 


Tanpa berbincang lama-lama di ruang depan dengan Teguh dan pak Ramdan, aku langsung naik ke kasurku. Tampak kap Yasin telah lelap dalam tidurnya. Tepat di sebelah kiri tempatku. 


Dan perlahan, aku memperhatikan wajah kap Yasin. Tetap saja, salah satu matanya tidak tertutup rapat. Sikap kewaspadaan yang telah mendarah-daging dalam kehidupan sang residivis alias ipis. 


“Tidur lagi, om. Sudah lewat tengah malem ini,” mendadak kap Yasin bicara, tanpa membuka matanya.


“Siap, kap. Mimpi indah ya, kap,” jawabku, yang langsung merebahkan badan dan menarik selimut.


Sambil berdoa dengan mata menatap plafon, pikiranku mengkancah dalamnya tingkat kewaspadaan yang dimiliki kap Yasin. Insting dan feelingnya telah benar-benar terasah. Suatu kemampuan yang lahir berkat kesungguhan dan konsistensi dalam pelaksanaannya. 


Suara adzan Subuh membangunkanku. Tepat saat pak Waras akan ke kamar mandi untuk berwudhu. Dan setelah solat berjamaah, aku kembali naik ke kasur. Melanjutkan tidur. Entah berapa lama aku kembali tidur, tiba-tiba Anton menepuk telapak kakiku dengan pelan.


“Maaf, om. Nanti mau sidang lo. Cepetan mandi dan sarapan,” kata anak muda itu, ketika melihatku membuka mata.


“Iya, aku inget kok, Ton. Terimakasih sudah ngebangunin,” sahutku, dan dengan perlahan bangun dari kasur.


Setelah meminum air putih yang ada di tumbler dilanjutkan dengan membersihkan badan dan berganti pakaian, aku menyiapkan kemeja warna putih, celana panjang warna, juga sepatu dan kopiah yang akan aku kenakan saat hadir di persidangan nanti siang. 


Pada saat bersamaan, pak Ramdan menaruhkan piring berisi satu bungkus nasi kuning dan secangkir kopi pahit di dekat tempatku beraktivitas.


“Wah, siapa nih yang beliin nasi kuning. Ada yang lagi syukuran ya,” kataku, sambil menatap pak Ramdan.


“Tadi Hamid kesini, bawain lima bungkus nasi kuning. Yang lainnya sudah kami makan. Itu satu spesial buat om,” kata pak Ramdan.


“Hamid nganter sarapan?” tanyaku, seraya mengernyitkan dahi.


“Iya, dia tadi kesini tapi om masih tidur. Jadi dia kasih ke aku. Dan yang empat bungkus, sudah kami makan bareng-bareng,” jelas pak Ramdan.


“O gitu. Alhamdulillah. Inshaallah, sarapan nasi kuning kiriman Hamid ini bawa berkah,” sahutku, dan membuka bungkusan nasi kuning.


Tepat saat aku membuka bungkusan nasi kuning, Rudy datang dan berdiri di balik jeruji besi. Wajahnya tampak memelas.


“Kamu kenapa, Rud?” tanyaku kepada napi yang menjadi OD di bekas kamarku itu. Kamar 20.


“Sini dong, om,” kata dia. Aku pun mendekat ke jeruji besi. Dengan perlahan, ia menyampaikan bila dirinya belum makan sejak siang kemarin. (bersambung)

LIPSUS