Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 451)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Senin, 27 Maret 2023


Oleh, Dalem Tehang  

            

ABANG lagi nggak ada yang dikerjain kan?” tanya sipir Fani, sambil menatapku.


“Nggak adalah, Fani. Nganggur total ini,” jawabku, dan tertawa.


“Kalau gitu, kita ngobrol dulu yok. Ke kantin aja,” ajak pria berbadan besar dengan jambang lebat terawat yang mengitari wajah gantengnya.


Setelah memesan kepada Anton dan Teguh untuk membereskan kasur, bantal, guling dan handuk yang masih aku jemur, dan kemudian merapihkan di bidang tempat tidurku, baru aku melangkah beriringan dengan sipir Fani.


Kami duduk di kursi panjang. Berhadapan. Memesan siomay goreng dan juice mangga. Tidak ada obrolan khusus. Sipir Fani yang memang pernah kuliah bersamaku, banyak mengingatkan perlunya aku terus memanfaatkan waktu untuk memperbaiki diri. Membersihkan jiwa dan mencuci pikiran. 


“Yang paling utama, jangan pernah berhenti baca istighfar, bang. Terus senandungin di dalam hati dan masukin ke pikiran. Baru nantinya diikuti dengan bacaan tasbih,” kata Fani, dengan serius.


“Kenapa begitu, Fani?” tanyaku.


“Karena pakaian kotor itu lebih ngebutuhin sabun daripada minyak wangi. Abang pasti pahamlah maksudnya,” ucap sipir berpostur tinggi besar ini.


“Kadang, mulut emang berdzikir tapi hati ini masih lalai. Nggak seirama maksudnya,” kataku lagi.


“Nggak apa-apa, bang. Terusin aja dzikirnya walau hati abang lalai. Setidaknya, lidah abang akan terselamatkan dari bicara kotor dan sia-sia. Intinya, terus aja mantepin buat perbaiki diri. Jiwa raga. Ini kesempatan terbaik, mumpung di dalem gini nggak ada urusan lain yang buat abang gupek nggak karuan,” urai sipir Fani, masih dengan gayanya yang serius.


Sipir yang dikenal low profile itu menambahkan, seorang ulama besar bernama Ibnul Qayyim pernah mengatakan:  Barangsiapa mengenali dirinya, niscaya ia akan sibuk memperbaiki diri dan tidak peduli dengan aib orang lain. Dan barangsiapa mengenali Rabb-nya, ia akan sibuk beribadah kepada-Nya dan tidak peduli dengan hawa nafsunya.


“Buang jauh-jauh rasa benci atau dendem di hati abang. Karena kedua rasa itu cuma rugiin diri sendiri. Kayak sebuah benda busuk yang mencemari pikiran dan hati. Makin lama abang genggem kebencian atau dendem, semakin lama pula akan menderita. Maafin aja siapapun yang nurut abang telah mendzolimi. Dengan permaafan itu, bukan hanya berkah buat orang lain tapi juga berkah buat diri abang sendiri,” tutur Fani, panjang lebar. 


“Terimakasih banyak masukannya, Fani. Besar sekali manfaatnya buatku terus mantepin hati untuk perbaiki diri,” tanggapku, dan tersenyum penuh penghormatan.


“Emang sudah seharusnya kita saling ngingetin, bang. Penjara itu cuma nawarin dua kesempatan. Mau perbaiki diri jadi baik atau perbaiki diri buat nambah pengetahuan untuk kembali berbuat nggak baik. Aku lihat, selama ini abang lagi meniti buih ombak buat nuju perbaiki diri untuk jadi baik, maka aku sampein semua ini. Dan sebagai seorang sahabat, aku seneng lihat perkembangan abang dari minggu ke minggu. Semakin istiqomah, enjoy, dan makin merendahkan hati,” tutur sipir Fani, kali ini ada senyum indah di bibirnya.


“Alhamdulillah, Fani. Aku ketemu kawan di kamar yang mayoritas sudah sadar untuk jadi orang baik. Mau nggak mau, aku kebawa juga untuk rajin ibadah,” kataku, terusterang.


