Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 433)

INILAMPUNG
Kamis, 09 Maret 2023
Views


Oleh, Dalem Tehang 


PADA saat bersamaan, tamping kebersihan yang merangkap menjajakan sarapan, lewat di depan kamar. Aris langsung membeli lima bungkus nasi kuning. Yang empat bungkus ia berikan kepadaku untuk di makan bersama pak Waras, pak Ramdan, dan Anton, satu bungkus lainnya untuk ia sarapan.


“Terimakasih banyak sarapannya ya, Ris. Aku doain, makin banyak dan berkah rejekimu,” kata pak Waras, seraya melihat ke arah Aris yang hanya tersenyum.


“Aku diajari babe, pak. Hidup ini cuma sekadar nerima dan ngasih. Makanya ada ucapan terimakasih. Kata itu emang cuma sepotong, tapi nurut babe, dalem maknanya,” jawab Aris, dan tertawa ngakak, sambil menepuk pundakku berkali-kali.


“Babe mah emang ada aja omongannya yang aneh-aneh, Ris. Lama-lama dia di dalem, keluar nanti bisa jadi filosof,” sambut pak Waras, juga tertawa ngakak.


“Sudah dulu ngomongnya, ayo kita sarapan. Kamu mau sarapan disini apa balik ke kamar, Ris,” ucapku, memotong pembicaraan Aris dan pak Waras.


“Aku balik ke kamar aja, be. Mau kasih kabar ke adek, kalau aku lagi urus izin keluar sekaligus minta didoain sama keluarga besar,” jawab Aris, dan setelah mengucapkan salam, bergerak meninggalkan jeruji kamarku untuk kembali ke selnya. Di kamar 12.


Kami pun langsung menikmati sarapan. Nasi kuning dilengkapi dengan suwiran telur dadar. Sambil makan, pak Ramdan menceritakan pertanyaan anak perempuannya saat berkunjung beberapa hari lalu, mengenai bagaimana ia sarapan.


“Apa jawab pak Ramdan?” tanya Anton.


“Aku jawab, kalau sarapanku nunggu rejeki yang nggak terduga. Kan emang gitu kenyataannya,” ujar pak Ramdan, seraya tertawa.  


“Terus, gimana respon anaknya?” kembali Anton bertanya.


“Dia langsung meluk terus nangis. Nggak kebayang sama dia, gimana aku bisa sarapan. Urusan sekecil itu aja jadi pikirannya. Itulah bedanya anak perempuan sama anak laki-laki. Kalau yang laki-laki, paling tanya soal kondisi lingkungan dan sebagainya aja,” kata pak Ramdan. 


“Aku inget yang disampein seorang ulama dari Aljazair. Namanya Abdul Hamid bin Badis. Beliau bilang: kalau kamu mendidik anak laki-laki, kamu sedang mendidik satu manusia. Tapi ketika kamu mendidik anak perempuan, kamu mendidik sebuah umat. Jadi mau satu rahim dan satu ayah sekalipun, anak perempuan sama laki-laki pasti beda bawaannya. Dan itu alamiyah, sunnatullah,” kata Pak Waras, memberi pengetahuan.


“Aku ini sebenernya penasaran lo sama pak Waras. Selalu tenang, penuh senyum, dan ngalahan. Ajari gimana caranya sih, pak,” kata Anton, setelah kami berdiam beberapa saat. Meski masih terus menikmati sarapan. 


“Dulu waktu masih kecil, aku dikasih tahu sama ibu. Sederhana ajarannya kok, Anton. Gini kata ibuku: Sembunyiin emosimu dengan diem, kunci diemmu dengan sabar, tunjukin kesabaranmu dengan senyuman. Itu yang diajarin ibuku. Dan sekarang aku sampein ke kamu. Lakuin aja,” sahut pak Waras, sambil melepas senyum polosnya.


“Sederhana emang kata-katanya, pak. Cuma jalaninya nggak gampang,” ujar Anton, menyela. Juga sambil tersenyum.


“Emang nggak ada yang gampang atau ujuk-ujuk bisa, Anton. Semua perlu proses. Aku kasih cerita ya, yang pernah ku baca dari sebuah tulisan, entah dimana aku sudah lupa. Tapi aku masih inget ceritanya, dibagi dalam tiga episode,” kata pak Waras lagi.


“Nah, asyik ini. Sampein pak ceritanya,” tanggap Anton, antusias. Dan buru-buru merapihkan bungkus bekas nasi kuning yang telah dihabiskannya. 


“Cerita pertama, waktu itu hujan deres bener, penduduk desa kumpul di lapangan buat berdoa agar hujan nggak bawa malapetaka bagi mereka. Tapi, yang bawa payung saat itu, cuma satu orang aja. Inilah yang disebut keyakinan,” ujar pak Waras.


“Terus, cerita kedua gimana?” tanya pak Ramdan, yang juga ikut antusias mendengarkan.     


“Yang kedua, kita sebagai orang tua kan pasti pernah ngegendong dan ngelempar-lempar anak kita yang masih bayi ke atas, tapi dia nggak nangis, malah ketawa-ketawa. Karena anak bayi itu tahu kalau kita pasti akan nangkep dia. Nah, ini disebut kepercayaan,” lanjut pak Waras.


“Yang terakhir, pak,” kata Anton, menyela dengan cepat.


“Yang ketiga, tiap malem kan kita tidur, padahal kita nggak tahu, besok pagi kita masih bangun apa nggak. Tapi, tetep aja kita nyetel alarm biar kita kebangun. Inilah yang disebut dengan harapan,” tutur pak Waras, kembali tersenyum dengan sumringah.


“Pesan yang mau pak Waras sampein apa dengan tiga cerita itu?” tanya Anton, penasaran.


“Ya pahami aja episode demi episode dari cerita tadi itu, Anton. Silakan kamu ambil hikmahnya sendiri. Karena masing-masing kita punya hak buat nilai sesuatu dari pandangan dan keyakinan kita sendiri. Walau nasib kita sama, tinggal dalam sel yang sama, bukan berarti pandangan kita juga harus sama,” jelas pak Waras, juga masih dengan tersenyum.


“Ya emang sih, nggak mungkin juga pandangan kita sama, pak. Cuma maksudku, kalau dikriteriain lebih jelas, kan enak mahaminya,” tukas Anton, sambil tersenyum cengengesan.


“Biasain terus asah otak dan pikiranmu itu, Anton. Jangan sia-siain dikasih otak bagus sama Tuhan dengan nggak gunainnya maksimal. Karena nanti di akherat, tetep aja ada pertanggungjawaban atas kepunyaan otak kita ini. Kalau hewan, iya nggak kena penilaian, karena dia emang nggak punya otak,” jawab pak Waras, panjang lebar.


“Maksud pak Waras itu, kalau kita yang manusia ini tapi nggak mau gunain otak buat mikir, sama aja dengan hewan. Gitu lo, Anton,” ucap pak Ramdan, menimpali.


“Pak Ramdan mah kalau ngomong sering nyelekit dan songong. Jangan gitulah. Mentang-mentang dulu pejabat penting, terus nganggep rendah orang lain,” kata Anton, tampak menahan emosi.


“Baiknya pak Ramdan memang mulai nurunin ego dan gengsi-lah. Kita kan sama-sama di penjara, status kita juga sama. Nggak perlu lagi ngerasa lebih dari yang lain. Kurangilah nimpali omongan kawan yang buat dia malah sakit hati,” tuturku, menengahi. (bersambung)

LIPSUS