Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 438)

INILAMPUNG
Selasa, 14 Maret 2023


Oleh, Dalem Tehang  

  

SEBATANG rokok telah habis aku hisap selepas menikmati makan malam. Badan ingin segera beristirahat. Aku pun meninggalkan ruang depan, tempat kami berbincang ringan dengan beragam tema.


“Tumben sudah melipir ke tempat tidur, om,” kata kap Yasin, saat melihatku bergerak.


“Pengen lurusin badan aja, kap,” sahutku, dan terus berjalan menuju bidang tempat tidurku.


Setelah membersihkan dan merapihkan kasur, bantal dan guling, aku pun merebahkan badan. Beberapa menit kemudian ku ambil buku catatan dan pulpen. Mulailah aku dengan keasyikan pribadi. Menuliskan berbagai lelakon hari-hari di dalam bui. 


Hampir satu jam aku menelungkupkan badan karena asyik menulis, hingga terasa sesak di dada. Akhirnya, aku akhiri kegiatan pribadi tersebut dan melanjutkan dengan tidur. 


Suasana kamar yang masih riuh dengan suara obrolan, sama sekali tidak mengganggu kenyenyakanku. Waktu memang bisa membuat seseorang menjadi bersahabat dengan situasi dan kondisi yang tidak normal sekalipun. 


Hingga terdengar suara adzan Subuh mengalun dengan kencangnya dari masjid, baru aku terbangun. Dan saat menengok ke sebelah kiri, ternyata kap Yasin belum tidur. Ia tengah menyandarkan badannya ke tembok sambil membaca sebuah buku.


“Nggak tidur, kap?” tanyaku.


“Jagain om yang nyenyak tidur,” jawabnya, sambil tersenyum.


“Nggak biasanya sih kap begadang gini, makanya kaget tadi pas ngelihat ke kiri, kok kap nggak tidur. Emang baca buku apa sih sampai segitunya,” kataku, seraya merapihkan selimut, bantal dan guling.


“Buku kisah hidup Mike Tyson, om. Tadi pinjem sama kawan di kamar 32. Banyak yang bisa jadi pelajaran buat kita,” ujar kap Yasin.


“Misalnya apa?” tanyaku. Penasaran. 


“Mike Tyson bilang, kalau saja mereka ngajari Islam sebelum aku masuk penjara, mustahil buatku jadi taat. Karena hidupku sangat bebal dan penuh kesenangan. Saat aku di penjara, egoku hilang dan jiwaku mulai bersih. Aku mulai kesepian, tapi Islam membebaskanku dari semua itu dan aku tetep merasa makmur seperti dulu sebelum masuk Islam,” urai kap Yasin, sambil matanya terus menatap buku yang ada di tangannya.


“Kalimat lainnya yang ngena buat kita apalagi, kap?” tanyaku, semakin penasaran. 


“Jadi muslim bukan berarti aku jadi malaikat, tapi akan jadi orang yang lebih baik karena aku ingin menjauhi delusi. Dan kalau aku berbuat dosa, bukan berarti karena Islam tidak sempurna, namun karena aku lemah. Dan Islam menyempurnakanku dari kecacatan,” sambung kap Yasin. 


“Hebat hidayah yang didapet Mike Tyson ya, kap. Wajar kalau kita jadiin contoh,” tanggapku.


Pak Waras memberi isyarat bila solat Subuh berjamaah akan dimulai. Aku segera turun dari lantai atas dan berwudhu. Sesaat kemudian bergabung untuk melaksanakan persujudan kepada Sang Khaliq.


Seusai solat, aku memanggil tamping kunci. Minta pintu kamar dibuka karena aku, pak Waras, dan pak Ramdan ingin berolahraga di lapangan. Beberapa waktu kemudian, kami bertiga telah berjalan kecil di tepian lapangan yang berada di tengah-tengah kompleks rutan. 


Setelah 15 kali memutari lapangan, kami pun beristirahat dengan duduk santai di pinggir selasar. Beberapa warga binaan mulai berdatangan. Juga berolahraga. Menjaga kondisi badan masing-masing. 


