Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 431)

INILAMPUNG
Selasa, 07 Maret 2023
Views


Oleh, Dalem Tehang


SESAMPAI di rutan, setelah memasuki pintu gerbang utama, kami menjalani pemeriksaan ekstra ketat di ruang P-2-O. Seorang sipir yang memeriksa bawaanku, dengan terus terang meminta makanan ringan berupa pempek bakar yang ada di salah satu kantong plastik.


“Buat buka puasa, pakde. Kebetulan aku sama komandan P-2-O hari ini sama-sama puasa sunah,” kata sipir berusia 35 tahunan itu, sambil menatapku. Penuh kesungguhan dan harapan.


Mendengar pengakuan sipir berbadan gempal itu, bila makanan ringan pemberian istriku tersebut untuk ia dan komandannya berbuka puasa, aku pun langsung mengikhlaskannya.


“Oke, ambil aja. Inshaallah berkah,” sahutku, seraya tersenyum.


“Alhamdulillah. Ikhlas ya. Berkah juga buat pakde,” ucap sipir tersebut, dan mendadak menyalamiku dengan kedua tangannya.


Hampir satu jam kami menjalani pemeriksaan di ruang P-2-O, bukan hanya karena ada 52 tahanan yang mesti diteliti satu persatu barang bawaan dan badannya, tetapi juga akibat ada tiga tahanan yang diketahui membawa pisau kecil dengan alasan untuk memotong sayuran dan buah-buahan.


Pisau-pisau tersebut bukan hanya disita, tetapi pelakunya juga menjalani proses interogasi mendalam. Dan dibawa ke kamar pemeriksaan yang ada di sudut ruangan P-2-O. Di bawah tangga untuk ke lantai dua. 


Ironisnya, selama pemeriksaan terhadap tiga tahanan yang membawa barang terlarang itu masih berlangsung, tidak satu pun di antara kami yang diperkenankan bergerak dari ruang P-2-O.


Ketika adzan Maghrib terdengar dari masjid di dalam rutan, aku meminta izin kepada sipir untuk solat di musholla yang ada pada bagian samping ruangan. Beberapa tahanan lain pun mengikutiku. Namun, petugas hanya mengizinkan kami bergantian. Sekali solat maksimal tiga orang.


Akhirnya, setelah menunggu cukup lama, komandan P-2-O keluar kamar pemeriksaan dan menyampaikan jika tiga orang yang bermasalah untuk sementara diamankan, sedangkan 49 tahanan lainnya diizinkan meninggalkan ruangan untuk mengikuti proses pemeriksaan selanjutnya di depan pos penjagaan luar. 


Beruntung, kali ini pemeriksaan di pelataran depan kantor rutan, tidak bertele-tele. Petugas dan tamping regis hanya mengabsen. Memastikan jumlah tahanan yang keluar untuk mengikuti sidang dan yang kembali, sesuai datanya. Dan kemudian, petugas membuka pintu gerbang tinggi untuk kami memasuki kawasan steril.


49 tahanan berjalan dengan posisi berbaris melewati tepian lapangan sepakbola. Saat itu, sorot lampu di kawasan rutan sangat terang benderang, sehingga semua pergerakan terbaca dengan mudahnya. 


Setelah melapor di pos penjagaan dalam, pemeriksaan tidak secara ketat dilakukan. Hanya diminta setiap orang memberikan “uang sepemahaman” masing-masing Rp 10.000. 


Tepat saat aku akan memasukkan uang ke dalam kardus air mineral yang ditaruh di tengah ruangan seperti kawan-kawan yang lain, seorang sipir memintaku untuk langsung keluar melalui pintu bagian belakang pos.


“Om langsung aja. Selamat beristirahat,” kata sipir berbadan kurus dengan postur tinggi itu. 


Sesaat aku menatapnya, dan sambil menganggukkan kepala, aku tersenyum ke arahnya. Sipir itu juga tersenyum. Sambil berjalan menyelusuri selasar untuk masuk ke pintu utama Blok B, aku bersyukur di dalam hati atas nikmat yang diberikan Sang Maha Pengatur lewat petugas penjaga tahanan tadi.


“Kenapa senyum-senyum sendiri itu, om,” tiba-tiba sebuah suara mengejutkanku ketika memasuki pintu utama Blok B.


Ternyata, Rudy yang bicara. Saat itu, ia tengah duduk di ruang masuk yang juga tempat para warga binaan menonton televisi. Aku mendekati OD kamar 20 tersebut dan menyalaminya.


Uang Rp 10 ribu yang masih ada di genggaman tangan dan batal aku masukkan ke kardus air mineral di pos penjagaan dalam atas perintah seorang sipir, akhirnya aku kimel-kan ke tangannya.


“Alhamdulillah, kalau om Mario lagi seneng, sedekahnya ngalir terus,” ucap Rudy, ketika menerima uang dari tanganku.


“Bersyukur aja, Rud. Itu emang rejekimu,” kataku, dan melanjutkan langkah menuju kamar.


Tamping kunci membuka pintu kamar. Sebatang rokok, aku berikan untuk dia. Tamping itu tersenyum seraya mengucapkan terimakasih. Pak Waras langsung mengajakku bersiap untuk solat Isya berjamaah, karena tepat aku masuk kamar, suara adzan telah menggema kencang dari masjid.


“Bukannya biarin dulu om Mario mandi, pak,” kata Anton, menyela pak Waras.


“Baiknya solat dulu, biar bisa jamaahan. Kalau nanti, babe solatnya sendirian. Sayang lo pahalanya. Hitung-hitung buat ngimbangi dosa dan kesalahan kita selama ini yang sudah nggak kehitung lagi banyaknya,” tutur pak Waras.


Karena “sang suhu” telah menitahkan demikian, aku pun segera berwudhu setelah menyerahkan satu kantong plastik berisi makanan bawaanku kepada pak Ramdan. 


Satu kantong lainnya berisi berbagai vitamin, minyak kayu putih, rokok, dan beberapa keperluan pribadi lainnya, aku taruh di atas rak tepat di bidang tempat tidurku.  


Seusai mengikuti solat Isya berjamaah, baru aku membersihkan badan dan berganti pakaian. Semua pakaian kotor, seperti biasa, langsung aku masukkan ke kantong plastik khusus. Dan akan aku serahkan kepada istriku Laksmi saat ia datang berkunjung, untuk dicuci di rumah. 


Pak Ramdan menyiapkan makan malam. Beberapa lauk yang dibelikan istriku dan pemberian Laksa, juga anggota keluargaku yang datang ke pengadilan, langsung digelar di lantai atas tempat kami makan bersama. 


“Alhamdulillah, sejak om Mario disini, kita jadi lebih sering makan dengan lauk yang enak,” ujar kap Yasin.


“Sama-samalah, kap. Yang lain-lain juga kan rutin dapet kiriman makanan. Semua yang ada kita syukuri dan nikmati aja, itu yang penting,” kataku dengan cepat. Tidak ingin menimbulkan kecemburuan sesama penghuni kamar.


“Bener yang dibilang kap itu kok, om. Makanya, kami sering iri ngelihat om. Dikunjungi rutin sama keluarga dan selalu ada bawaan yang bisa kita makan bersama,” kata Anton, yang memang “ditepikan” oleh keluarganya sejak ia masuk penjara. (bersambung)

LIPSUS