Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 482)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Kamis, 27 April 2023


Oleh, Dalem Tehang


AMPUN aku sama isi mulutmu ini, Guh. Banyak bener kata-kata bersayap yang keluar dari mulutmu. Orang cerdas kayak gini kok jadi bandar narkoba. Itu yang aku sayangin,” Anton yang sejak tadi hanya menjadi pendengar, akhirnya menyampaikan pendapatnya juga. 


“Aduh, Anton. Alangkah banyak orang pinter, cerdas, bahkan berpangkat yang kejeblos masuk penjara sih. Justru karena kita pinter, sering buat kita keblinger. Ini aku akui. Karena yakin sama kecerdikanku ngemas gerakan buat mulusin peredaran narkoba, akhirnya aku nggak cermat. Selip sedikit aja, dan akhirnya bergabung sama kamu disini,” tanggap Teguh dengan nada santai.


“Jadi, kamu akui kalau kalah cerdik sama aparat ya, maka akhirnya ketangkep?” tanya Anton.


“Iya, hatiku memang ngakui itu, Anton. Tapi, otakku nolak pengakuan kalau aparat lebih cerdik. Nurut otakku, aku lagi sial aja makanya ketangkep. Jadi, kalau mau nerusin main di dunia narkoba, ya mesti lebih pinter lagi,” sahut Teguh, kali ini diiringi tawanya yang lepas.    


Di saat kawan-kawan masih asyik berbincang, aku melipir. Masuk ke ruangan dalam dan naik ke bidang tempat tidur. Setelah merebahkan kasur yang bersandar di tembok, aku mengambil ponsel yang tersimpan pada bagian sudut bawah kasur. Segera aku menghubungi istriku melalui WhatsApp. 


Aku sampaikan perkembangan mengenai rencana komandan menjadikanku tamping pada bagian umum rutan, termasuk pertemuanku dengan kepala bagian umum pak Manto, rencana pegawai penanggungjawab Blok B yang akan menugaskanku sebagai kepala blok seiring harus pindahnya Dino dan Basri ke lapas narkotika, serta mengalirnya motivasi positif dari sahabatku Dian agar aku membuat cerita pendek mengenai sosok warga binaan, yang akan ditayangkan pada media online milik kawan kami bernama Ali. Sebuah media online yang cukup punya nama besar di blantika dunia informasi. 


“Alhamdulillah. Satu demi satu kebaikan terus hadir buat ayah. Perbanyak rasa syukur dan terus merendah ya, ayah. Bunda dukung dan selalu doain. Bunda yakin, ayah bisa lakuin semuanya dengan baik. Bismillah aja,” jawab istriku, Laksmi.


“Terimakasih supportnya, bunda. Inshaallah, semuanya bawa barokah,” kataku melalui chat.


“Besok bunda nemuin ayah kok. Tapi sama cah ragil aja, nduk ada agenda di sekolah yang nggak bisa dia tinggalin. Nanti nduk juga pasti pamit sama ayah,” lanjut istriku.


“Oke, ayah tunggu ya, bunda. Kalau sempet, tolong bunda buatin ikan asin sambel hijau ya. Sama sayur asem pakai ceker ayam,” tanggapku.


“Bisa kok bunda buatin besok pagi-pagi pesenan ayah itu. Tenang aja. Tunggu bunda sama cah ragil dateng ya,” balas istriku lagi.


Seusai berkomunikasi dengan Laksmi, aku menghubungi adikku Laksa, bertanya kabar dan meminta terus didoakan. Juga mengontak Dian. Menyampaikan kesiapanku mewujudkan motivasinya untuk aku meringankan beban pikiran dan batin dengan menulis cerita pendek.


Adikku Laksa memesankan agar aku jangan meninggalkan solat, selain terus membawa dan menjaga diri dengan baik. Ia juga menyatakan dukungannya untuk aku menjadi tamping pada bagian umum, pun mengendalikan kehidupan para tahanan di Blok B. 


“Dorongan kawan kakak untuk buat cerita pendek itu, bagus sekali lo. Lakuin aja, kak. Biar terus terasah bakat nulisnya, sekalian bisa lepasin beban kalau lagi penat,” tulis Laksa. 


