Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 486)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Senin, 01 Mei 2023


Oleh, Dalem Tehang 


WAKTU berlalu dengan cepatnya. Ditandai suara adzan Dhuhur yang menggema dengan kencangnya dari masjid di dalam kompleks rumah tahanan negara tersebut. Saatnya para keluarga yang mengunjungi sanak kadangnya, meninggalkan tempat. Karena jam kunjungan dimulai sejak pukul 09.00 hingga jam 12.15. Pun istriku Laksmi dan anak bungsuku Halilintar, segera berkemas untuk keluar ruang kunjungan. 


“Ayah tetep jaga kesehatan ya. Tadi di plastik yang sudah dibawa ke kamar, bunda kirim lauk pesenan ayah. Ikan asin sambel hijau sama sayur asem pakai ceker ayam. Juga beberapa obat-obatan dan peralatan mandi, termasuk pewangi badan,” ujar Laksmi, saat kami bersalaman untuk berpamitan.


“Alhamdulillah. Terimakasih banyak ya, bunda,” jawabku dan menciumnya penuh dengan rasa cinta. Cukup lama kami berpelukan. Menyatukan senandung yang ada di dalam jiwa. 


Giliran Halilintar yang berpamitan. Cah ragil ini langsung memelukku dengan erat seusai menyalami dan mencium tanganku. Penuh takdzim.


“Ayah jangan sakit-sakit. Tetep enjoy kayak gini ya. Adek percaya kok, ayah nggak bakal terpuruk jalani semua takdir ini,” kata Halilintar, sambil menatap wajahku dengan pandangan serius.


“Inshaallah, le. Sing penting, terus saling doa yo. Kalau pengen diskusi, WhatsApp ayah aja. Kan ayah sudah pegang hp lagi. Walau cuma malem aktifinnya,” sahutku, dan mengelus-elus kepala Halilintar. 


“Kenapa aktifnya cuma malem, toh ayah sudah dapet dispensasi buat pegang hp?” tanya Halilintar. 


“Ngejaga perasaan kawan-kawan dan nyesuaiin sama lingkungan itu perlu, le. Jangan karena dapet dispensasi, terus semaunya. Juga jangan nimbulin kecemburuan dengan sesama. Tetep mesti saling ngejaga dan ngehargai, itu yang ayah jadiin pegangan selama disini,” kataku.


“O iya, besok sore adek mau tanding futsal. Tim adek masuk final open turnamen. Doain ya, ayah,” lanjut Halilintar, sambil kami berjalan meninggalkan ruang besukan warga binaan.


“Pasti ayah doain. Kamu mantepin kata-kata ini di hati yo, le. Saya nggak pernah kalah. Saya menang atau belajar. Itu sugesti pribadi punya Nelson Mandela. Sosok pejuang idealis yang akhirnya jadi Presiden Afrika Selatan,” ujarku lagi.


“Oke, ayah. Adek nggak pernah kalah, adek menang atau belajar. Pasti adek inget dan mantepin di hati,” sahut cah ragil dengan penuh percaya diri, dan memelukku.


Sesampai di pintu gerbang P-2-O, kami berpisah. Untuk kesekian kalinya, aku memeluk istriku Laksmi dan Halilintar. Sesaat kemudian, mereka masuk ke ruang terakhir sebelum pintu gerbang utama rutan. Dan pulang ke rumah.


“Seneng bener lihat abang begitu mesra sama istri dan anak,” tiba-tiba sipir Mirwan menyeletuk, ketika aku akan melewati gerbang area steril.


“Ya mau mesra-mesraan sama siapa lagi kalau nggak sama istri dan anak, Mirwan. Kamu mau makan lauk buatan orang rumah nggak. Kalau mau, ke kamar aja,” balasku.


“Barusan makan ini, bang. Kalau tahu abang dapet kiriman lauk dari rumah, nggak makan duluan tadi aku. Lain kali ya, bang,” ujar Mirwan, dan mempersilakanku memasuki area steril untuk kembali ke kamar.


Selepas melapor di pos penjagaan dalam dan berjalan santai di selasar untuk menuju pintu utama Blok B, terdengar sebuah suara memanggil dari arah belakang. Ketika aku menengok, ternyata sipir Almika sedang berjalan dengan tergopoh-gopoh.


