Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 481)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Rabu, 26 April 2023


Oleh, Dalem Tehang


SEORANG sipir tiba-tiba berdiri di balik jeruji besi. Memanggilku yang masih berbincang di tempat kami makan malam. Dengan gerak cepat, aku menuju ke tempat sipir berdiri. 


Ia menyerahkan sebuah bungkusan kecil. Ternyata vitamin alias suplemen yang dikirimkan oleh Didit, pelatih tim volly Blok B.


“Terimakasih, pak. Sampein juga buat Didit,” kataku, setelah menerima kiriman vitamin tersebut.


Tanpa berkata apapun, sipir itu langsung meninggalkan tempatnya. Pergi begitu saja. Aku kembali ke tempat kami makan malam. Namun, pak Ramdan tampak mulai mengemasi bekas makan. Piring dan gelas kotor ia susun untuk dibawa ke kamar mandi. yang kemudian ia cuci hingga bersih untuk digunakan lagi esok hari.


Kawan-kawan juga mulai bergerak, menuju ke ruang depan. Memberi kesempatan kepada pak Ramdan untuk menyapu dan mengepel lantai tempat kami makan. Yang nanti akan menjadi bidang kami tidur. 


“Apa bungkusan itu, om?” tanya kap Yasin, melihat aku memegang bungkusan kecil kiriman Didit.


“Kiriman Didit, kap. Vitamin,” jawabku, singkat.


“Kenapa Didit sampai kirim vitamin buat om?” tanya kap Yasin lagi, penuh nada menyelidik.


Ku ceritakan peristiwa petang tadi selepas menjalankan solat Ashar berjamaah di masjid. Bertemu dengan Didit di lapangan volly. Ia bersama Hamid, pelatih tim volly Blok A, mengajakku bermain. Tapi aku menolak dengan alasan sedang kurang fit. Saat itulah Didit menjanjikan akan mengirim suplemen yang ia dapat dari seorang kawannya yang baru pulang dari luar negeri. Dan malam ini, ia penuhi janjinya tersebut.


“Pak Waras tahu kejadiannya kok, kap. Emang kenapa kalau Didit kirim suplemen buatku ya, kap,” tambahku.


“O ya sudah. Nggak apa-apa sih, om. Cuma aneh aja kok tiba-tiba Didit kirimi om suplemen,” ucap kap Yasin, dengan nada cuek.


Ku tatap pak Waras yang duduk santai bersandar tembok di dekat pintu masuk. Sekilas, ia memberi sebuah senyuman. Sebuah ekspresi yang sulit aku menterjemahkannya. Namun, aku mencoba mengurai nada dari perkataan kap Yasin sebelumnya. Penuh selidik dan kecemburuan. 


Setelah menenangkan pikiran, aku menemukan jawaban, bahwa dimana pun kita berada, tetap saja ada persaingan. Baik secara terbuka maupun tertutup. Yang salah satunya, bisa dibaca dari lahirnya perkataan yang bernadakan kecemburuan atas sesuatu yang kita alami atau terima. 


Tiba-tiba pak Waras membuka suara. Ia bercerita, ketika masih bersekolah di sebuah madrasah di kampungnya, salah satu ustadznya memberi pesan kebatinan yang didapatnya dari membaca sebuah catatan orang lain, dan hingga saat ini, ia terus mengingatnya.


“Emang apa pesen ustadz itu, pak?” tanya pak Ramdan, sambil menghidangkan minuman hangat untuk kami yang tengah bersantai di ruang depan, menunggu kantuk datang.


“Kata ustadz itu, dia dapet ilmu bagus setelah baca catatan orang lain di sebuah media. Bunyinya begini: Sering-seringlah ngalah, untuk ngelihat siapa yang menginjak-injakmu. Seringlah diem untuk ngelihat siapa yang nyepelein kamu. Berpura-puralah jadi orang lugu, buat ngelihat siapa yang nggak suka sama kamu. Jadilah baik dan lihat siapa yang akan gunain kesempatan buat manfaatin kamu. Dan, selalu beri kepercayaan untuk ngelihat siapa yang mengkhianatimu,” tutur pak Waras, dengan suara beratnya. 


