Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 437)

INILAMPUNG
Senin, 13 Maret 2023
Views


Oleh, Dalem Tehang      

 

SEKEMBALI ke kamar dan seusai membersihkan badan serta berganti pakaian, aku bersama Anton keluar sel. Berkeliling taman di halaman depan pintu masuk Blok B, sekaligus mengecek tanaman buah-buahan sumbangan dari istriku yang ditanam beberapa waktu lalu.


“Pohon mangga sama jambunya subur bener, om. Cuma kok pohon duriannya agak pelan pertumbuhannya ya,” kata Anton, setelah menemukan pohon buah-buahan kiriman istriku yang ditanam di halaman depan Blok B atas nama kamar 30, selku saat ini.


Aku perhatikan dengan seksama daun-daun yang ada di pohon durian. Tampak ada hama menempel disana. Memakan daun dan berakibat terganggu pertumbuhannya.


“Ada hama dan uletnya ini, Ton. Coba ambil dan buang pakai kayu kecil aja. Daun-daun yang sudah dimakan, juga dipangkas,” kataku beberapa saat kemudian kepada Anton.


Dengan cepat, Anton bergerak mencari kayu dan membuang ulat serta hama yang menempel di daun, juga memotong daun-daun yang telah terkena hama.


Ramainya suara warga binaan yang tengah bermain sepakbola membuat kami tertarik untuk menonton. Seusai Anton membersihkan hama dan ulat di daun pohon durian, kami keluar pintu blok dan duduk di selasar. Menyaksikan para tahanan yang tengah bermain di lapangan. 


“Ayah, kita ke kantin aja yuk, sambil makan siomay,” kata Teguh, yang tiba-tiba berdiri di belakangku dan Anton. 


“Enakan beli dan dibungkus aja, Teguh. Nanti makan di kamar, bisa bareng-bareng,” jawabku.


“Kalau mau makan di kamar, berarti belinya banyak dong, Ayah. Kalau kita bertiga aja kan lebih ngirit,” ucap Teguh, sambil tersenyum cengengesan.


“Hitung-hitung kamu sedekah sesama kawan sih, Guh,” Anton menyeletuk.


“Ya sudah kalau gitu. Kamu aja yang beli ke kantin ya, Anton. Ini uangnya. Masing-masing kebagian dua potong siomay aja, jadi ada 24 potong yang dibeli,” kata Teguh dan menyerahkan sejumlah uang ke tangan Anton.


Karena Anton telah menerima uang dari Teguh, mau tidak mau anak muda itu pun segera berjalan menuju kantin. Tidak begitu lama kemudian, ia kembali. Dengan membawa beberapa bungkusan.


“Sisa uang tadi sekalian aku beliin kopi, Guh. Nggak apa-apa ya,” ucap Anton kepada Teguh.


“Ya udah, Ton. Yang penting kita di kamar nggak kekurangan makan dan minum,” jawab Teguh dengan santai.


Kami kembali menikmati permainan sepakbola. Sorak-sorai pendukung kedua tim terus berkumandang. Tampak Teguh tidak konsentrasi menyaksikan belasan warga binaan yang tengah unjuk kemampuan di lapangan. Tahanan kasus narkoba tersebut beberapa kaki menatapkan pandangannya ke langit.


“Ada apa di langit itu, Teguh?” tanyaku, sambil menatap pria berusia di bawah 30 tahun yang duduk di sebelah kiriku.


“Lagi nikmati senja, ayah” sahutnya, pendek.


“Emang apa nikmatnya waktu senja itu sih?” tanyaku lagi.


“Ayah nggak tahu ya, senja itu nyimpen banyak hal positif buat manusia. Senja emang datengnya sebentar, tapi sangat nenangin jiwa bagi yang bisa menikmatinya,” kata Teguh. 


Mata anak muda berbadan besar yang menjadi tahanan kasus bandar narkoba itu  tetap menatap langit, yang sebagiannya tengah disinari cahaya mentari menjelang waktunya tenggelam.


“Oh gitu. Terus apa lagi nikmat senja buatmu. Aku baru ini ngelihat senja agak serius, jadi nggak paham ada apa disana,” tuturku, terusterang.