“Alhamdulillah. Tapi abang harus inget, ketika mulai melangkah nuju pintu perbaiki diri untuk jadi baik, pasti banyak orang yang selama ini deket akan menjauh. Itu alamiah aja. Dan memang Allah ngaturnya gitu. Pada akhirnya, kalau abang istiqomah jadi orang baik, ya cuma orang-orang baik aja yang jadi kawan abang. Yang kurang baik, akan nyingkir dengan sendirinya,” sambung sipir Fani.


“Kenapa gitu ya, Fani?” tanyaku.


“Alurnya emang sudah diatur gitu sama Yang Di Atas, bang. Dia Yang Maha Pengatur yang tahu kenapa-kenapanya. Yang aku pahami, orang baik akan berkawan sama yang baik. Dan semua isi alam ini sesuai dengan pembawaan masing-masing,” lanjut Fani.


Suara adzan Ashar terdengar dari masjid. Fani segera mengajakku meninggalkan kantin. Ia langsung ke masjid. Dengan berjalan terburu-buru, aku menuju kamar. Mengambil sarung dan kupluk. Bersama pak Waras, pak Ramdan, kap Yasin, Anton, dan Teguh, aku keluar kamar untuk solat berjamaah.


Seusai mengikuti solat berjamaah, aku langsung keluar masjid. Kembali ke kamar. Tidak mengikuti tausiyah ustadz Umar. Ada gangguan di perutku. Mules bahkan melilit. Setelah meminum obat dan mandi, aku duduk di bidang tempat tidurku. Mengambil buku harian. Menorehkan catatan. Hingga suara adzan Maghrib menggema.


Pak Waras memintaku menjadi imam solat berjamaah di kamar, dilanjutkan dengan kegiatan rutin. Membaca Alqur’an. Dan selepas Isyaan, kami pun makan malam bersama. Selalu penuh canda tawa.


Rasa mules dan melilit di perutku, masih terus mengganggu. Walaupun telah menghabiskan satu gelas teh pahit yang dibuatkan pak Ramdan. Dengan kondisi kurang enak badan itulah, akhirnya aku memilih untuk mempercepat waktu istirahat. 


Tidurku malam ini benar-benar tidak nyenyak. Beberapa kali terbangun. Gangguan di perut membuatku terasa lemah. Semangat di dalam jiwa yang biasanya terus menyala, mendadak terasa redup. Pikiran yang biasanya tenang, berubah dihiasi kegalauan. 


Saat melihat pak Waras bangun dari tidurnya di sepertiga malam untuk solat, aku sama sekali tidak tergerak mengikuti prosesi peribadatan yang mempunyai nilai spesial di mata Tuhan tersebut. 


Aku tetap meringkukkan badan di atas kasur yang tebal dan lebar. Deraan mules dan melilit di perutku, ternyata telah menurunkan kadar keimananku dengan begitu cepatnya.


Aku teringat pesan sipir Fani, untuk tidak meniggalkan istighfar. Dengan perlahan, aku pun membaca kalimat permohonan pengampunan tersebut. Di dalam hati, menyatukan dengan pikiran. Terus aku senandungkan, pelan bahkan tanpa suara. Bersamaan dengan gerakan detak jantung. Dan akhirnya, aku pun kembali tidur. Nyenyak. Bahkan sangat nyenyak, hingga baru terbangun menjelang matahari terbit dari ufuk timur.


“Subhanallah, kok kamu nggak bangunin sih, Ton,” kataku kepada Anton yang baru keluar kamar mandi seusai membersihkan badannya.


“Tiga kali aku tepuk-tepuk kaki om, nggak bangun juga. Kata pak Waras, sudah biarin aja, om lagi enak ditimang-timang malaikat. Ya sudah, nggak aku lanjutin ngebangunin om pas subuh tadi,” balas Anton, sambil cengengesan.


“Nggak gitu juga kali, Ton. Lain kali jangan kamu biarin om tidur dan lepas solat jamaah ya,” ujarku, dan segera turun dari lantai tempat tidur untuk berwudhu. 


Anton menganggukkan kepalanya. Dari  depan pintu kamar mandi, sempat aku melihat pak Waras yang bersandar di jeruji besi tengah menatapku. Pandangannya seakan menyiratkan sebuah keprihatinan. (bersambung)

LIPSUS