Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 484)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Sabtu, 29 April 2023


Oleh, Dalem Tehang


SEPENINGGAL Yoga, pak Ramdan yang mendengar pembicaraan kami, langsung mencecarku. Dan bukan hanya pak Ramdan yang memasang kuping ketika aku dan tamping pada bagian umum tersebut berbincang. Tetapi juga pak Waras, Anton, dan Teguh.


“Iya, aku kepengen jadi tamping di bagian umum,” ujarku, menjawab pertanyaan yang ada di benak kawan-kawan.


“Aneh-aneh aja lo ayah ini. Ngapainlah jadi tamping. Nggak pantes lagi seumur ayah mau kerjain ini-itu. Sudah bener-bener nyantai di kamar, kapan pengen kongkow tinggal keluar sel, makan juga nggak kekurangan, ini malah nyari-nyari urusan,” tanggap Teguh, dengan panjang lebar. 


“Pengen dapetin banyak pengalaman aja, Guh. Kalau pakai bahasa pak Waras: reguklah cawan kehidupan hingga tiada lagi yang tersisa,” sahutku, sambil tertawa ngakak.


“Lagi-lagi deh, ayah ngomong soal perbanyak pengalaman. Ngapain di penjara nambah-nambah pengalaman, ayah. Ngejalani dengan normal aja sudah susah. Ini kok malah nyari-nyari urusan,” kata Teguh lagi.


“Gini lo, Guh. Yang ada di dalem rutan ini sekarang sekitar 1.200-an orang. Yang jadi tamping cuma dibutuhin sekitar 75-an orang. Berarti kan orang-orang terpilih yang jadi tamping. Kalau buatku, yang penting nambah pengalaman hidup di penjara itu kayak mana. Kalau soal di sel, ya sama aja dengan yang lain, nggak ada pengalaman lebihnya. Dimana pun kita berada, sebaiknya kita punya nilai lebih dalam hal pengalaman,” jelasku.


“Ayah pernah lakuin sesuatu yang aneh dengan alasan nambah pengalaman gini nggak sebelumnya?” tanya Teguh lagi.


“Di dunia ini sebenernya nggak ada yang aneh, Guh. Semuanya wajar-wajar aja. Cuma penilaian kita yang sering berbeda, makanya nganggep sesuatu itu aneh. Dulu waktu kuliah, aku sama tiga kawan pernah dapet tugas dari dosen buat ngerangkum sebuah buku. Aku minta kawan-kawan kerjain duluan. Setelah mereka bertiga selesai, baru aku. Pas pagi-pagi dosen itu ngecek kami yang kerja di ruang belakang rumahnya, dia ketawa ngelihatku belum tidur sendiri dan masih baca hasil rangkuman kawan-kawan,” ucapku panjang lebar.


“Kenapa ayah kerjainnya milih belakangan? Juga kenapa dosen itu ketawa?” Teguh menyela dengan cepat.


“Dengan aku belakangan kerjain ngerangkum buku, hasil kerjaan kawan-kawan sebelumnya bisa ku baca. Tapi, mereka nggak tahu hasil kerjaku, Guh. Dosenku ketawa, karena dia tahu strategiku buat dapetin nilai lebih yaitu pengetahuan dari ngerangkum buku itu,” tuturku, seraya tertawa.


“Itu mah licik namanya, ayah. Bukan aneh,” celetuk Teguh, juga ikut tertawa.


“Jangan biasain pakai kata berkonotasi negatif, Guh. Itu nutup pikiranmu untuk ngasah otak buat nemuin kecerdikan. Yang aku lakuin bukan licik tapi cerdik. Apa itu aneh? Buat orang yang biasa berpikir positif, nggak aneh. Tapi buat orang yang nggak mau terus-menerus ngasah otaknya, ya dianggep aneh,” sambungku, masih dengan tertawa.


