Cari Berita

Breaking News

Nangka Herman HN

INILAMPUNG
Jumat, 27 Oktober 2023

Endriyono
Esais, Tinggal di Bandarlampung

SAYA berhenti di pinggir jalan, membeli itu. Entahlah, kenapa "jualan itu" menarik sekali untuk dibeli. Padahal biasanya, saya tidak mau berhenti apalagi sampai membeli, jika ada penjual yang berada di pinggir jalan. Selain mengganggu pengguna jalan lain, pasti menimbulkan kemacetan. 

Namun dagangan ini termasuk barang langka. Yaitu, air nira. Maka kebiasaan saya, kalah dengan rasa ingin meneguk kesegaran yang manis sampai ubun-ubun pada cuaca panas terik.

Tepat di sebelah saya berhenti, ada pohon nangka yang sedang berbuah. Pohon itu seketika mengingatkan pada kiprah Walikota Bandarlampung Herman HN. Saya hitung, setidaknya ada puluhan buah yang ukurannya sudah lebih dari genggaman sepuluh jari. 

Melihat ukuranya, saya yakin nangka itu sudah bisa disayur. Sudah menjadi gori, bukan pakel lagi. Tapi untuk matang, jelas butuh beberapa minggu lagi.

Saya memetik satu, tak bisa lebih, karena jalur itu jalan protokol, pasti jika berhenti lama, menimbulkan kemacetan panjang. 

Pohon nangka itu adalah legasi dan wujud sukses Herman HN dalam program penghijauan. 

Kita ketahui, sekira tahun 2011, Herman HN selaku Walikota Bandarlampung menebar lebih seratus ribu bibit buah nangka, ditanam di banyak titik, termasuk di tengah jalur jalan-jalan protokol. Yang saya saksikan subur dan berbuah lebat, di jalan Cik Ditiro. Butuh waktu sekitar 12 tahun untuk menikmati hasil dari proses pembangunan yang dianggap berkelanjutan. 

Langkah menanam pohon itu, 12 tahun lalu mungkin sepele, tapi sekarang betapa secara pribadi, sebagai warga, yang gandrung akan Gudeg Yu Jum di Yogya, yang di sini Yu Jum jadi merk ayam bakar, Herman HN telah berjasa sekaligus berhasil memikat saya untuk secara tulus berterima kasih kepadanya, berkat beliau saya bisa makan gudeg olahan saya sendiri. Dari gori di tengah jalur jalan protokol itu.

Buah nangka ini mengingatkan kita pada sejarah dimana Gubernur Lampung periode orde baru, mendatangkan pohon sukun langsung dari Meksiko. Lalu menyebarnya, menginstruksikan agar ditanam warga. 

Pohon sukun yang di perkampungan sering dianggap jadi hama jika tumbuh di dekat rumah, sekarang mendadak jadi pangan alternatif yang sampai BRIN menyebut, makanan paling sehat pengganti beras.

Teman saya, pernah serius mengumpulkan sukun itu untuk dikupas jadi semacam kentang goreng, dikemas rapi,  dieksport ke Jepang dan Amerika. Entah kenapa, usaha itu macet. Alasan dia, selain butuh pendingin makanan yang ukuran besar, yang tentu mahal, dia tak sanggup menyiapkan modal meski sukun di kampung-kampung kita, nyaris tak ada harganya. Di Pasar Tani saja, tiga buah sukun ukuran sebesar kepala, hanya sepuluh ribu. Jika dibuat tepung dan penganan aneka macam jenis, cukup sebagai kudapan lezat sampai beberapa pekan. Sayangnya memang, daya tahan sukun yang mudah matang, lalu busuk, perlu penanganan ekstra. Tidak bisa buah sukun hanya dibiarkan teronggok di pojok dapur. Harus dikupas dan dikukus, lalu dijadikan adonan, atau dibuat tepung. 

Paling sederhana dan mudah mengawetkannya, diiris tipis-tipis, digoreng jadi keripik.  

Artinya, nangka dan sukun adalah buah istimewa dari daerah kita. Bahwa melihat di jalan di dalam perkotaan saja ada aneka buah yang bisa jadi pangan alternatif, sepertinya "kelaparan ekstrem" merupakan fakta irasional. Akan tetapi, angka kekurangan gizi dan anak tengkes di lingkungan kita masih banyak, nun di jauh sana, di Papua sekarang sudah terjadi bencana kelaparan sampai banyak yang meninggal.  

Dan kalau dihitung jumlah jiwa, lalu mengkalkulasi berapa total hasil panen padi, ditambah masuk musim kemarau, meningkatnya harga beras di pasaran, semua kita butuh kewaspadaan. Kita bayangkan saja, di tengah kota jika lapar dan tak punya uang, tak bisa seperti di desa yang tinggal ke pekarangan belakang rumah mencabut singkong atau ke kali menjala ikan. Celakanya, kondisi alam di perdesaan kita juga sudah tidak seperti itu. Semakin jarang rumah warga ada pekarangan yang tumbuh aneka tanaman pangan atau buah. Sebab, area permukiman semakin padat. Struktur tanah juga menurut profesor pertanian kita, lebih cocok ditanami pohon tahunan dibanding palawija. 

Saya menyisil kedelai rebus yang masih pakai kulit. Sembari berbincang dengan teman yang mandek usaha sukunnya. 

Kedelai itu, dibeli dari waralaba transnasional. Yang entah dari petani lokal atau import. Padahal, dulu Mbah Sidin jual penganan model rebusan yang diambil dari pekarangan belakang rumah. Ada kacang tanah rebus yang diikat bareng batangnya, ada kedelai yang masih dengan kulitnya direbus, talas, dan ganyong. Sekarang jadi semacam penganan langka. 

Seorang teman, ketika datang minta saya datang ke kamar hotelnya sembari dibawakan jagung, kacang, dan mantang rebus. Mencari panganan sederhana itu, jauh lebih sulit dibanding cari burger, roti, atau bahkan kebab, yang bahannya kebanyakan import. 

Sebenarnya, apa yang salah dengan makanan kita? Kalau beberapa tahun lalu, mungkin jawabannya mudah. Pasti salah Jokowi. Sekarang, mungkin salah kita sendiri. 

Masalahnya, kita akan terus cari salah benar atau meniru keberanian Herman HN yang langsung beraksi, berbuat dengan mulai menanam. Lihatlah pohon Nangka itu, mulai berbuah dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar. (*)

LIPSUS