Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 163)

INILAMPUNG
Minggu, 12 Juni 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang


ALHAMDULILLAH. Jujur, saya banyak mendapat pengetahuan dari pertemuan ini. Pak Hadi memiliki ilmu dan pemahaman akan kehidupan yang mumpuni,” kataku, apa adanya.


“Sama-sama, pak. Saya juga senang mengenal pak Mario. Kita sama-sama tahu, kalau masing-masing kita pasti punya kelebihan dan kekurangan. Kalau kata orang, kita ini kelihatan pintar, karena ada yang bodoh. Kelihatan kaya karena ada yang miskin, kelihatan sehat karena ada yang sakit. Kelihatan alim karena ada yang bejat. Jadi sebenarnya, tidak ada alasan untuk sombong atau merasa paling hebat, karena ada mereka itulah maka kita kelihatan lebih baik,” kata pak Hadi, panjang lebar.


Ditengah kami terus berbincang ringan namun penuh dengan kedalaman pengetahuan untuk menguatkan keimanan, suara mengaji terdengar dari masjid. Ternyata ini hari Jum’at. Aku pun segera berpamitan dengan pak Hadi setelah menyampaikan banyak-banyak terimakasih. 


Sesampai di kamar, aku langsung mandi. Memakai baju koko dan bersarung. Siap-siap untuk ke masjid. Sambil menyelempangkan sajadah di badan, aku berdiri di depan pintu kamar.  


“Buru-buru amat ke masjidnya, om. Nanti dululah. Ngobrol-ngobrol dulu,” Ino menyapaku dari balik jeruji di kamarnya. Kamar 19. Tepat di samping kamarku.


Saat itu, seluruh pintu sel di Blok B memang belum dibuka. Bila hari Jum’at, pintu kamar akan dibuka pada pukul 11.00 WIB. Kecuali, tentu saja, kamarku. Kamar 20. Kamar for man. Kamar kepala blok tahanan.


Mendengar sapaan Ino, aku pun mendekat ke jeruji besi tempatnya berdiri. Aku sodorkan sebungkus rokok, dan ia mengambil satu batang. Sesaat kemudian, ia telah menghisap rokok dengan asyiknya.


Pada saat bersamaan, Pak Sibli mendekat. Setelah kami bersalaman, ia menyatakan keinginannya untuk segera ke masjid bersamaku.


“Aku sudah mandi sunah jum’ah ini, bang. Tinggal pakai kopiah aja. Siap kalau abang ngajak ke masjid sekarang. Kalau Ino, mandi juga belum,” kata pak Sibli, sambil melihat ke arah Ino yang berdiri di sampingnya. Masih asyik menyedot rokok ditangannya. 


Ku panggil tamping kunci. Memintanya mengeluarkan pak Sibli dari kamar 19. Tidak lama kemudian, aku dan pak Sibli pun berjalan untuk menuju masjid. Namun, saat kami baru melangkahkan kaki memasuki ruang depan blok, terdengar panggilan buatku dari kamar 8.


Aku pun berbelok. Menuju bekas kamarku itu. Ternyata pak Waras yang memanggilku. Ia sudah bersiap untuk ke masjid juga. Pun tampak pak Anas dan Asnawi sudah rapih.               


Kembali aku memanggil tamping kunci. Meminta untuk mengeluarkan pak Waras, pak Anas, dan Asnawi dari kamar 8.


“Terimakasih ya,” ujarku pada tamping kunci, sambil memberinya satu batang rokok.


“Sama-sama, om. Siap perintah kapan aja,” sahutnya, dan menerima pemberianku dengan senyum sumringah.


Kami berjalan bersama menuju masjid. Puluhan penghuni rutan yang menjadi anggota majelis taklim, tampak sudah i’tikaf terlebih dahulu. Mereka begitu khusu’ dengan peribadatannya masing-masing.


Ketika waktu solat jum’at tiba, masjid yang di sisi kanan-kirinya ditambah dengan teras lebar itu, penuh sesak. Lebih dari 400 penghuni rutan, beserta pegawai dan sipir, yang menjalankan ibadah tersebut.


