Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 251)

Kamis, 08 September 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang


SESAMPAI di kamar, aku langsung mandi. Sunah jum’at. Memakai baju koko, berkain sarung terbaru kiriman istriku, dan menggunakan kupluk, serta membawa sajadah, aku berniat untuk langsung menuju masjid. Saat akan keluar kamar, Rudy berdiri di pintu.


“Om, itu sarapan nasi kuningnya kayak mana? Mau dimakan nanti, apa dikasih ke orang yang butuhin,” kata Rudy, sambil menunjuk bungkusan nasi kuning yang ada di meja ruang depan.


“Kasih ke orang yang butuhin aja, Rud. Sedekah jumuah,” jawabku, pendek.


“Siap, om. Tunggu Rudy sebentar sih, om. Biar bareng ke masjidnya,” kata Rudy lagi, dan bergegas ke kamar mandi.


Aku duduk di kursi taman depan kamar. Pak Sibli dan Ino dari kamar 19 sudah keluar. Bergabung duduk di sampingku. Juga Heru dari kamar 18. Tidak lama kemudian, pak Edy datang. Tampilan pria yang tersangkut kasus mafia tanah ini, sangat berbeda. Memakai baju gamis panjang dan berkopiah haji. Dengan surban melingkar di lehernya.


“Kirain syeh dari Yaman, pak Edy,” ucap pak Sibli seraya tersenyum, melihat penampilan pak Edy yang tidak biasanya.


“Kalau sudah pakai kayak gini, siapa nyangka kalau aku ini penjahat ya,” sahut pak Edy, dan tertawa. Ngakak.


“Bener kata orang, jangan kita terpesona sama tampilan orang ya, pak Edy. Karena tampilan luar itu, sering menipu siapa sebenernya orang tersebut,” Heru menimpali. Juga sambil tertawa.


“Sebenernya, bukan salah yang berpenampilan, Ru. Tapi salah yang ngenilainya. Cuma, seringkali kita lebih suka nyalahin orang ketimbang nyalahin badan sendiri,” sahut pak Edy dengan santai.


Setelah Rudy keluar dari kamar, kami pun berjalan bersama menuju masjid. Sesampai di ruang pintu masuk blok, ada beberapa orang yang juga telah siap ke masjid. Namun, mereka masih menyempatkan diri untuk menonton siaran televisi. Film India.


“Ayo lagi, Dika. Niat ke masjid, kok malah berhenti disini,” kataku kepada Dika, yang duduk anteng sambil matanya menatap layar televisi.


Spontan, anak muda itu berdiri. Dan setelah menyalamiku, ia bergabung. Kami berjalan bersama ke masjid. Puluhan anggota majelis taklim berjalan dengan berbaris rapih menuju masjid, sementara belasan penghuni rutan lainnya baru keluar dari pintu blok masing-masing. Panggilan untuk solat Jum’at, demikian kuatnya menggerakkan anak manusia yang ada di rutan.


Khotib solat jum’at kali ini, ternyata, sengaja didatangkan pihak rutan dari luar. Seorang penceramah yang cukup kondang di daerah ini. Ia mengingatkan pentingnya untuk terus bersyukur.


“Syukuri semua yang ada pada diri kita secara terus-menerus. Caranya, dengan menggerakkan semua yang ada untuk kebaikan di jalan Allah. Gunakan kaki untuk melangkah ke masjid, tangan untuk berbuat kebaikan, mata untuk melihat yang baik-baik, telinga untuk mendengar hal-hal yang positif saja,” ujar khotib berusia sekitar 45 tahunan itu.


Menurutnya, tidak ada alasan apapun bagi penghuni rutan untuk berkecil hati. Justru posisi ini seharusnya tetap disyukuri. “Allah menghukum kita di dunia atas dosa dan salah kita, karena Dia sayang dengan kita. Dia beri kita kesempatan untuk bertaubat dan perbaiki diri ke depan. Jadi kita tetap harus bangga karena disayang Allah dan diberinya kesempatan di dunia untuk bertaubat. Alangkah celakanya kita, jika tidak diberi kesempatan bertaubat hingga ajal tiba,” lanjutnya dengan suara kencang.


Ditambahkan, jika kita banyak diberi nikmat kehidupan, kita tak akan pernah dapat memahami bagaimana beratnya mereka yang kehidupannya banyak diberi ujian oleh Allah, sampai kita sendiri merasakan ujian seperti mereka diuji.


“Maka, bersikap lembutlah, serta banyak mendoakan kebaikan untuk mereka yang banyak diberi ujian. Dan jangan kita menunggu sampai Allah mencabut nikmat barulah kita melembutkan hati,” ujarnya lagi.


Khotib mengingatkan perlunya istiqomah dalam meraih kebaikan. Karena akan ada masanya, doa-doa diwujudkan dengan manisnya oleh Allah. Akan ada masanya kesedihan diganti kebahagiaan.