“Kalau kata seorang ilmuwan luar negeri bernama Ralph Waldo Emerson, setiap senja selalu janjiin awal yang baru. Ada putaran kehidupan dalam kehadirannya. Dan itu harus jadi nilai positif buat semua anak manusia,” jelas Teguh.


“Selain itu, apa lagi soal senja ini,” kataku, semakin tertarik.


“Ada yang bilang, senja itu ngajari kita kalau hidup nggak selalu bersinar, ayah. Dan emang, kenyataannya senja nggak pernah rapuh berdiri walau dia sendirian. Karena ia selalu nerima langit dengan apa adanya,” urainya lagi.


“Kamu ini rupanya pinter beneran, Guh. Mahami soal pergerakan alam sampai sebegitunya,” kata Anton, menyela.


“Kebetulan aku emang suka alam, Anton. Dan kita sebenernya emang nyatu sama alam. Jadi wajar kalau kita mahami pergerakannya. Dan buatku, senja selalu nyenengin dan nenangin jiwa,” tanggap Teguh, tetap dengan gaya santainya.


“Sebijak ini kamu nilai alam ya, Guh. Sayang kamu kena kasus pidana berat,” ucap Anton dengan pelan.


“Jangan salah nyimpulin, Anton. Orang bijak bukan berarti nggak pernah berbuat salah. Seperti juga orang kaya, bukan berarti dia nggak pernah susah. Pun orang yang sukses, bukan berarti nggak pernah gagal. Kalau kata guruku: whatever makes you smile, keep it in your hand,” kata Teguh lagi.


“Maksudnya apa kalimat Bahasa Inggris itu, Teguh?” tanyaku.


“Maksudnya, apa aja yang buatmu tersenyum, tetep genggamlah. Gitu lo, ayah,” jawab Teguh, seraya tertawa ngakak.


“Nggak nyangka juga kalau ternyata kamu ini orangnya romantis dan optimistis lo, Guh,” ujar Anton.


“Separah apapun kondisi kita, emang harus tetep optimis, Anton. Karena yang ngebuat impian jadi mustahil itu cuma takut akan kegagalan. Dan yang penting, dimana pun kita berada, jadiin jiwa kita di tempat itu juga. Yakinlah, apa yang lagi kita cari, sebenernya ya sedang nyari kita,” tutur Teguh, panjang lebar. 


Pemberitahuan dari pos penjagaan dalam agar semua warga binaan kembali ke sel masing-masing, terdengar dengan kencangnya. Bak anak ayam, ratusan orang yang semula berkeliaran di dalam kawasan rutan, bergegas menuju kandangnya. Pun aku, Anton, dan Teguh. Langsung masuk ke Blok B. 


Sesampai di kamar, suara adzan Maghrib mengalun dengan syahdunya dari masjid. Pak Ramdan menggelar beberapa sajadah untuk kami solat berjamaah, dan seperti biasanya, pak Waras bertindak sebagai imam. Selepas berdoa, aku naik ke bidang tempat tidurku. Membaca Alqur’an hingga suara adzan Isya terdengar. 


Kegiatan rutin pun bergulir. Seusai solat Isya berjamaah, kami makan malam bersama. Siomay pembelian Teguh masuk dalam salah satu lauk makan. 


“Enak juga rupanya makan dengan lauk siomay ya,” kata kap Yasin, sambil tersenyum.


“Dengan sambel kacangnya itu anggep-anggep aja kita lagi makan berlauk sate, kap,” ujar pak Waras, menyela. Dan tertawa.


“Tapi bedalah sambel kacang sate sama siomay. Enakan sambel sate-lah, pak,” celetuk pak Ramdan.


“Aku dulu dipesenin bapak, sebelum ngeluhin tentang rasa makanan, pikirin dulu adanya orang-orang yang nggak punya apapun buat di makan. Biar kita tetep bersyukur dan yang kita makan rasanya tetep enak,” tanggap pak Waras.


Tiba-tiba dua orang sipir bersama seorang tamping, berdiri di depan kamar. Mengabsen. Apel malam. Kami semua langsung berdiri. Dan berhitung mulai dari satu sampai 12. Sesuai jumlah penghuni kamar. Seusai kami melakukan kegiatan rutin tersebut, mereka langsung bergerak ke kamar selanjutnya. Tanpa berkata apapun. (bersambung)

LIPSUS