“Berarti sebenernya om ini nggak suka sama kami. Kalau jadi tamping, kan mesti pindah ke kamar tamping. Bagus bener cara om geserin badan dari kami dengan cara ini,” kata pak Ramdan, tiba-tiba menyela.


“Nggak gitu, pak. Kalau pun aku jadi tamping, tetep di kamar ini kok. Inshaallah, bisa gitu. Karena emang nggak ada aturan harus nyatu di kamar tamping,” jawabku kepada pak Ramdan.


“Kalau bener nggak ada aturannya, kenapa selama ini tamping di satuin kamarnya?” tanya pak Ramdan.


“Sekadar buat mudahin kontroling dan mobilisasinya aja, pak. Gitu kata komandan. Inshaallah, aku tetep di kamar ini kok. Nggak usah berlebihan nanggepi sesuatu yang belum pasti,” jelasku, dengan nada santai.


“Gimana nurut pak Waras soal rencana ayah mau jadi tamping ini?” tanya Teguh, menatap pak Waras yang sejak tadi hanya diam.


“Yah, kalau nurutku sih, nggak mungkin babe ngelangkah kalau nggak nimbang baik-buruknya dulu. Kalau dia sudah mutusinnya, berarti ada sesuatu yang buatnya nyaman, rileks, atau apalah namanya. Yang semuanya, ya biar dia ngerasa enak-enak aja jalani hidup di penjara,” sahut pak Waras dengan gaya kalemnya.


“Jadi pak Waras dukung ya ayah jadi tamping?” tanya Teguh lagi.


“Sebagai kawan, kita pasti dukung keputusan yang sudah diambil kawan dong, Guh. Walau mungkin kalau sebelumnya dibicarain, belum tentu kita ngedukung, tapi kalau sudah jadi keputusannya, ya wajib kita dukung,” jawab pak Waras.


Perbincangan kami terhenti ketika Yoga kembali berdiri di balik jeruji besi. Ditangannya terdapat satu lembar kertas. Setelah aku menerimanya, ternyata itu surat pernyataan kesiapan menjadi tamping yang juga harus diketahui istri. 


“Terimakasih ya, Yoga. Inshaallah, nanti siang sudah siap berkas ini,” kataku.


“Kalau sudah siap, abang kabari aja. Nanti aku kesini. Atau abang aja main ke bagian umum. Bos bilang kapan aja abang mau ke kantor, tinggal dateng. Bilang ke sipir P-2-O kalau ditunggu pak Manto,” ujar Yoga.


“Siap. Nanti gimana enaknya aja ya, Yoga. Yang penting satu persyaratan sudah oke,” lanjutku.


Sesaat kemudian, Yoga bergerak meninggalkan kamarku. Kawan-kawan yang sebelumnya berbincang, hanya diam. Tampak ada kegalauan tersendiri pada mereka. 


“Kok jadi kelihatan pada galau gini ya, kenapa sih. Kalau gara-gara aku pengen jadi tamping, mestinya kawan-kawan malah seneng. Karena aku bisa bantu-bantu juga nantinya,” ujarku, memecah suasana.

 

“Iya juga sih. Kalau om Mario jadi tamping, apalagi di bagian umum, pas kita mau ngurus-ngurus remisi, bisa ikut bantu-bantu,” kata Anton, membuka percakapan.


“Jadi harus tetep berpikir positif aja ya, Anton. Nggak mungkin ayah mau jadi tamping kalau nggak ada artinya buat kita juga ya,” ujar Teguh, menimpali.


“Nurutku sih gitu, Guh. Benerlah kata pak Waras tadi. Om Mario pasti punya hitungan sendiri sampai kepengen jadi tamping di bagian umum. Kalau dia ngerasa nyaman, kan kita juga ikut seneng,” sambung Anton, seraya tersenyum.


Seorang tamping ruang kunjungan warga binaan datang, bersama tamping kunci. Begitu pintu terbuka, ia menaruhkan dua kantong plastik berisi makanan dan minuman. (bersambung)

LIPSUS