Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 487)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Selasa, 02 Mei 2023


Oleh, Dalem Tehang 


SESAMPAI di kamar, kawan-kawan telah siap untuk makan siang. Duduk melingkar dengan rapih di lantai atas. Aku segera menyerahkan kantong plastik kiriman istri yang berisi lauk makan, kepada pak Ramdan. Berisi ikan asin sambel hijau dan sayur asem dilengkapi ceker ayam.


“Om nggak solat dulu?” tanya Anton, melihatku langsung duduk bergabung untuk makan siang bersama.


“Kalau kata pak Waras, baikan makan inget solat ketimbang solat inget makan, Ton,” jawabku, sambil tertawa.


Semua pun spontan tertawa. Dan akhirnya, kami makan siang dengan lauk kiriman istriku. Ditambah kerupuk dan ayam geprek kiriman keluarga pak Ramdan.


Seusai solat Dhuhur, aku duduk di bidang tempat tidurku. Membaca buku kiriman adikku Laksa. Pak Ramdan datang dengan membawa piring kecil berisi puding dan buah jeruk.


“Wah, jadi empat sehat lima sempurna bener kita makan siang ini, pak. Bawaan siapa ini puding sama buah-buahannya,” kataku kepada pak Ramdan.


“Dari Anton, om. Tadi pacarnya ngebesuk. Ini bawaannya,” jawab pak Ramdan, sambil tersenyum.


“Pacarmu pinter, Ton. Bawain makanan yang emang jarang kita rasain disini. Jadiin kebiasaan aja, kalau dia dateng bawaannya puding sama buah-buahan,” ujarku dengan setengah berteriak, agar Anton yang sedang duduk di ruang depan, mendengar.


“Nah, inilah om Mario. Belum apa-apa sudah kasih pesenan khusus. Nggak enaklah kalau minta dia bawain puding sama buah-buahan terus, om. Biar mau-mau dia aja. Beda kalau sudah jadi istri, bisa pesen makanan kayak om,” jawab Anton, dan tertawa ngakak.


“Bener juga ya, Ton. Bisa-bisa nanti pacarmu mikir, ini si Anton masih di penjara aja banyak bener maunya, gimana kalau sudah bebas nanti,” kataku lagi, juga sambil tertawa ngakak. Dan menutup buku bacaan untuk bergabung dengan kawan-kawan di ruang depan.


Suasana kamar 30 pun langsung penuh dengan suara tertawa. Mentertawakan sesuatu yang bisa melegakan jiwa dan pikiran. 


“Tapi bener yang diomongin ayah tadi, Ton. Kamu minta ke pacarmu, kalau dateng cukup bawain puding sama buah-buahan, nggak usah nasi bungkus dan lainnya. Biar pencernaan kita tetep terjaga, ada keseimbangan suplemen di badan kita,” kata Teguh, menimpali.


“Banyak omong kamu ini, Guh. Aku nggak mau dia nganggep aku manfaatin dengan minta bawaan yang khusus. Dia mau dateng aja, aku bersyukur bener kok. Orang tuaku aja kan nggak pernah mau nengok-nengok,” kata Anton, seraya tersenyum kecut. 


“Iya bener itu, Anton. Nggak usah minta bawaan khusus. Beda kalau dia tanya, mau dibawain apa. Baru kamu pesen makanan yang kamu pengenin. Orang yang mau nengokin kita disini adalah mereka yang bener-bener sehati dan sepikiran sama kita. Yang tahu persis derita kita. Itu yang mesti lebih kita hargai. Dan wajib kita hormati mereka,” kap Yasin membuka suara.


“Siap, kap. Denger itu, Guh. Jangan kamu ngojok-ngojokin buat aku lakuin hal-hal yang nggak bener,” tanggap Anton dengan cepat.


“Aku kan nggak ngajak kamu berbuat nggak bener sih, Anton. Cuma nyambungin saran ayah aja, nggak ada salahnya kamu pesen bawaan khusus kalau pacarmu dateng. Emang pernah aku ngajak kamu lakuin hal-hal nggak bener,” balas Teguh.


“Kemarin, waktu di kantin. Kamu bilang, ambil tahu tiga, masukin ke piring baksomu. Nanti bayar satu aja tahunya. Ingetkan, Guh,” ujar Anton, seraya tersenyum.


