Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 160)

INILAMPUNG
Kamis, 09 Juni 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang 


SIANG itu, aku kembali ke luar kamar, setelah merapihkan bawaan istriku. Kamar-kamar lain di Blok B, sedang dikunci. Aku pun bercengkrama dengan Ino dan pak Sibli yang ada di kamar 19 melalui jeruji besi. 


Aku berada di luar kamar berjeruji, mereka di dalam kamar berjeruji. Seakan saat itu, aku bukan berstatus tahanan seperti mereka. Ada sedikit gairah yang mengangkat mentalku. 


Dan aku pun teringat sepotong kalimat yang ada di tembok pintu masuk Blok B: “Bila hari ini kamu lupa caranya mengeluh, berarti hari ini kamu mulai ingat arti dari kata bersyukur.”   


Iya, aku harus terus bersyukur. Atas perjuangan dan pengorbanan istriku, kini aku bisa menempati kamar terbuka. Yang hanya dikunci dengan gembok pintunya pada saat-saat tertentu saja. Selebihnya, pintu kamar sel dari besi baja ulir itu, hanya ditutupkan tanpa digembok. 


Seusai bercengkrama beberapa saat dengan Ino dan pak Sibli di kamar 19 dari balik jeruji besi, aku menuju kamar 34. Tempat pak Edy. 


Dari balik jeruji besi, aku lihat mantan kapten kamarku saat ditahan di polres itu, tengah meringkuk di atas kasurnya. Berselimut kain sarung.


“Kap lagi sakit, Ayah. Sejak kemarin meriang. Tidur aja bawaannya,” kata OD kamar 34, yang sudah familiar melihatku.


“O gitu. Sudah minum obat apa belum?” tanyaku, dengan nada khawatir.


“Sudah sih. Bahkan sudah dikerikin tadi malem, tapi badannya masih aja panas bener. Cuma kap ngerasa kedinginan,” urai OD itu.


Aku panggil Rudy yang saat itu berdiri di pintu kamarku. Setelah ia berada di depanku, aku minta dia memanggilkan tamping kunci.


“Om mau masuk kamar 34. Sampein aja gitu sama tamping kunci,” ujarku, dengan serius.


Rudy berjalan cepat. Menuju ruangan yang ada di depan pintu masuk blok. Tempat biasa para tamping berleha-leha, sambil menonton siaran televisi.


Tidak berselang lama, tamping kunci berjalan ke arahku. Dan tanpa banyak bicara, langsung membuka gembok yang mengunci pintu kamar 34. 


Aku pegang dahi pak Edy. Sangat panas. Telapak kakinya pun panas. Aku lihat, ada botol air mineral di samping tempat tidurnya, dan beberapa obat-obatan.


“Oh, ada Babe ya. Maaf, Be. Aku lagi kena demam tinggi. Meriang. Nggak karuan rasa badan,” kata pak Edy, yang mendadak terbangun dari tidurnya.


“Sudah minum obat ya, pak?” tanyaku, dan memintanya tetap rebahan.


“Sudah, Be. Macem-macem malah obat yang aku minum. Juga sudah kerikan tadi malem, tapi masih aja ini penyakit. Bandel bener penyakitnya,” ujarnya, sambil mencoba tersenyum. 


“Penyakitnya bandel kayak orangnya ya, pak,” kataku, menyela. Sesaat pak Edy kembali tersenyum.


Melihat pak Edy masih bisa tersenyum, kekhawatiranku pun berkurang. Ada keyakinanku, bila seseorang tengah sakit namun ia masih bisa tersenyum, bahkan bercanda, berarti ia akan segera sembuh.


“Dientengin aja pikirannya, pak Edy. Nggak usah mikirin yang ribet-ribet. Nanti juga pergi sendiri itu penyakit yang ngebandel,” kataku, beberapa saat kemudian.


“Jadi, nurut Babe, sakitku ini karena banyak pikiran. Gitu ya?” tanya dia, dan menatapku dengan tajam.


“Pastinya ya karena ada virus. Cuma kebetulan kondisi fisik pak Edy lagi lemah, akibat kebanyakan pikiran. Jadi, ngendonlah itu virus dan buat badan sakit,” jelasku.


“Tapi emang bener sih, Be. Aku emang lagi banyak pikiran. Sampai suntuk dan sakit kepalaku karena sudah over kapasitas yang muter-muter di pikiranku,” kata pak Edy, tetap dengan menatapku.


“Makanya dikurangi beban pikiran itu, pak Edy. Nggak semua hal mesti kita pikirin dengan serius, dan maksain diri untuk segera dapet solusinya. Santai ajalah. Lagian bisa apa pula kita sekarang ini? Paling juga, cuma bisa ngomong. Nggak bisa berbuat apa-apa,” tanggapku. Terus mencoba menenangkan.


