Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 436)

INILAMPUNG
Minggu, 12 Maret 2023
Views


Oleh, Dalem Tehang


SEPENINGGAL sipir Almika yang kembali ke tempat tugasnya, aku meminta pak Ramdan membuatkan minuman kopi pahit.


“Kirain mau lanjut tidur lagi, om,” ucap pak Ramdan, dan langsung bergerak ke tempat teko listrik, sarananya memasak air.


“Tadi pengennya gitu, pak. Nggak tahu kenapa kok malahan pengen ngopi,” sahutku, dan duduk ndeprok di lantai tempat tidurku. 


Aku melihat Teguh tengah merebahkan badan, sekitar empat meter dari posisiku, dan terdengar anak muda yang terlilit kasus narkoba itu asyik bersenandung dengan pelan. Sesekali diiringi siulan. 


Anton yang sedang asyik mengisi teka-teki silang sambil bersandar di tembok, beberapa kali menengok ke arah Teguh. Seakan konsentrasinya terganggu. 


“Kamu kenapa, Ton? Keganggu konsentrasi karena Teguh lagi nyanyi ya,” kataku kepada Anton.


“Iya nih, om. Bersenandungnya sih pelan, cuma lagu-lagunya itu yang buatku jadi keganggu,” jawab Anton.


“Emang apa sih lagu yang disenandungin Teguh dari tadi itu, nggak kedengeran syairnya. Cuma kayak dia lagi kumur-kumur aja,” ujarku, sambil tertawa.  


“Lagu-lagu galau gitulah, om. Ngapain pulalah sudah di bui malah nyanyi lagu kayak gitu. Kan nambah nyusahin perasaan aja,” jelas Anton, dan spontan menggerakkan kakinya, mengenai kaki Teguh. 


“Apa sih kamu ini, Ton. Ganggu orang aja,” ujar Teguh, yang langsung duduk dari rebahannya.


“Kamu itu yang dari tadi ngeganggu orang, Teguh. Gumamanmu itu buatku nggak konsen ngisi TTS. Belum lagi itu om Mario, jadi nggak bisa lanjut tidurnya,” urai Anton, dengan wajah serius.


“Siapa yang bergumam? Aku bersenandung. Nyanyi pelan gitu maksudnya. Ya maaf kalau kamu keganggu, tapi nggak ada maksudku ganggu kamu kok, Ton,” jawab Teguh dengan wajah serius juga.


“Lagian, ngapain sih nyanyi lagu-lagu galau gitu. Sama aja kamu nambah nyusahin badan sendiri,” kata Anton, menatap Teguh.


“Nah, ini kamu yang nggak paham, Ton. Makanya jangan sok pinter. Aku kasih tahu ya, nurut ilmu psikologi, waktu kita lagi sedih, nggak bisa ungkapin perasaan ke siapapun, nyanyi atau dengerin lagu-lagu galau itulah obatnya. Karena dengan cara itu, apa yang nggak nyaman di perasaan, pelan-pelan bakal hilang,” tutur Teguh, seraya tersenyum.


“Kamu yang keminter, Teguh. Mana ada pola gitu. Kamu ngarang dan mau-maunya sendiri aja ini mah,” tukas Anton, dengan cepat.


“Kamu ketara nggak suka baca buku ya, Ton. Pantes aja pengetahuanmu terbatas bener. Dengerin lagu-lagu galau di waktu kita lagi sedih, merana, atau sebangsanya itu terapi jiwa yang mujarab. Aku lupa siapa nama psikolog yang bilang gitu, tapi selama ini aku lakuin dan ternyata bener. Jadi, aku nggak ngarang-ngarang, sudah rasain sendiri manfaatnya,” kata Teguh, panjang lebar.


Pak Ramdan mendekat ke tempatku, dan menaruhkan secangkir kopi pahit. Ia menengahi perbedaan pendapat antara Anton dan Teguh. 