“Wuih, dalem bener emang pesen kebatinan dari catatan orang yang disampein ustadz pak Waras itu. Aku mau catet dulu di buku harian,” kata Teguh, langsung bergerak dari duduknya untuk  mengambil buku dan pulpen yang ditaruh di lokernya.


“Ngapain ditulis, Guh. Yang penting itu diinget, dipahami, dan dipraktekin buat kebaikan hidup ke depan,” pak Ramdan, menyela.


“Aku ini pelupa, pak. Jadi harus aku tulis kalau ketemu sesuatu yang baru dan berkesan buatku,” jawab Teguh, sambil menuliskan rangkaian kalimat yang telah disampaikan pak Waras.


“Masak masih muda gini sudah mau pikun sih, Guh,” celetuk Anton.


“Terserah mau dibilang apa, aku ya kayak gini. Kalau kata ayahku, aku ini model orang yang susah inget tapi gampang lupa. Sudah susah payah ngingetin sesuatu, eh sebentar aja langsung lupa,” urai Teguh, ada senyum di sudut bibirnya. Senyum keterusterangan. 


Mendengar pengakuan Teguh, kami semua tertawa. Bukan mentertawakan keterbatasannya dalam mengingat, namun lebih kepada keterusterangannya yang mengakui kekurangan pribadinya.


“Nah, kok malah pada ketawa sih aku jujur gini. Emang bener, aku ini model orang yang susah inget tapi gampang lupa. Dan kalau kita semua mau jujur, banyak kok di antara kita yang semodel sama aku,” ujar Teguh lagi.


“Kami bukan ngetawain modelmu itu, Guh. Tapi jujurnya kamu itu lo. Kok iya, di penjara kayak gini masih ada yang ngebuka boroknya sendiri terang-terangan. Apa nggak takut dimanfaatin orang,” kata kap Yasin, menimpali.


“Lah, kan tadi pak Waras nyampein, kap. Jadilah baik dan lihat siapa yang gunain kesempatan buat manfaatin kamu. Jadi, aku ya pengen jadi orang baik, makanya jujur-jujuran aja. Kan nanti kelihatan siapa yang manfaatin kejujuranku buat nyusahin atau manfaatin aku. Kalau itu kejadian, berarti aku nambah ilmu kehidupan,” tanggap Teguh dengan panjang lebar.


“Kamu ini emang licik, Guh. Pengen ngenilai kawan-kawan dengan cara sok bersikap terbuka, berbaik-baik, dan jujur katamu tadi. Hati-hati aja, bisa ke gulung kamu sama ipis-ipis yang berpengalaman manfaatin orang,” kata kap Yasin lagi.


“Jangan pakai istilah licik gitu dong, kap. Kesannya kok negatif amat yang jadi sikapku. Bilang aja kalau aku ini cerdik. Aku yakin kok kap, dengan kebaikan, semua keculasan yang dimainin orang berpengalaman sekalipun, nggak bakal ngerusak kita,” sambung Teguh.


“Pede bener kamu ini, Guh. Aku angkat topi sama kepribadianmu yang kuat itu,” ujar kap Yasin, sambil mengacungkan jempolnya ke arah Teguh.


“Nggak perlu muji, kap. Slow aja. Kita kan sama-sama saling asah, asih, dan asuh. Kalau kata ayahku, satu dahan pohon yang ditumbuhi benalu, lama-lama akan ngebunuh pohon utamanya. Gitu juga manusia. Saat benalu di batang pohon dibuang, sebenernya kita bukan sedang berbuat jahat pada benalu, tapi kita justru nyelametin pohon tersebut,” Teguh melanjutkan.


Kami yang mendengar perkataanTeguh, hanya diam. Masing-masing mencoba menelaah makna yang ada dibalik rangkaian kata-katanya. Dan tentu saja, pemaknaan yang diperoleh, tidak akan pernah sama. Karena setiap kita mempunyai nalar yang berbeda. Di dalam perbedaan itulah sesungguhnya hakekat keberadaan kita selaku manusia, yang dititahkan sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna. (bersambung)

LIPSUS