Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 488)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Rabu, 03 Mei 2023


Oleh, Dalem Tehang  

 

TAMPING kunci membuka gembok kamar. Saatnya semua warga binaan menikmati kebebasan. Beranjangsana ke sel kawan. Kongkow sambil menikmati makanan dan minuman di kantin. Berolahraga di lapangan. Pun yang mendahulukan Asharan berjamaah di masjid. Atau menikmati suara air kolam yang terus memercik, tanaman kembang menghijau di taman-taman kecil yang terdapat pada setiap blok. 


Layaknya ayam yang berada di kandang, begitu gembok kamar dibuka, semua penghuninya berebutan untuk keluar. Mencari sesuatu yang membuat jiwa dan pikiran senang.


Begitu juga denganku, dan penghuni kamar 30 lainnya. Bergegas dan terburu-buru untuk segera keluar kamar. Padahal, waktu bebas di luar sel, sebenarnya cukup panjang. Dari pukul 15.30 sampai jam 17.00 untuk waktu bebas kedua, setelah sebelumnya pada pukul 11.00 sampai dengan jam 12.45. Begitu berartinya saat bisa menikmati alam bebas bagi para warga binaan, walau harus tetap berada di lingkungan kompleks rumah tahanan negara tersebut.


“Babe, kita langsung ke mesjid ya,” kata pak Waras, saat melihatku membawa kain sarung dan memakai kupluk.


“Boleh juga, pak,” sahutku pendek.


Ketika akan memasuki ruangan menuju pintu utama Blok B, aku melihat Didit tengah berbincang serius dengan dua anak muda yang masih asing di mataku. Duduk di taman dekat kamar 25. 


Karena penasaran, aku pun menghentikan langkah. Melihat ke arah pelatih tim volly Blok B tersebut. Pada saat bersamaan, pria yang terangkut kasus illegal logging itu, juga menengokkan wajahnya.


Menyadari aku melihat ke arahnya, dengan refleks Didit mengangkat tangan. Memanggilku. Aku pun mendekat, setelah berpamitan kepada pak Waras yang meneruskan langkahnya ke masjid. Seusai bersalaman dan mengucapkan terimakasih secara langsung atas kiriman vitaminnya, aku duduk di kursi taman. 


“Mereka berdua ini baru seminggu disini, bang. Kasus pencurian motor,” kata Didit, memperkenalkan kedua anak muda yang tengah berbincang dengannya.


“O gitu. Baik-baik aja disini, jangan sampai sakit,” kataku, sambil menerima uluran tangan perkenalan kedua anak muda berusia sekitar 23 tahunan tersebut.


“Keluarga mereka dulu pernah kerja sama aku, jadi mereka disuruh nemuin aku disini, bang. Nambah kawan dan anak didik jadinya aku disini,” ucap Didit, seraya tersenyum.


“Syukur kalau gitu, Dit. Siapa aja yang mau berkawan, ya kita kawanin. Nggak ada ruginya nambah perkawanan,” kataku.


“Mereka sudah seminggu di AO, bang. Katanya sudah ada yang ngurus, tapi nggak keluar-keluar juga. Abang pahamlah gimana kondisi di ruangan AO. Isinya 25 orang. Ngumplek dan padet. Buat tidur aja nggak bisa lurusin kaki,” urai Didit.


“Sabar aja ya. Apalagi sudah ada yang ngurus, nanti juga keluar dari AO. Jalan-jalani aja yang ada sekarang. Nggak usah ngeluh, karena nggak ada gunanya,” ucapku, sambil melihat wajah kedua anak muda usia yang kelihatan sangat tersiksa batinnya. 


“Bener, bang. Aku tadi juga pesen gitu. Sabar aja dan jangan ngeluh. Dibawa santai aja,” tanggap Didit.


“Kalian sudah berapa kali masuk?” tanyaku, menatap kedua anak muda yang sejak tadi hanya menundukkan wajahnya tersebut.  


“Baru ini, om. Ini juga karena kawan yang ketangkep nyanyi. Akhirnya kami kebawa,” ujar salah satu dari kedua pemuda itu.


“Sudah berapa lama kalian jadi pemetik?” tanyaku lagi. Penasaran. 


“Sekitar tiga tahunanlah, om. Sejak lulus SMA. Karena nggak ada kerjaan, akhirnya jadi pemetik,” aku anak muda tersebut, sambil menyebut namanya Bayu. 


“Kenapa nggak cari kerjaan lain, kok malah jadi pemetik,” kataku lanjut.


“Sudah sempet sih om kesana-sini cari kerjaan. Kebetulan aku lulusan SMK jurusan teknik komputer, masukin lamaran ke banyak tempat, tapi nggak ada yang nanggepin. Akhirnya, ikut kakak ipar jadi pemetik inilah,” jelas Bayu.


“Jadi, yang ngajari kamu itu kakak iparmu?” tanya Didit, dengan cepat.


“Iya, om. Di daerah kami, bisa dibilang kakak ipar itulah jagonya metik motor. Makanya aku cukup tiga kali ikut dia, sudah berani jalan sendiri. Karena emang sudah tahu kerjanya gimana,” sambung Bayu dengan nada santai.


“Sudah berapa banyak motor yang kalian curi?” tanya Didit lagi.


“Nggak kehitunglah, om. Kalau 50-an motor kayaknya lebih. Kadang sehari bisa dapet sampai empat motor. Ya, tergantung kita lagi ada kebutuhan apa nggak aja. Kalau lagi buntu dan ada kebutuhan penting, kami kerja,” ujar Bayu, sambil tersenyum.


“Emang apa sih kebutuhan kalian. Kan masih tinggal dan ditanggung orang tua juga buat kebutuhan makan dan lainnya,” kataku, menimpali.


“Namanya anak muda, om. Kadang kan pengen jalan sama cewek. Pengen nonton. Pengen nongkrong sama kawan-kawan sambil minum. Ya, itu-itu aja sih sebenernya. Kalau buat makan dan lainnya, masih orang tua yang nyukupi,” jawab Bayu.


“Kalau kalian dapet duit hasil jual motor, pernah nggak dikasih ke orang tua?” tanya Didit.


Dengan gerakan cepat, Bayu dan kawannya menggelengkan kepala. 


“Kenapa gitu?” tanya Didit. Penasaran.


“Mereka nggak mau kami kasih duit, karena tahu kalau itu hasil dari maling motor, om,” kata Bayu. Berterusterang. 


“O gitu. Tapi orang tua ngelarang nggak kalian metik selama ini,” ujarku, yang ikut menjadi penasaran.


“Awalnya ya dilaranglah, om. Bahkan dimarah habis-habisan. Tapi, karena mereka nggak bisa cukupi kebutuhan kami buat main di luar rumah, akhirnya mereka diem juga,” kembali Bayu yang menjawab. 


“Pas kalian ketangkep, apa kata orang tua?” tanyaku lagi. 


“Mereka malah ngucap Alhamdulillah, om. Ibu juga bilang, kalau doanya selama ini akhirnya terkabul. Nurut ibu, dengan aku ketangkep, nggak nambahi dosa dia sama bapak karena anaknya ndugal. Juga katanya, biar nanti aku nggak salah jalan lagi,” tutur Bayu dengan lugunya.


Aku dan Didit berpandangan dan kemudian sama-sama tersenyum. Kami memahami, Bayu dan kawannya adalah anak muda yang belum mampu mengerem syahwat bergaulnya, sehingga membawa mereka ke dalam tikungan jalan kriminalitas, dan berujung masuk jurang kehidupan. Terpenjara. (bersambung)

LIPSUS