Teguh langsung tertawa ngakak. Kembali kami semua tertawa. Ada saja perilaku akal-akalan yang dimainkan dalam setiap kesempatan.


“Tapi kan akhirnya kita nggak jadi lakuinnya, Anton. Masak iya, kita punya duit banyak, cuma karena dua potong tahu aja tega nggak bayar,” kata Teguh, setelah menghentikan tawanya.


“Ya emang nggak jadi kita lakuin, karena aku nggak mau. Coba kalau kamu sendirian, pasti kamu tilep dua tahu itu nggak pakai bayar,” sahut Anton.


“Kalau gitu, pas Teguh ke kantin, harus ditemeni. Jangan biarin dia nambah dosa cuma gara-gara sepotong dua potong tahu yang nggak dibayarnya,” celetuk kap Yasin.


“Gimana hukumnya orang yang ngajak berbuat jelek itu ya, pak Waras?” tanya pak Ramdan kepada pak Waras yang sejak tadi hanya duduk bersandar tembok dengan santainya.


“Sudah pasti ya nggak baiklah, pak. Seingetku ada sebuah hadits yang diriwayatin Muslim, bunyinya begini: Barangsiapa memberi petunjuk kejelekan, ia akan mendapatkan dosa dari perbuatan jelek tersebut, dan juga dosa dari orang yang mengamalkannya setelah itu, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun juga,” ulas pak Waras.


“Nah, Guh. Kalau aja waktu itu Anton ikuti mau kamu, bukan cuma Anton yang dapet dosa, tapi kamu juga. Bener kata kap tadi, kalau kamu ke kantin, harus ditemeni biar nggak nambah dosamu,” kata pak Ramdan, menatap Teguh dan Anton.


Teguh mengangguk-anggukkan kepalanya. Anton langsung memukul bahu anak muda berbadan kekar yang terlilit kasus peredaran narkoba tersebut, sambil tersenyum.


“Terimakasih, Anton. Sadar nggak sadar, kamu sudah nyelametin aku dari tambahan berbuat dosa,” kata Teguh dengan serius, dan menyalami Anton.


“Wih, kok jadi seriusan gini sih, Guh. Santai aja kali. Kayak kita ini masih bayi aja, yang belum punya dosa apa-apa,” sahut Anton melihat cara Teguh menyampaikan terimakasihnya.


“Jangan salah. Kita ini sama-sama sudah nyadari begitu banyaknya dosa selama ini. Dan baru disini kita mau jadi orang baik. Makanya, yang perlu diinget duluan, ya tumpukan dosa kita. Sekarang aku paham, kenapa pak Waras terus-terusan ingetin kita buat bersyukur dan istighfar. Biar kita sadar, kalau Allah selalu kasih nikmat buat kita sedangkan kita terus berbuat dosa,” tutur Teguh, masih dengan nada serius.   


Mendengar perkataan Teguh, kami semua terdiam. Seringkali kami berada dalam situasi penuh keheranan, karena kesadaran memaknai kehidupan yang baik, justru meletup saat menjalani hari-hari di dalam penjara. Di lingkungan yang hanya berisikan orang-orang bermasalah.


“Seneng denger Teguh sudah tahu dirinya sendiri. Itu yang paling penting. Karena biasanya, orang lebih tahu tentang orang lain, nggak ngenali diri sendiri,” ucap kap Yasin, beberapa saat kemudian.


“Masih belajar ilmu tahu diri aja ini mah, kap. Mohon terus dibimbing sama para senior disini. Aku termotivasi sama omongan dosen waktu masih kuliah dulu, yang beberapa hari ini terngiang terus di kuping. Dia bilang: If igronant both of your enemy and yourself, you are certain to be in peril,” kata Teguh, menyahuti perkataan kap Yasin.


“Artinya apa itu, Guh. Nggak mudeng aku,” kataku, menyela dengan cepat.


“Maksud kalimat Bahasa Inggris itu, kira-kira begini, ayah. Kalau kamu nggak tahu musuh dan diri sendiri, maka kamu pasti berada dalam bahaya. Nah, buatku yang penting bedah diri sendiri, tahu persis borok-borok badan ini. Dan aku bertekad nggak mau nambah-nambah dosa lagi. Tolong bimbing dan marahi kalau ada laku dan omonganku yang nggak bener,” jawab Teguh, kali ini suaranya penuh penekanan. (bersambung) 

LIPSUS