“Kenapa, Mika?” tanyaku, melihat sipir muda usia yang sangat dekat denganku ini, berjalan tergopoh-gopoh.


“Hampir kelupaan, om. Ayah nitip rokok buat om. Tadi Mika taruh di kantong jaket. Pas mau selesai piket ini, baru inget. Untung nggak kebawa pulang lagi,” kata Almika, sambil mengeluarkan bungkusan kecil berisi lima bungkus rokok kesukaanku. Rokok cap Mangga. 


“Alhamdulillah. Terimakasih banyak ya, Mika. Salam om buat ayahnya. Barokah dan makin banyak rejekinya,” ujarku, saat menerima bungkusan kecil berisi rokok tersebut. 


“Siap. Nanti Mika sampein salam om ke ayah. O iya, Mika denger om mau jadi tamping bagian umum ya. Juga kabarnya disuruh gantiin Dino sama Basri kendaliin Blok B. Bagus itu, om. Jarang-jarang ada warga binaan yang belum vonis sudah bisa pegang posisi kayak om ini,” kata sipir Almika lagi. 


“Kamu ini denger aja lo, Mika. Itu masih rencana. Doain semuanya berjalan baik ya. Om juga sebenernya bingung, status masih tahanan tapi sudah dikasih tugas ini-itu,” jawabku, sambil tersenyum.


“Jarum jatuh di rutan ini aja Mika pasti tahu kok, om. Apalagi yang nyangkut om, pasti Mika lebih cermati. Ambil aja kesempatan ini, om. Jangan sia-siain. Nggak banyak yang dapet peluang kayak om ini,” kata Almika dengan serius.


“Om masih nimbang-nimbangnya, Mika. Kebayang risikonya juga nggak kecil kalau jadi kepala blok,” ucapku.


“Om, risiko terbesar itu karena nggak berani ambil risiko apapun. Di rutan ini, satu-satunya strategi cari ketenangan yang pasti gagal, ya karena nggak berani ambil risiko. Om inget nggak, apa yang pernah dibilang tokoh hebat, namanya Winston Churchill. Kata dia: sekalipun kamu akan melalui jalan neraka, teruslah berjalan. Om sendiri bilang, penjara itu neraka dunia dan om sudah ada di dalemnya. Jadi, buang jauh-jauh keraguan om itu. Ambil peluang yang ada, apapun risikonya,” tutur sipir Almika dengan panjang lebar.


Aku terdiam. Sipir muda usia dengan badan gempal yang jarang bicara ini, memiliki kemampuan luar biasa dalam memotivasi. Di dalam hati, aku langsung bersyukur atas takdir Tuhan, yang mempertemukanku dengannya. Semangatku terus terjaga. Bahkan, acapkali menyala-nyala. 


“Maaf kalau omongan Mika agak kenceng, om. Bukan mau ngegurui atau apa. Mika cuma pengen, om terus percaya diri dan penuh semangat. Jiwa dan pikiran om nggak boleh mati. Masih banyak kesempatan buat bangkit lagi, dan Mika akan selalu dampingi om di luar nanti,” sipir Almika menambahkan, karena melihatku hanya diam.


“Om seneng dan semangat denger omonganmu tadi. Makanya om diem. Nelaah dan pahami begitu besarnya perhatianmu selama ini buat om, Mika. Inshaallah, om tetep bisa ekspresiin kemampuan diri disini,” jawabku, dan menepuk-nepuk bahunya.


Sipir Almika tersenyum. Beberapa saat kemudian ia berpamitan karena telah selesai waktunya piket. Dan akan kembali melaksanakan tugas seusai solat Maghrib hingga esok hari jam 07.00. 


Sambil melihat sipir Almika berjalan melewati lapangan, aku teringat apa yang pernah ia ucapkan beberapa waktu lalu: Allah tidak akan pernah menguji hamba-Nya kecuali karena Dia mencintainya, dan Allah tidak akan pernah memberi kesedihan kepada hamba-Nya kecuali untuk membahagiakannya. (bersambung)

LIPSUS