Sementara Dian menyatakan kesiapannya membantu maksimal dengan melakukan editing atas cerita pendek yang aku buat, sampai nantinya aku bisa menemukan pola tersendiri dalam kekhasan penulisannya.


“Abang ketik di hp aja, kirim ke saya. Nanti saya koreksi kalau ada yang salah ketik, juga edit kalau ada yang kurang pas. Setelah oke, saya kirim ke bang Ali, untuk ditayangin di media online-nya,” tulis Dian, sambil terus menyemangati.


Waktu terus bergerak sesuai alurnya, dinihari telah menjelang ketika aku berpamitan kepada istriku Laksmi, adikku Laksa, juga Dian untuk beristirahat. Seusai menon-aktifkan telepon seluler dan kembali menyimpannya, aku pun merebahkan badan. 


“Om mau dipijit?” tiba-tiba terdengar suara Anton, membuyarkan lamunanku yang telah akan memasuki alam bawah sadar.


“Boleh juga kalau kamu nggak keberatan, Ton,” sahutku, sambil menatap wajah Anton.


Tanpa banyak bicara, ia naik ke lantai bidang tempatku merebahkan badan. Dan memulai menggerakkan tangannya. Ku ambil rokok yang ada di atas rak, dan menaruhnya di samping Anton yang memulai kegiatannya. Memijat telapak kakiku dengan sentuhan yang tidak terlalu kencang. Tanpa terasa, aku pun tertidur.


Kematian sesaat yang sempat aku rasakan, berakhir ketika pak Waras membangunkan untuk solat Subuh. Dan seperti biasa, hanya pak Waras, pak Ramdan, Anton, dan aku yang berjamaah. Delapan kawan satu kamar lainnya, masih terlelap dalam tidur, dengan mimpinya masing-masing.


Baru saja kami melipat kain sarung, mendadak hujan turun dengan derasnya. Wajah pak Ramdan langsung muram. Kegiatan rutin berolahraga dengan memutari lapangan sepakbola, terpaksa urung dilakukan.


“Nggak usah murung gitu dong, pak. Hujan ini bawa berkah, seperti hujan kemarin pagi,” kata pak Waras, sambil menatap pak Ramdan.


“Yah, hujannya orang kaya, pak. Kita yang miskin nggak bisa olahraga gara-gara hujan pagi ini. Kalau orang kaya, kan punya peralatan fitnes dan sebagainya di rumah, jadi nggak ngaruh mau hujan atau panas terik,” tanggap pak Ramdan dengan nada kesal.


“Santai ajalah. Selalu berpikir positif, biar hidup terasa tenang. Terus bersyukur agar kita nggak mudah mengeluh. Sadari kekurangan dan keterbatasan kita, lebih baik ketimbang berbangga sama kelebihan. Hidup ini cuma sekali, jangan kita menua tanpa arti,” sambung pak Waras, seraya melepas senyum tulusnya.


“Tapi bolehkan sesekali kesel atau ngeluh, pak?” pak Ramdan menyela dengan cepat.


“Ya boleh-boleh aja. Nggak ada yang ngelarang, pak. Cuma jangan keterusan, sampai buat kita lupa bahagia dan bersyukur,” sahut pak Waras dengan suara santai.


“Sudah, pak. Enakan bikin mie rebus aja. Kita sarapan bareng-bareng,” kataku, menimpali.


Pak Ramdan tersenyum. Sesaat. Dan kemudian melebarkan kedua telapak tangannya. Memintaku memberinya mie instan untuk diolah menjadi sarapan. Bergeraklah aku untuk membuka loker. Mengeluarkan tiga bungkus mie. Tanpa berkata apapun, pria yang pernah menjadi pejabat penting di pemerintahan itu, memulai kegiatannya. Memasak mie instan. Dan beberapa saat kemudian, kami pun menikmatinya. Wajah pak Ramdan telah kembali ceria. 


Teringatlah aku akan tulisan Dian, sahabatku: hidup ini layaknya bunga, semua hal yang terjadi, ada masanya. Yang terbit akan tenggelam, yang baru akan usang, yang hidup akan mati. Yang perlu dilakuin cuma jalani setiap episode kehidupan dengan caya yang terbaik. Tentu yang terbaik menurut kita, bukan menurut penilaian orang lain. (bersambung)

LIPSUS