Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 434)

INILAMPUNG
Jumat, 10 Maret 2023
Views


Oleh, Dalem Tehang


TAPI yang aku bilang benerkan, om. Kalau kita manusia tapi nggak mau gunain otak buat mikir, sama aja dengan hewan,” balas pak Ramdan.


“Yang pak Ramdan sampein emang bener. Tapi, kalau kebenaran disampein bukan pada tempatnya, bukan dalam waktu yang tepat, juga dengan cara yang nggak tepat, malah akan akibatin kerusakan. Minimal buat yang ngerasa jadi sasaran, nggak enak hati,” kataku lagi.


Anton meninggalkan ruang depan. Bergegas mengambil alat mandi dan pakaian ganti. Masuk ke kamar mandi. Aku, pak Waras, dan pak Ramdan masih duduk di ruang depan. Dalam keterdiaman. Perbincangan ringan yang semula diliputi kerianggembiraan mendadak berubah hanya oleh sepotong perkataan. 


Terdengar suara kap Yasin telah bangun dari tidurnya. Pak Ramdan langsung bangkit dari tempat duduknya dan menyiapkan minuman hangat. Kopi manis. Kap Yasin meminta dibuatkan mie goreng untuk sarapannya.


Ketika Anton telah keluar dari kamar mandi, aku bergegas mengambil pakaian dan membersihkan badan. Dengan memakai baju koko, aku langsung bersarung dan berkupluk. Bersiap untuk ke masjid. Mengikuti jamaahan solat Jum’at. 


Saat tamping kunci membuka gembok kamar, aku pun langsung keluar. Masjid di dalam kompleks rutan telah disesaki oleh ratusan jamaah. Semua khusu’ dengan kegiatannya masing-masing. Hingga saatnya solat Jum’at dimulai. 


Khatib yang didatangkan dari luar rutan, menyampaikan ajakan untuk terus meningkatkan takwa kepada Allah dalam situasi dan kondisi apapun. 


“Karena bagi Allah yang terpenting adalah ketakwaan seorang hamba, bukan karena status atau posisinya. Kesucian hati dalam menjalankan kewajiban beribadah itulah yang dilihat oleh Allah,” kata khatib.


Dalam khutbahnya, khatib berusia muda itu menguraikan tentang perbedaan ujian, adzab, dan istidraj. 


“Yang disebut ujian adalah musibah yang datang meskipun kita rajin beribadah. Tujuan Allah memberi ujian untuk melihat keistiqomahan kita dalam beribadah. Sedangkan adzab adalah musibah yang datang ketika kita sering melalaikan dan meninggalkan kewajiban ibadah. Tujuan Allah memberikan adzab adalah sebagai peringatan agar kita selalu menunaikan hak-hak Allah,” urai sang khatib.


Sementara istidraj, lanjut khatib, karena kita jarang beribadah, seperti tidak pernah solat, puasa dan zakat. Namun selama ini diberi rejeki yang cukup, bahkan melimpah, kesehatan yang prima, dan dipermudah dalam semua urusannya. Tujuan Allah memberikan istidraj adalah untuk memberikan adzab yang pedih atas diri kita, baik di dunia maupun kelak di hari pembalasan.


Mengakhiri khutbahnya, sang khatib yang mengaku pernah menjalani pemenjaraan seperti yang tengah kami alami, menyampaikan rangkaian kata untuk dijadikan perenungan bersama, yaitu: lebih baik kita merangkak tapi jalan ke depan, daripada berlari tapi diam di tempat. 


Seusai mengikuti solat Jum’at berjamaah, aku diajak Anton dan kap Yasin mampir ke kantin. Untuk membeli mie instan sebagai stok kapan saja saat penghuni kamar ingin makan. Suasana kantin yang cukup luas, sangat padat. Puluhan warga binaan berkumpul disana. Baik yang sedang menikmati makan siang maupun sekadar kongkow dengan sesama.


Tiba-tiba terdengar suara teriakan kencang dan tidak lama kemudian diikuti pecahnya gelas serta piring. Ternyata, ada yang tengah berkelahi. Banyak tahanan yang langsung keluar kantin, namun tidak sedikit yang tetap saja duduk santai menikmati hidangannya.


Beberapa orang memisahkan dua pria bertato yang terlibat perkelahian. Keduanya dibawa keluar kantin. Ketika sampai di pelataran, mendadak datang empat pria yang langsung menghujani pukulan dan tendangan kepada salah satu pria yang sebelumnya terlibat perkelahian. Terjadilah aksi pengeroyokan.


Kap Yasin yang berdiri bersama Anton, mendadak menarik tanganku, untuk menjauh dan meninggalkan kawasan kantin. Karena hampir bersamaan, datang beberapa orang lainnya, yang langsung melibatkan diri dalam pengeroyokan.


“Kita balik ke kamar aja, om. Nggak perlu kita nonton dan urusin yang ginian. Biar sipir yang tangani. Baru mereka yang sok jago itu, habis dibuat mereka,” kata kap Yasin, dengan terus menarik tanganku.


“Asyik tapi lo, kap. Mana seru juga kelahinya. Itu yang dikeroyok tetep aja berdiri, nggak tumbang jatuh ke tanah,” sahutku, yang sambil berjalan mengikuti kap Yasin namun tetap menengokkan wajah untuk melihat aksi pengeroyokan tersebut.


“Yang dikeroyok itu ipis kelas berat, om. Sudah empat kali lebih masuk penjara, kasusnya sama, pembunuhan. Mereka yang ngeroyok itu nggak tahu beringasnya lawan mereka,” jelas kap Yasin, masih tetap menarik tanganku sambil kami terus berjalan menuju pintu masuk Blok B.


Sesampai di kamar, saat makan siang bersama, kap Yasin bercerita mengenai adanya keributan di kantin. Juga menyampaikan protesnya, karena aku malah ingin menonton kejadian tersebut.


“Iya, om Mario ini aneh. Malahan dia pengen nonton kejadian tadi. Salah-salah, bisa aja jadi sasaran. Belum lagi kalau sipir yang nggak kenal dateng misahin dan langsung main hantem aja orang-orang yang ada di sekitarnya. Kan runyam urusannya,” Anton menimpali.


“Aku emang suka nonton orang berantem, Ton. Apalagi kalau sampai berdarah-darah. Makanya, kalau ada yang kelahi di depanku, nggak bakal aku pisah sampai mereka sendiri nyelesaiinnya,” tanggapku, dengan santai.


“Emang apa yang om dapetin dengan nonton orang berantem?” tanya kap Yasin.


“Yah, seneng aja sih, kap. Kayak dapet hiburan gitulah,” sahutku, sambil tersenyum.


“Ayah ini diem-diem punya bakat pembunuh berdarah dingin kalau gitu,” ujar Teguh, menyela. 


“Barangkali juga, Guh. Cuma baru sebatas bakat, belum diikuti sama minat,” kataku, dan tertawa ngakak.


Melihat aku tertawa ngakak, semua penghuni kamar 30 pun tertawa. Mereka memahami bila perkataanku adalah sebuah percandaan semata. Penghias keasyikan kami menikmati makan siang. Yang tentu saja tetap dengan mengunyah nasi cadong dan lauk sekadarnya. (bersambung)

LIPSUS