Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 253)

Sabtu, 10 September 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang     


SOLAT Ashar petang itu penuh sesak oleh jamaah. Hampir dua ratus orang yang sujud bersamaan di masjid dalam kompleks rutan tersebut. Membuatku mendapati rasa keharuan tersendiri. Lantunan doa yang menutup prosesi peribadatan pun, berlangsung penuh dengan kehidmatan. 


Pun saat disampaikan kultum oleh ustadz Umar, hanya beberapa jamaah saja yang meninggalkan masjid. Mayoritas tetap menyimak pengisian jiwa akan keagamaan itu, dengan kehusu’annya. 


Ustadz Umar menyampaikan pentingnya menjaga solat. Karena ibadah khusus yang diberikan kepada umat Nabi Muhammad SAW itu, bukan hanya sekadar wujud pengakuan seorang hamba kepada Khaliqnya, tetapi juga obat bagi jiwa yang hampa, pikiran yang bimbang, dan hati yang terluka. 


“Mari jadikan solat sebagai kebutuhan yang sakral untuk lahir batin kita. Karena hanya dengan solat inilah kehidupan dunia dan akherat yang baik, akan bisa kita miliki,” tutur ustadz Umar.


Selain solat, menurut ustadz Umar, seorang hamba juga harus menghiasi dirinya dengan kesabaran. Dan puncak kesabaran adalah ketika kita bisa diam, padahal didalam hati ada luka yang berdarah-darah.


“Puncak keikhlasan adalah ketika kita bisa berdamai, padahal hati kita dipenuhi oleh rasa kecewa. Dan puncak keberanian adalah ketika kita bisa tersenyum, padahal di sudut mata ada seribu tetes air mata,” tuturnya lagi.     


7Menutup kultumnya, ustazd Umar menyampaikan pendapat ulama terkenal, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, yang terdapat di dalam buku Syarah Ta’dzim al-Ilmi: pokok semua kebaikan dunia dan akherat adalah ilmu dan keadilan, dan pokok semua keburukan dunia dan akherat adalah kebodohan dan kedzaliman.      

Saat akan meninggalkan masjid, tiba-tiba ada yang menepuk bahuku dari belakang. Ternyata, pak Hadi. 


“Oh, pak Hadi. Maaf, nggak ngelihat kalau ada pak Hadi,” kataku, dan segera menyalaminya.


“Dari tadi saya perhatiin pak Mario. Kayaknya kalau lagi dengerin kultum, serius bener. Sampai beberapa kali saya coba tegor, nggak ngelihat juga,” sahut pak Hadi, sambil tersenyum.


“Yah, dengerin kultum itu buatku kayak lagi belajar di kelas, pak. Jadi harus serius emang,” kataku, juga dengan tersenyum.


Pak Hadi mengajakku berolahraga seusai menaruhkan kain sarung di kamar masing-masing. Maka, petang itu, kami jogging mengitari lapangan sebanyak 15 kali putaran. Dilanjutkan dengan mengangkat barbel di Blok C, tempat pak Hadi. 


Kami berbincang ringan di taman yang ada di Blok C sambil mengeringkan keringat di badan. Beberapa kali aku coba mengajaknya bicara soal keluarga, pak Hadi tampak selalu mengelak. Pria lowprofile ini memang dikenal sangat tertutup mengenai keluarganya. 


Keasyikan kami berbincang kesana-kemari menjadi terpotong, saat datang dua pria berkepala plontos dengan badan relatif kekar. Hendri dan Agus. Dua tahanan yang baru beberapa hari masuk rutan. Yang memang aku kenal sejak sama-sama di polres.


“Selamat sore, be. Maaf ganggu,” kata Hendri, dan langsung menyalamiku, juga pak Hadi. Agus pun melakukan hal yang sama.


“Sore juga. Sehat-sehat ajakan kalian. Masih di AO ya,” kataku, dan mempersilahkan mereka duduk di kursi panjang yang ada di taman Blok C, yang asri.


“Alhamdulillah, kami sehat aja, be. Iya masih di AO. Doain kami bisa segera pindah ke kamar penaling ya, be. Lama-lama di AO nggak tahan juga,” kata Agus, sambil tersenyum kecut.