“Aku ini sebenernya lagi sedih lo. Anak sama istriku dihina dan disingkirin sama keluarga besar karena kasusku ini. Sampai-sampai, ada hajatan aja, mereka nggak mau ngundang lagi. Nggak nyangka ya, keluarga sendiri aja sampai segitunya remehin dan ngerendahin keluargaku, apalagi orang lain,” kata pak Ramdan, saat kami mulai beristirahat. Mengeringkan keringat.


“Emang gara-gara kita masuk bui, beban psikologis lebih berat dialami anak istri dibanding kita disini. Mereka kan tetep harus bergaul, ketemu kawan dan sebagainya. Pandangan orang langsung ngeremehin gitulah. Tugas kita ngebesarin hati mereka. Nguatin jiwanya. Tetep nenangin pikirannya,” tanggapku.


“Aku paham, om. Cuma, gimana kita mau nenangin mereka, kalau kita sendiri kacau-balau gini perasaan dan pikiran kita,” ujar pak Ramdan.


“Aku dulu pernah dikasih petuah sama mbah, pak. Petuah Jawa. Kata mbah: ojo wedi di ino, ojo seneng di alem. Ora penting dianggep apik, sing penting dadi wong becik tanpo rumongso apik,” pak Waras menimpali.


“Artinya apa itu, pak?” tanyaku.


“Jangan takut dihina, jangan seneng dipuji. Tidak penting dianggep baik, yang penting jadi orang baik tanpa harus merasa baik,” jelas pak Waras.


“Gimana mau dianggep baik kalau kita masuk penjara gini, pak,” ketus pak Ramdan dengan cepat.


“Kita disini karena ada kesalahan atau ngelanggar hukum, emang bener, pak. Tapi kita secara utuh, kan nggak semuanya jelek. Nyatanya, kita masih solat berjamaah, masih tetep bergaul dengan pakai sopan santun. Justru karena kita disini nebus ketidakbaikan itulah makanya sejak disini ya harus banyak-banyak perbaiki diri,” jawab pak Waras, dengan santainya.


“Jadi harus diakui dulu kalau kita emang salah ya, pak. Baru perbaiki diri?” tanya pak Ramdan. 


“Emang harus gitu. Kita harus mau ngakui kalau berbuat salah, makanya disini. kita juga mesti sadar, terkadang dosa atau kesalahan itu kelihatannya nggak bahayain. Kita nggak ngerasa terganggu, bahkan yakin bisa kendaliin, ngerasa sudah terlatih buat ngatasinya. Tapi kenyataannya, kalau dosa atau kesalahan itu mulai melilit hidup kita, sulit buat kita lepasin diri lagi dari jeratnya. Maka, setelah ngakui kesalahan, langsung taubat. Dan terus istiqomah perbaiki diri,” urai pak Waras, panjang lebar.    


“Kita tetep harepin rahmat Tuhan kan buat bisa istiqomah itu, pak. Seberapa banyak sih rahmat Tuhan biar kita bisa terus bertahan di jalan yang lurus?” tanya pak Ramdan lagi.


“Ada hadits Nabi yang nyampein begini: sesungguhnya Allah punya 100 rahmat. Salah satunya diturunin buat kaum jin, manusia, hewan, dan tumbuhan. Dengan rahmat itulah mereka bisa saling berbelas kasih dan menyayangi. Dengan itu pula hewan mengasihi anaknya. Allah mengakhirkan 99 rahmat untuk Dia curahkan pada hamba-hamba-Nya pada hari kiamat nanti. Itu yang disampein dalam hadits riwayat Bukhari,” jelas pak Waras. 


“Yang gampang buat kita bisa istiqomah di jalan kebenaran gimana, pak?” giliran aku yang bertanya.


“Aku inget pesen Mbah KH Hasan Abdullah Sahal, be. Pimpinan pondok Gontor. Beliau pernah bilang begini: carilah, ikuti, temukan, dan kerjakan kebenaran, maka kamu akan temukan orang-orang yang benar. Jadi, kita dulu yang lakuin pencarian kebenaran, pasti nanti akan di lingkari hidup kita sama orang-orang yang bener,” sahut pak Waras, seraya tersenyum penuh ketulusan. (bersambung)

LIPSUS