Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 162)

INILAMPUNG
Sabtu, 11 Juni 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang


SAYA sudah hampir enam bulan disini, tapi sidang belum juga selesai-selesai, pak. Jadi nanti, pak Mario yang sabar kalau sudah memasuki masa persidangan. Karena prosesnya ada dua. Bisa cepat dan bisa lambat,” tutur pak Hadi, dengan suara datar.


“Kenapa bisa begitu ya, pak. Padahal kan semua pasti sudah terjadwal, termasuk harus selesai dalam waktu berapa lama da berapa kali persidangannya,” sahutku.


“Pastinya memang ada deadline waktu sebuah perkara di pengadilan harus selesai, pak. Persoalannya, semua bisa diatur. Dan pengaturan itu melalui permainan uang. Makanya, ada yang cepet selesai sidangnya, dan ada yang diputus pada detik-detik akhir waktu yang sudah ditentukan,” urai pak Hadi.


“Saya dengar cerita kawan-kawan disini, juga begitu sih, pak. Tapi saya belum mendalaminya,” kataku, menimpali.


“Lebih baik pak Mario tidak usah mendalami lika-liku permainan yang ada ya. Ikuti saja seluruh proses sesuai alurnya,” ujar pak Hadi. 


“Kenapa begitu, pak?” tanyaku.


“Kalau menurut saya, bila kita mengikuti lika-liku permainan hukum di masa persidangan, sementara kita sudah di bui semacam ini, berarti kita menyiksa diri sendiri dan melawan takdir, pak,” jelas pak Hadi.


“Oh begitu, pak,” kataku, spontan.


“Menurut saya, begitu. Jadi sebaiknya, ikuti saja arah anginnya, atur kendali dengan doa. Inshaallah, nantinya kita akan berlabuh di dermaga terbaik,” lanjut pak Hadi.


“Tapi kan, mengikuti alur permainan itu juga bagian dari ikhtiar, pak Hadi,” kataku, kembali menyela. 


“Tidak salah apa yang pak Mario sampaikan. Tapi ingat, ikhtiar itu harus dilakukan dengan cara dan di jalan yang benar. Jangan lupa, apapun ceritanya, kita ada di sini karena kita pernah berbuat salah. Kita melakukan kejahatan. Terima kenyataan itu. Tidak perlu kita membohongi diri sendiri,” kata pak Hadi lagi.


“Kita kan tetap diberi kesempatan membela diri, pak. Pengakuan kita berbuat kesalahan, tidak otomatis menyandera jiwa dan pikiran kita,” tanggapku.


“Iya benar. Di persidangan juga diberi kesempatan untuk kita membela diri. Penyampaian pledoi. Tapi, kita sebaiknya sadar diri. Kita ini makhluk, dan Sang Khaliq, Allah kita, sudah menyatakan, jika kamu berbuat baik berarti kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri. Coba pak Mario buka Alqur’an, surat Al-Isra ayat 7. Sudah tegas Allah menyatakan begitu. Jadi, tidak perlu kita beringkar dengan cara ini atau itu, apalagi sampai bermain uang agar divonis ringan,” urai pak Hadi, panjang lebar. 


“Jadi maksudnya, kalau kita ikuti permainan di masa persidangan, berarti kita melawan takdir dan apa yang sudah ditegaskan Allah, begitu ya, pak” ucapku kemudian.


Pak Hadi tersenyum diikuti anggukan kepalanya. Matanya menatap jauh. Seakan ingin menembus tembok tebal dan kokoh yang mengelilingi rutan.


“Menurut pak Hadi, dalam penerimaan atas takdir ini, apa yang sebaiknya saya lakukan,” kataku, setelah kami berdiam diri beberapa saat.


“Harus berani melakukan perubahan, pak. Jangan pernah takut akan perubahan, tapi takutlah akan keraguan untuk berubah,” sahutnya dengan datar.


“Maksudnya, pak?” tanyaku, seraya mengernyitkan dahi. 


“Ya, merubah diri secara total, pak. Perubahan pada jiwa atau hati dan pikiran kita. Terima kenyataan ini dengan legowo. Sesakit apapun yang kita alami sekarang, harus diterima dengan ikhlas. Jalani dengan sabar dan tawadhu,” sahut pak Hadi.