“Untuk sampai kepada masa itu, tetaplah menenun kesabaran dan menjadikan solat sebagai penolong terbaik. Janji Allah itu pasti, yang sering terjadi kita sendiri terburu-buru pergi sebelum janji itu terpenuhi. Akibat kurangnya ilmu dan sabar yang kita miliki,” tutur sang khatib.


Mengakhiri khutbahnya, ulama terkenal itu mensitir pernyataan Imam Syafi’i. “Mata yang memandang dengan tatapan ridha itu, tumpul terhadap setiap kecacatan. Tetapi, mata yang memandang dengan tatapan benci, akan menampakkan setiap kejelekan.”


Sekeluar dari masjid, tanganku digamit oleh pak Edy. Diajak ke kantin. Untuk makan siang serta berdiskusi. Setelah memesan nasi dengan lauk telor bulat sambel ditambah kerupuk, dan sayur asem, kami duduk di pojok kantin.


“Aku mau tuker pikiran sama babe,” kata pak Edy, di sela-sela kami makan siang.


“Maaf, pak Edy. Aku nggak mau pikiranku dituker sama pikiran pak Edy. Karena pasti nggak nyambung sama badanku,” sahutku, bercanda.


“Maksudku, kita sharing, be. Bener juga ya, masak pikiran kita mau dituker,” ujar pak Edy dan tertawa.


Setelah beberapa kali menyuapkan nasi ke mulutnya, baru pak Edy memulai ceritanya. Ia mengaku sangat mengkhawatirkan anak sulungnya, yang sudah terbiasa pulang ke rumah menjelang dinihari.


“Aku dapet laporan dari ibunya, be. Ibunya sudah kehabisan akal buat kasih tahu itu anak. Dia khawatir, anaknya berbuat atau terlibat hal-hal yang nggak bener,” lanjut pak Edy.


“Emang sudah sejak dulu biasa pulang jelang pagi, apa baru pas pak Edy masuk penjara ini,” kataku, menanggapi.


“Sebenernya sih sejak dulu, be. Sejak dia masih SMA. Sekarang sudah kerja dan emang sudah selesai kuliah. Ibunya khawatir, kebiasaannya itu bakalan terbawa seumur anaknya. Padahal kan dia juga pasti mau berumahtangga. Gimana nanti istrinya kalau suaminya baru bisa betah di rumah pas sudah mau subuh,” urai pak Edy.


“Nggak usah dipusingin, pak Edy. Masing-masing orang punya karakternya. Apalagi anak pak Edy kan sudah dewasa. Pasti dia tahu semua baik-buruknya,” jawabku, enteng.


“Gimana kalau sampai terjadi apa-apa coba, be. Aku masih di penjara gini,” ucap pak Edy dengan wajah serius.


“Nggak usah berandai-andai, pak Edy. Kalau anak itu masih SMA, iyalah kita patut khawatir. Kalau sudah dewasa, ya biar-biar aja. Ngapain nambah-nambah kepusingan pak Edy,” tanggapku.


“Gitu ya, be. Tapi bener juga sih, lebih baik ya dibiarin aja. Karena beberapa kali aku telepon dan nasihatin, dia cuma jawab iya-iya aja. Dijalanin juga nggak,” ucap pak Edy.


“Pikirin dan kasih perhatian aja sama anak yang emang punya peduli, taat dan disiplin. Yang mbalelo, ya biarin aja. Lagian, pak Edy kan banyak anaknya. Kenapa jadi pusing gara-gara satu anak, nggak imbang itu namanya,” lanjutku.


“Anakku ada enam, be. Yang kita obrolin ini, anak satu-satunya dari istri pertama. Dari istri kedua, dapet tiga anak, dan dari istri terakhir, yang baru minta cerai bulan kemarin, ada dua anak lagi. Kalau sekarang, statusku jomblo,” urai pak Edy, sambil tersenyum.


“Kalau aku punya prinsip, sepanjang masih mau dikasih tahu untuk kebaikan, ya terus diberi masukan soal begitu ribetnya urusan hidup di dunia ini, pak Edy. Tapi kalau sudah dewasa, dan nggak mau peduli, ya biar aja dia dengan sikapnya. Toh, pada akhirnya dia sendiri yang bakal jalani kehidupannya, bukan kita lagi,” tuturku.


“Iya juga sih, be. Aku pernah konsultasi soal anakku ini sama kawan di kamar. Dia kasih aku bahasa kiasan kayak gini: kamu nggak tenggelam waktu jatuh ke dalam air, kamu tenggelam kalau hanya diam disana. Jadi, beranjaklah dari apa-apa yang nggak pernah jadiin kamu apa-apa,” ucap pak Edy dengan wajah serius. (bersambung)

LIPSUS