“Tapi, yang sekali ini emang jadi beban berat bener buat pikiranku, Be. Aku digugat cerai sama istriku yang sekarang. Dan ini untuk ketiga kalinya saat lagi di penjara, aku digugat cerai. Apa kata dunia coba, Be,” tutur pak Edy. Kali ini suaranya begitu berat. Memendam sejuta beban pada batinnya.


Mendengar apa yang disampaikan pak Edy, aku tidak bisa bicara apa-apa. Tenggorokanku seakan tercekat. Pengalaman kehidupannya memang sangat dahsyat. Dan pastinya, sangat jauh dari yang ia bayangkan dan inginkan selama ini.


“Nah, sekarang Babe pahamkan, kenapa aku sampai drop kayak gini. Coba bayangin, apa kata keluarga besarku, juga kata kolega-kolegaku, kalau mereka tahu aku tiga kali cerai dan digugat saat di penjara,” pak Edy melanjutkan, beberapa saat kemudian.


“Ya, emang ini musibah yang maha dahsyat sih, pak Edy. Nggak bisa dipungkiri itu. Tapi kan, pak Edy sudah berpengalaman dalam soal beginian. Sebelumnya sudah dua kali digugat cerai. Jadi nurutku sih, dibawa enjoy aja. Terima aja perceraian kali ini. Mungkin ini yang terbaik buat pak Edy, juga buat istri dan anak-anak,” kataku, dengan hati-hati.


“Gimana mau enjoy, Be. Kebayang nggak, apa kata keluarga besarku, juga kolega-kolegaku,” ujarnya, menyela dengan cepat.


“Maaf ini, pak Edy. Baiknya nggak usah ngebayangin apa yang bakal jadi omongan orang deh. Ngapain kita ngira-ngira apa yang bakal diomongin orang tentang kita. Karena nggak ada gunanya. Lagian, sebaik apapun kita, pasti akan berbeda di setiap cerita orang lain,” kataku lagi.


“Tapi nggak segampang itu juga bersikap cuek kayak gitu, Be,” pak Edy kembali menyela.


“Memang nggak segampang kita ngomong, pak Edy. Tapi nggak ada guna juga, mikirin apa yang bakal diomongin orang. Kalau kata orang bijak, hidup ini bukan soal nunggu badai berlalu, tapi belajar nari di tengah hujan lebat yang diselingi petir serta kilat,” sahutku.


Aku pandangi pria seusia denganku yang tengah tergolek lemah di kasur tipisnya. Memang ada rasa prihatin yang mendalam dengan persoalan pribadi yang sedang melilitnya. Yang meruntuhkan ketegarannya. Yang membuatnya seakan tidak berguna dan tersia-sia.  


Namun, mengeluhkan kenyataan sama saja dengan membenturkan kepala ke tembok penjara yang sangat keras. Hanya akan membuat kepala kita berdarah-darah, tanpa sedikit pun mampu mengelupas plesterannya, apalagi meruntuhkan temboknya. 


Gembok pintu kamar dibuka dengan cepat oleh tamping. Bersamaan dengan itu, terdengar suara riuh para tahanan yang keluar dari kamarnya masing-masing. Waktunya menikmati kebebasan di luar ruangan sel, hingga senja datang dan menghilang.


Tidak lama kemudian, terdengar suara adzan. Saatnya solat Ashar. Aku segera berpamitan kepada pak Edy, yang tetap merebahkan badan kurusnya di kasur tipis. 


Sesaat sebelum menyalaminya, kembali aku pesankan, untuk dia lebih bisa mengendalikan perasaan dan pikirannya. Disitulah letak kunci ketenangan. Karena tidak akan pernah kita dapati ketenangan, jika sumber kegaduhan berada di dalam diri kita sendiri. 


“Jadi nurut Babe, aku harus rileks ya. Belajar cuekin aja persoalan ini,” ucap pak Edy, setelah beberapa kali ia menarik nafas dalam-dalam, dan menahanku untuk bergerak dari posisi duduk di sampingnya.


“Ya, emang mesti gitu, pak. Nggak ada pilihan lain, kalau pak Edy pengen sehat lagi. Ini semua sudah takdir rumah tangga pak Edy. Jangan disesali atau dikeluhin. Sepahit apapun, yang sudah terjadi ya sudah. Berdamailah dengan kenyataan. Itu lebih buat hati dan pikiran jadi tenang,” sahutku dengan panjang lebar.


Dan kemudian, aku keluar kamar pak Edy. Berjalan dengan cepat menuju masjid. Untuk bisa ikut berjamaah solat Ashar. (bersambung)    

LIPSUS