Aku hanya terdiam. Begitu berat perubahan yang harus dilakukan. Namun, kenyataan memang memaksa. Kenyataan tidak pernah memberi pilihan. Kenyataan pada hakekatnya mengubur dalam-dalam sejuta impian dan perandaian.


“Saya sampaikan perkataan seorang filosof ya, pak Mario. Beliau bilang begini: lari dari apa yang menyakitimu akan semakin menyakitimu, karenanya jangan lari, terlukalah sampai kamu sembuh,” lanjut pak Hadi. Sambil ia menebar senyum hangatnya.


Kembali aku terdiam mendengar uraian perkataan pak Hadi yang mengandung nilai filosofis sangat dalam. Hatiku terus bersenandung menyampaikan irama syukur kepada Sang Maha Pengatur.


Dalam kenyataan hidup penuh keterpurukan semacam ini, tetap dipertemukan dengan orang-orang yang memiliki kemampuan lebih untuk terus menyemangatiku. 


“Kuncinya tetap harus sabar dan syukur berarti ya, pak Hadi,” ucapku, kemudian.


“Itu kunci depan untuk membuka pintu kamar sel keikhlasan, pak Mario. Dan menurut seorang ulama besar, sabar dan syukur itu seperti sayap. Sayap sebelah kanan adalah syukur, sayap sebelah kiri itu sabar. Bila patah salah satunya, jatuhlah kita,” jelasnya, tetap dengan tersenyum.    


Seorang tamping yang menjajakan sarapan, mendekat. Pak Hadi mengajakku makan pagi. Sambil terus berbincang ringan, kami menikmati nasi uduk berlauk serpihan telor dadar dan tempe goreng.


Tiba-tiba seorang tahanan berusia 60 tahunan mendekat. Ia meminta dibelikan sarapan, karena sejak kemarin belum makan sama sekali. 


Pak Hadi memanggil tamping penjaja makanan dan dimintanya memberi dua bungkus nasi uduk kepada pria tersebut.


“Terimakasih banyak, pak Hadi. Saya doain, pak Hadi sehat terus,” ujar pria yang semua rambut di kepalanya telah memutih tersebut, dan setelah menyalami pak Hadi, melangkah pergi. Kembali ke selnya.


“Banyak disini saudara-saudara kita yang kesulitan walau untuk sekadar makan, pak Mario. Kalau pak Mario sedang ada rejeki, berbagilah dengan saudara-saudara kita disini. Seperti kata Allah, kalau kita berbuat baik, kebaikan itu sebenarnya untuk kita sendiri,” tutur pak Hadi, dengan gaya tenangnya.


“Inshaallah, pak. Terimakasih sudah banyak memberi pelajaran kehidupan untuk saya pagi ini,” sahutku dengan wajah bahagia.


“Saya ini hanya menyampaikan apa yang memang sudah ditata oleh Allah dan Rasul-Nya saja, pak. Seperti tadi, waktu bapak-bapak minta dibelikan sarapan, saya hanya menjalankan hadits Nabi saja. Beliau pernah bersabda: seorang yang beriman tidak akan kekenyangan sedang tetangganya dalam keadaan lapar. Dan itu tadi semua bukan kebetulan lo, pak,” urai pak Hadi.


“Maksudnya bagaimana, pak?” tanyaku, sambil kami terus menikmati sarapan.


“Alangkah sering saya sarapan sambil duduk disini, bapak tadi tidak pernah mendatangi saya, apalagi menyampaikan kalau dia belum makan sejak kemarin. Bapak itu datang tadi, karena digerakkan Allah. Dan Allah sedang menguji keimanan kita. Mau kenyang sendiri, apa mau berbagi, begitu kira-kira Allah bicara. Nah, karena kita berbagi dengan saudara disini, inshaallah Allah akan menambah rejeki  kita ke depannya,” ungkap pak Hadi lagi.


Aku mengangguk-anggukkan kepala. Begitu dalamnya pak Hadi menyelami kehidupan ini. Yang selalu mengemasnya dengan sifat kenisbian selaku makhluk, sekaligus mengagungkan Sang Maha Pasti. (bersambung)

LIPSUS