Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 165)

INILAMPUNG
Selasa, 14 Juni 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang


KALAU Babe pengennya bisa lebih bebas keluar kamar, sudah bener masuk kamar 20 itu. Tapi kalau ngarepin ada kebersamaan kayak kita waktu di polres, nggak bakal itu. Dua orang penghuni lama dengan berbagai cara bakal buat Babe nggak betah,” pak Edy menjelaskan.


“Kok pak Edy tahu sampai sebegitunya?” tanyaku lagi.


“Lha, aku kan pernah juga tinggal di kamar 20 itu, Be. Sudah bayar mahal-mahal, cuma kuat sebulan aku disana,” kata dia. Seulas senyum kecut sempat tampak di bibirnya yang hitam.


“O gitu. Jadi, pak Edy pernah juga masuk kamar itu ya. Terus kenapa nggak kuat lama-lama disana,” kataku dengan penasaran.


“Ya, kayak Babe gini. Baru beberapa hari masuk penaling, ditawari kamar terbuka. Kamar 20 itulah kalau di blok ini. Aku bayar mahal bener waktu itu, Be. Pikirku waktu itu, nggak apa-apa bayar mahal, yang penting nyaman dan bebas,” urai pak Edy.


“Terus gimana, pak Edy?” tanyaku lagi, tetap dengan penasaran.


“Kan aku sudah bayar mahal buat masuk kamar, jadi ya nggak ada lagi dong kewajiban bayar uang kamar dan kebutuhannya. Eh, mereka berdua yang megang blok ini, kesel berat. Akhirnya, ngebuat aku biar nggak betah. Dicuekin. Kalau aku di kamar, mereka keluar. Kalau aku keluar kamar, dipantau lagi ngapain aja. Ya, pokoknya dengan banyak cara, biar aku nggak kuat lama-lama tinggal disana. Dan bener, setelah sebulan, aku milih pindah kamar. Daripada makan hati,” pak Edy menjelaskan panjang lebar.


“Kenapa mereka berdua selalu berbuat gitu ya, pak Edy?” tanyaku, beberapa saat kemudian.


“Intinya, mereka nggak mau ada saingan, Be. Mereka khawatir, yang masuk kamar itu bakal ngambil rejeki mereka,” ucap pak Edy.


“Maksudnya, ngambil rejeki mereka itu kayak mana?” tanyaku lanjut.


“Kan mereka ngelola uang, Be. Perminggu setiap kamar wajib bayar uang kunci Rp 150.000, ditambah uang air Rp 50.000. Babe hitung aja, di blok ini ada 35 kamar. Katakanlah, yang bayar rutin 30 kamar, berapa pendapatan mereka perminggunya. Berapa perbulannya. Besar kan, yang mereka dapet selama ini,” urai pak Edy.


“O gitu. Terus uang itu mutlak punya mereka atau gimana?” kataku lagi, masih tetap dengan penasaran.


“Nggak sepenuhnya buat mereka berdua emang, Be. Dibagi sama pejabat penanggungjawab blok. Juga buat traktir para sipir, kalau pas mereka perlu ini itu. Tapi setidaknya 30% dari pendapatan itu, masuk kantong mereka. Sudah keenakan gitu, nggak ada sama sekali timbal-balik buat tahanan. Malahan, mereka masih rutin minta jatah rokok ke kamar-kamar,” jelas pak Edy.


Mendengar penuturan pak Edy, aku hanya terdiam. Sesekali menganggukkan kepala. Ternyata, pada sisi dunia manapun, tetaplah yang lemah menjadi mangsa yang kuat. 


“Menurut pak Edy, aku harus kayak mana ngadepin kondisi kamar yang kayak gitu?” tanyaku, sambil menatap wajahnya.


“Kalau Babe pengenin bulan, jangan sembunyi dari malam. Kalau pengen mawar, jangan lari dari duri. Itu aja sih yang bisa aku sampein,” sahut pak Edy. Dan kemudian, ia tersenyum penuh arti.


Suara adzan Ashar menggema kencang dari masjid. Aku pun berpamitan kepada pak Edy. Setelah mengambil kain sarung dan kupluk, buru-buru aku menuju masjid. Mengikuti solat berjamaah.


Sekeluar dari masjid, aku menonton kawan-kawan yang sedang bermain volly. Dan untuk pertama kalinya, aku ikut permainan olahraga tersebut. Kain sarung dan kupluk, aku titipkan kepada Rudy, yang saat itu tengah berjalan dari kantin menuju kamar.


Melihat aku bermain volly tanpa sepatu, Aris mengambilkan sepatunya di kamar. Dan ukurannya memang pas dengan kakiku. Semakin bersemangatlah aku.


Di tengah masih asyik bermain volly, Gerry memanggilku dari depan pintu aula. Mengajakku bermain bulutangkis.


“Main bulutangkis ini yang lebih punya nilai, bang,” kata Gerry, setengah berbisik saat aku memasuki aula.


“Emang kenapa, Gerry?” tanyaku, juga dengan suara perlahan.


“Yang main kan petinggi-petinggi rutan. Juga komandan-komandan pengamanan. Kalau kita bisa kenal baik sama mereka, amanlah hidup kita disini,” lanjut Gerry seraya tersenyum.


Aku pun tersenyum. Benar-benar cerdik Gerry ini. Pengusaha tour travel yang harus meninggalkan aktivitas kesehariannya, karena tersangkut kasus narkoba. Meski demikian, kegiatan usahanya tetap terus berjalan. Yang kini ditangani oleh istri dan karyawan-karyawan setianya. 


Dan hebatnya, Gerry sendiri terus bisa melakukan lobi-lobi kepada berbagai pihak, baik instansi pemerintah maupun swasta, melalui telepon seluler yang ada di kamar selnya. Praktis, usaha tour travelnya nyaris sama sekali tidak terganggu aktivitasnya, meski ia kelola dari balik terali besi.


“Bang Mario, kesini,” tiba-tiba suara Gerry menyadarkan aku dari lamunan tentangnya.


Aku pun melangkah ke tempat Gerry berdiri. Disampingnya ada beberapa pria. Ia perkenalkan aku kepada mereka. Ternyata benar. Mereka adalah petinggi-petinggi rutan tempat kami tinggal saat ini.


Akhirnya, aku pun bermain bulutangkis. Berpasangan dengan Gerry, melawan para petinggi rutan. Benar-benar terkuras tenagaku. Karena belum terbiasa mengelola nafas dalam olahraga ini.


Ketika suara adzan Maghrib terdengar, aku pun berpamitan. Meninggalkan Gerry dan para petinggi rutan yang masih melanjutkan permainannya. 


“Besok sore kita main lagi, pak Mario. Penasaran saya, bisa kalah sama pak Mario,” kata seorang petinggi rutan sambil mengepalkan tangannya. Menunjukkan semangat juang tinggi.


“Siap perintah,” sahutku, dan bergegas meninggalkan aula untuk kembali ke kamar.


Selepas mandi, aku buru-buru berlari ke masjid. Tidak ingin tertinggal solat berjamaah. Dan melanjutkan dengan membaca Alqur’an, hingga Isya datang. Setelah solat jamaah Isya, baru aku kembali ke kamar. (bersambung)

LIPSUS