“Kalau nggak ada yang ngurus, pastinya lama di AO itu, pak,” ucap pak Hadi, menyela.


“Anakku sudah ngurus kok, pak. Kebetulan dia juga sipir. Cuma emang nggak tugas disini. Kalau kata dia, paling lama tiga hari lagi kami di AO. Karena kamar penaling masih penuh,” lanjut Agus.


“Syukur kalau sudah ada yang ngurus. Setahu saya, siapapun yang ngurus, ya harus tetep ada uangnya, pak. Kalau soal kamar penaling penuh, itu alasan aja,” jawab pak Hadi, dengan enteng. 


“Jadi, nggak bener ya, kalau kamar penaling penuh itu?” tanya Hendri dengan mengernyitkan dahinya.


“Kan disini emang nggak ada aturan yang jelas, pak. Setiap kamar maksimal isinya berapa. Sepanjang tahanan masih bisa lurusin badan buat tidur, ya masih dianggep layak diisi lagi,” jelas pak Hadi.  


“Ada saran buat kami, pak,” kata Agus sambil memandang pak Hadi.


“Minta anaknya dateng lagi, dan ngurusnya kasih uang juga. Baru bisa lancar. Kalau cuma minta tolong aja, walau sama-sama petugas, nggak bakal dilayani dengan cepet,” ucap pak Hadi.


“Kok sampai segitunya ya, ternyata di rutan ini, pak,” Hendri menyela.


“Namanya juga dunia dalam dunia, pak. Maka dibawa santai aja. Kalau semua masalah dipikirin dan diberatin, malahan jadi stres. Pastinya, rutan ini bukan lembaga sosial, jadi nggak ada yang gratis. Simpelnya gitulah,” sambung pak Hadi. Ada seulas senyum kecut tampak di sudut bibirnya.       


Seorang tamping pos keamanan datang. Memberitahu pak Hadi bila ditunggu komandan di pos penjagaan luar. Dengan gerak cepat, pria yang pernah sukses besar di dunia bisnis kopi ini pun meninggalkan kami.


Setelah berganti pakaian dan merapihkan rambutnya, pak Hadi berjalan berdampingan dengan tamping yang menyusulnya. Tinggal aku, Hendri dan Agus yang masih duduk di kursi taman Blok C. 


“Kalau duduk diluar kayak gini, rasanya fresh ya, be. Nggak kerasa kalau kita lagi ditahan,” ucap Agus, beberapa saat kemudian. 


“Aku nggak pernah bayangin kalau rutan ini ternyata punya banyak taman, banyak pohon-pohon penghijauan dan suasananya bikin mata sejuk mandang sekeliling,” kata Hendri, menimpali.


“Apa yang nggak kalian sangka itu, dulu juga pernah aku rasain. Dan belajar dari itu semua, ternyata emang kita nggak perlu bayangin hal-hal yang jelek. Tetep ada format di pikiran kalau hidup kita baik-baik aja. Soal kenyataannya pahit atau nyesekin hati, ya sudah diterima aja,” tanggapku. 


“Bener juga sih ya. Ngapain gupekin pikiran dan perasaan kita sendiri sama sesuatu yang belum tentu kejadian. Kalau kata istriku, hidup ini bukan soal manis atau pahit, tapi dari sudut mana kita mandang sebuah peristiwa. Juga bukan tentang berhasil atau gagal, tapi seberapa besar kesungguhan dalam berusaha. Dan bukan pula soal banyak atau sedikit, tapi bagaimana kita mensyukuri setiap karunia,” kata Agus dengan suara yang serius. 


Tiba-tiba terdengar suara mengaji dari masjid. Pertanda sebentar lagi adzan Maghrib. Kami pun berpisah. Aku kembali ke Blok B, sedangkan Hendri dan Agus memasuki blok khusus, AO.


Saat keduanya memasuki blok khusus, mataku berkaca-kaca. Aku tahu persis betapa beratnya berada di sel kamar yang ada. Bukan hanya dengan jumlah penghuni yang over, namun juga sarana kamar mandinya yang amat sangat tidak selayaknya. Namun itulah kenyataan di penjara. Yang sejuta keluhan dan tetesan air mata pun tiada berguna. (bersambung)

LIPSUS