Khatib jum’at yang merupakan warga binaan, menyampaikan khotbahnya penuh dengan optimisme. Juga terus menempatkan kerendahan hati sebagai pijakan kehidupan selaku makhluk. 


“Seperti apapun keadaan kita saat ini, tetaplah rendah hati di hadapan siapapun. Terlebih di depan orang, yang menurut kita, saat ini masih jauh sekali dari aturan Allah. Jangan kita merasa lebih baik darinya, agar kita tidak berlaku sombong dengan memberi penilaian yang belum baik dengan kata-kata yang buruk dan semacamnya,” kata khatib.


Ia menambahkan, jadilah baik tanpa meremehkan orang lain, karena bisa jadi orang yang diremehkan lebih baik hatinya, lebih baik amalnya, dan lebih ikhlas dalam setiap niatnya.


“Banyak yang menjadi kekasih Allah dengan dosanya, karena mereka merasa hina dan senantiasa merintih akan dosa-dosanya. Namun, banyak yang menjadi musuh Allah dengan amalnya, karena mereka merasa mulia dan sombong dengan amalnya,” lanjut khatib.   


Mengakhiri khotbahnya, khatib mengatakan, Allah tidak pernah salah dalam menciptakan takdir. Allah juga tidak pernah keliru dalam memilih pundak siapa yang akan diberikan ujian. Allah paham betul kapasitas kemampuan hamba-Nya. Karena itu, perbanyaklah sabar dan doa, agar segala permasalahan yang diemban saat ini dipermudah urusannya.


“Allah saja percaya kita mampu melewatinya, lantas mengapa kita menyerah hanya karena ucapan manusia,” imbuh sang khatib dengan suara lantang bergelora.


Seusai jum’atan, sambil berjalan untuk kembali ke kamar, aku mampir ke kantin. Ratusan orang memenuhi kantin. Berebutan memesan makanan sesuai selera masing-masing.


Sempat terpikir untuk membatalkan langkah masuk ke dalam kantin. Melihat begitu riuhnya suasana di tempat itu. Namun, aku harus makan siang, dan itu hanya bisa diatasi jika membeli di kantin.


Karena di kamarku saat ini, kamar 20, masing-masing penghuni mengurus urusan dan kebutuhannya sendiri. Tidak ada kebersamaan sama sekali. Hanya kebetulan saja, kami menempati kamar yang sama. Bagaikan tidur satu ranjang namun berbeda mimpi. 


Saat aku tengah meminta dibungkuskan nasi dengan lauk telor sambel serta dua bungkus kerupuk, ada yang menepuk pundakku.


“Oh, kamu Gerry. Ngagetin aja,” kataku, begitu menengok ke belakang dan mengetahui siapa yang baru saja menepuk pundakku.


“Gerry tadi ke kamar, abang sudah ke masjid. Ada titipan dari bang Peeng buat abang,” sahut Gerry, seraya meng-kimel-kan sejumlah uang ke tanganku.   


“Oh ya, Alhamdulillah. Banyak bener ini, Gerry. Kamu sudah dikasih belum sama bang Peeng,” ucapku, setelah dengan cepat menghitung uang yang diberikan.


“Sudah, bang. Tenang aja. Gerry sudah dikasih juga sama bang Peeng. Sipir yang nganterin, juga sudah kebagian. Ini full buat abang,” jelasnya, seraya tersenyum lepas.


“Alhamdulillah. Terimakasih banyak ya, Gerry. Tolong sampein terimakasih abang sama bang Peeng ya,” kataku lagi.


“Nanti Gerry telepon beliau, bang. Dan sampein pesen abang. Sekarang, Gerry yang bayarin apa yang abang beli. Sekalian sama rokok aja, bang,” tutur Gerry, dan menyerahkan dua bungkus rokok untukku serta membayar semua yang aku beli. (bersambung)

LIPSUS