“Nggak perlu didebatin yang ginian. Yang mesti kita sadari, apa yang pas buat Teguh, belum tentu cocok sama Anton. Tapi, kita harus satu sikap dalam hal nyampein kebenaran,” ucap pak Ramdan, dengan santai.


“Maksudnya, pak?” tanya Teguh.


“Kalau sesuatu itu nyangkut kebenaran, kita harus berani nyampeinnya. Bukan ngebenerin kenyataan,” sahut pak Ramdan.


“Terus kaitannya sama urusan Teguh yang bergumam jadi obat nelongsonya jiwa itu apa?” tanya Anton.


“Nggak semua hal mesti dikaitin sama persoalan dong, Anton. Kalau ada perbedaan pendapat, ya jangan dianggep masalah. Ambil hikmahnya pasti nambah wawasan dan pengalaman,” tanggap pak Ramdan. 


“Cocok itu, pak. Aku sepakat kalau perbedaan itu bawa rahmat. Kita masing-masing punya cara buat kiati kejenuhan, rasa sedih dan sebagainya. Sepanjang nggak saling ganggu, kan enak-enak aja,” kata Teguh, mengacungkan jempol ke arah pak Ramdan. 


Suara adzan Ashar terdengar dari toa masjid. Kami segera bergerak mengambil kain sarung dan kupluk masing-masing. Pak Waras yang semula tidur, langsung bangun. 


“Kamu itu solat dulu di mesjid, jangan langsung ke kantin aja. Malulah sama Tuhan, nyelempangin sarung di leher tapi nggak solat,” kata Anton kepada Teguh saat kami keluar kamar.


“Terimakasih nasihatnya, Ton. Aku punya cara sendiri buat tetep solat. Slow aja,” kata Teguh, sambil tersenyum cengengesan. 


“Solat kok punya cara sendiri, emang kamu siapa? Kita ini solat ngikuti yang dilakuin Nabi. Kamu cuma tahanan kok ngerasa lebih hebat,” tanggap Anton dengan nada tinggi.


“Yang bilang aku lebih hebat siapa, nggak gitu maksudnyalah, Ton. Maksudku punya cara sendiri itu, setelah kalian selesai jamaahan, aku ke mesjid dan solat. Pak Waras beberapa kali lihat kok aku solat di mesjid,” jelas Teguh, tetap dengan tersenyum. 


Anton menengok ke arah Pak Waras yang berjalan di sebelah kanannya. Pria bertubuh tambun yang dikenal sebagai ustadz kampung itu, menganggukkan kepalanya. 


“Jadi, Ton. Urusan ibadah, jangan bikin rungsing. Cukup kita nyampein dan ngingetin. Lagian kita nggak tahu, kapan orang lakuin kewajibannya sebagai hamba Tuhan. Jangan karena nggak bareng-bareng solatnya, terus nganggep orang lain nggak solat,” kata Teguh, yang spontan merangkul pundak Anton.


“Iya, paham aku sekarang, Teguh. Maaf kalau caraku kurang pas. Maklum, aku kan baru sekarang-sekarang ini rajin solat. Jadinya kesel kalau lihat orang sudah bawa sarung tapi nggak solat. Malahan kongkow-kongkow di kantin,” ucap Anton, dengan nada serius.


“Kamu nggak salah, Ton. Yang kamu lakuin sudah bener. Ngingetin dan nyampein kebaikan. Cuma, jadi agak kurang pas waktu kamu ngenilai orang lain nggak solat karena dia ke kantin dulu. Aku juga paham, maksudmu baik. Aku juga minta maaf kalau agak kenceng ngomong tadi,” sahut Teguh, tetap dengan merangkul pundak Anton.


Petang itu, Teguh mengikuti langkah kami langsung ke masjid dan mengikuti solat berjamaah. Seusai mendengarkan tausiyah ustadz Umar, baru ia melakukan kebiasaannya. Kongkow di kantin. (bersambung)

LIPSUS