Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 489)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Kamis, 04 Mei 2023


Oleh, Dalem Tehang  

  

SUARA adzan Ashar terdengar dari masjid. Aku berpamitan kepada Didit dan kedua anak muda yang baru satu pekan menjadi penghuni rutan. 


“Bang, bisa nggak kita bantu biar mereka ini cepet keluar dari AO. Kasihan juga kalau lama-lama disana,” kata Didit, ketika aku menyalaminya untuk berpamitan.


“Lah, kan katanya sudah ada yang ngurus, Dit. Sebaiknya, kita jangan motong di tikungan atau ngambil peran orang. Suruh mereka ini nemuin orang yang ngurus, minta kepastiannya,” sahutku.


“Iya juga ya, bang. Kalau tiba-tiba kita ikut ngurus, bisa tersinggung nanti orang yang sebelumnya sudah dimintai tolong ngurusi mereka. Maaf, bang. Aku nggak mikir sejauh itu,” ujar Didit dengan wajah serius.


“Kamu nggak salah, Dit. Niatmu baik, mau bantu orang. Tapi, karena katanya sudah ada yang ngurus, ya biar mereka mastiin dulu sama yang diminta bantuannya. Kalau orang itu nggak ada kepastian, sepengetahuan dia, baru kita ngurusnya. Jadi semua enak-enak aja,” sambungku panjang lebar.


Didit dan kedua anak muda spesialis pemetik motor itu, mengangguk-anggukkan kepalanya. Pertanda mereka memahami apa yang aku sampaikan. 


Selepas mengikuti solat Ashar berjamaah, aku tetap duduk di masjid. Ingin mendengarkan tausiyah yang disampaikan ustadz Umar. Sudah cukup lama aku tidak menikmati siraman rohani dari mantan dosen tersebut.


Pria bertubuh tambun itu memulai kultumnya dengan mengajak jamaah untuk mengakui kekurangan dan aib dalam doa, serta meminta kepada Allah dengan penuh ketundukan dan ketulusan. 


“Di dalam surah An-Nahl ayat 53, Allah menyampaikan: Dan segala nikmat yang ada padamu datangnya dari Allah. Kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan. Dari makna ayat tersebut, kita harus bener-bener meyakini bila seluruh nikmat apapun yang kita terima, semata-mata berasal dari Allah,” ucap ustadz Umar. 


Ia juga mengajak semua jamaah untuk terus saling menasihati demi memperbaiki perilaku, akhlak, dan ibadah yang kesemuanya menuju kepada kebaikan. Meski kita sendiri masih belum sepenuhnya menjadi manusia yang baik dan istiqomah. 


“Seorang ulama besar bernama Ibnu Rajab al-Hambali pernah berkata: Seandainya yang mengingatkan hanyalah orang yang maksum –yang bersih dari dosa-, tentu tidak ada lagi yang bisa memberi nasihat sepeninggal Nabi Muhammad SAW. Jadi, sebagai sesama muslim, kita wajib saling mengingatkan untuk menuju kepada kebaikan. Jangan berkecil hati karena kita ini tahanan atau napi, justru dengan status yang dianggap rendah oleh sebagian orang di luar sana inilah, kita harus terus semangat untuk memperbaiki diri. Allah itu maha pengampun, juga maha kasih sayang. Mari kita terus meminta ampunan dan kasih sayang-Nya,” tutur ustadz Umar, dengan panjang lebar.


Seperti biasanya, ustadz Umar selalu mengumandangkan perlunya seluruh jamaah untuk terus berjuang menuju keikhlasan. Memang, untuk menjadi ikhlas itu sesuatu yang sangat sulit. Ada fase dimana kita tersiksa, terpaksa, lalu perlahan-lahan menjadi biasa. Prosesnya sangat menyakitkan, karena berurusan dengan yang namanya hati.


“Banyak orang menganalogikan ikhlas itu seperti surah Al-Ikhlas, yang tidak ada kata ikhlas di dalamnya. Selama ikhlas masih terucap, berarti belum ikhlas, karena hanya dia yang ikhlas yang senantiasa berbuat tanpa menyebut keikhlasannya,” lanjut ustadz Umar dengan suara kerasnya.


Ia mengutip perkataan seorang ulama bernama Yusuf bin al-Husain. Yang menyatakan: Sesuatu yang paling berat di dunia ini adalah ikhlas. Dan beberapa kali aku berusaha sungguh-sungguh untuk melenyapkan riya dari hatiku, namun seakan-akan ia tumbuh dalam bentuk yang lain. 


Masih berkaitan dengan usaha mencapai keikhlasan, ustadz Umar mengingatkan semua jamaah untuk mengenal pintu-pintu kejahatan dan penangkalnya.


“Untuk menangkal pintu-pintu kejahatan itu ada kuncinya. Yaitu sikap diam terhadap orang yang bodoh sesungguhnya merupakan suatu kemuliaan, begitu pula diam untuk menjaga kehormatan adalah suatu kebaikan,” ujarnya.


Mengakhiri tausiyahnya petang itu, ustadz Umar menyampaikan sebuah kisah ketika Abdurrahman bin Samurah menghadap Nabi Muhammad SAW. 


“Pada saat itu, Kanjeng Nabi bilang kepada Abdurrahman bin Samurah. Wahai sahabatku, janganlah engkau meminta kekuasaan, karena sesungguhnya jika engkau diberi kekuasaan tanpa memintanya, engkau akan ditolong untuk menjalankannya. Namun jika engkau diberi kekuasaan karena memintanya, engkau akan dibebani dalam menjalankan kekuasaan tersebut. Pesan Kanjeng Nabi ini merupakan hadits soheh. Sebagai bagian dari umatnya, kita wajib melaksanakan arahan Beliau,” kata ustadz Umar, dan menutup tausiyahnya dengan lantunan doa yang diaminkan oleh puluhan warga binaan yang menjadi jamaahnya.  


Sekeluar dari masjid, aku bersama Teguh dan Anton berjalan menyisir tepian lapangan. Suara sorak-sorai warga binaan memberi dukungan untuk tim sepakbola bloknya masing-masing, membahana. Saat itu, tim Blok A dan Blok C yang tengah bermain di lapangan. 


“Ayah, itu ada yang manggil dari pos,” kata Teguh, sambil menepuk bahuku.


Spontan aku menengok. Tampak seorang pria seumuranku dengan memakai celana jeans dipadu kaos berkerah dan bersepatu cats, berdiri di teras pos sambil menggerakkan tangannya. Memanggil-manggil. 


“Emang aku yang dipanggil, Guh. Siapa emangnya ya orang itu?” tanyaku.


“Susah kalau ladeni orang tua ya. Mana matanya sudah lamur pula. Itu pak Hadi, kawan ayah. Ya pasti ayah itulah yang dia maksud dengan manggil pakai tangan,” ucap Teguh, dan tersenyum.


“Masyaallah, pak Hadi ya itu, Guh. Aku nggak ngenali karena jauh jaraknya. Maklumi aja sih, namanya juga sudah lewati masa-masa saat mata masih tajem,” kataku, juga sambil tersenyum.


Aku pun berjalan menuju pos penjagaan dalam. Pak Hadi tampak terus berdiri di teras. Menungguku. (bersambung)

LIPSUS