Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 255)

Senin, 12 September 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang


SEKIRA satu jam, selesailah tamping melakukan pengerikan terhadap badan Rudy. Yang memang masuk angin kasep. Seluruh tubuhnya penuh warna merah gelap. 


Sebelum tamping pos jaga meninggalkan kamar, aku beri ia sebatang rokok. Dan memastikan bila biaya ia mengerik telah diberikan oleh sipir Almika.


“Iya, aku emang sudah dikasih uangnya sama om Mika kok, pakde. Terimakasih rokoknya ya. Mudah-mudahan kamu cepet sembuh, Rud. Bawa tidur aja sekarang,” ujar tamping itu dengan santun.


Sepeninggal tamping, aku minta Rudy kembali melanjutkan istirahatnya. Sempat aku tawari untuk makan malam, namun OD kamarku ini menolak. Dengan alasan perutnya masih terasa kembung. Ia khawatir, jika diisi makanan dalam kondisi seperti itu, akan membuatnya muntah. Karena ia memiliki penyakit magh yang cukup kronis.


Setelah menutupkan pintu kamar, aku naik ke kasurku. Mengambil buku dan pulpen. Menorehkan catatan harian. Sekitar 45 menit aku berada dalam keasyikan menulis, terdengar pintu kamar dibuka.


Dan sesaat kemudian, terdengar suara sepatu laras masuk. Aku paham. Ada sipir yang datang. Aku tetap diam di atas kasurku. 


“Belum tidurkan, om,” sebuah sapaan terdengar. Aku mendongakkan wajah. Ternyata sipir Mirwan yang datang.


“Belum. Lagi nulis aja,” sahutku, dan bangun dari kasur. Duduk bersandar dinding kamar.


Sipir Mirwan duduk di lantai tempatku tidur. Ia melepas sepatu larasnya. Ia buka kantong jaket tebalnya. Dikeluarkannya satu bungkusan. Berisi roti dan dua bungkus rokok.


“Ini buat om. Tadi pas di jalan mau piket, kehujanan. Jadi neduh di warung. Sekalian beli roti sama rokok,” kata Mirwan, sambil menyerahkan bawaannya kepadaku.


“Alhamdulillah. Terimakasih banyak ya, Mirwan. Barokah rejekimu,” kataku, dan menyalaminya.


Sipir Mirwan membuka kantong jaket lainnya. Dikeluarkan dua kaleng minuman kopi.


“Malem ini kita ngopi kalengan aja, om. Sesekali minum kayak gini, nggak apa-apa. Asal jangan keseringan,” ujarnya, seraya tersenyum.


“Kamu ini ada aja bawaan lo, Mirwan. Kalau terus-terusan kayak gini, habis gajimu,” kataku, juga tersenyum.


“Nah, ini yang mau aku ceritain sama om. Aku ngerasain aneh aja selama ini. Sejak kenal om dan bawain om rokok atau makanan, kok setelahnya pasti ada aja aku dapet rejeki. Yang jumlahnya bisa berkali-kali lipat dari yang aku keluarin kalau kasih om,” tutur sipir Mirwan dengan suara serius.


“Oh ya. Alhamdulillah. Berarti sedekahmu buat om barokah itu. Allah meridhoi dan mengganti dengan secepetnya kebaikanmu, karena hatimu tulus,” tanggapku dengan wajah ceria.


“Gitu ya, om. Syukur kalau gitu. Emang aku juga heran, kok gitu kenal om, rasanya langsung deket. Dan kalau pas piket, selalu aja pengen bawain apa gitu buat om. Padahal, aku sudah empat tahun tugas disini, dan baru sekali ini ngalami yang kayak gini,” lanjut Mirwan tetap dengan serius.      


“Itulah seninya kehidupan, Mirwan. Banyak hal yang nggak bisa dihitung pakai rumus matematika. Dan kalau kita sudah meyakini jika apapun itu sudah diatur sama Yang Maha Pengatur, enjoy aja kita lakoni hidup ini,” kataku lagi. 


“Iya, bener itu, om. Semua yang datang, sebenernya bawa hikmah. Cuma kita lebih sering peka kalau itu dibungkus dalam bentuk rasa sakit. Dan entah kenapa, aku kok ngerasain sakitnya om jalani hidup di penjara ini,” ujar Mirwan lagi. 


“Om pernah baca sebuah buku, Mirwan. Disana dituliskan, Luqman berkata kepada anaknya: wahai anakku, ada tiga macam orang yang tidak bisa dibuktikan kecuali dalam tiga keadaan. Yaitu, orang yang lemah lembut tidak terbukti kecuali ketika ia marah. Orang pemberani tidaklah terbukti kecuali saat berperang, dan orang yang benar-benar saudara tidaklah terbukti kecuali saat kita sedang membutuhkan. Perkataan Luqman itu terbukti dengan hadirnya kamu sebagai seorang saudara buat om,” uraiku kemudian.


“Subhanallah, ternyata om ini kutu buku juga ya. Nggak nyangka aku. Bener kata ibuku, orang ikhlas itu nggak usah ngomongin dirinya kesana-kemari agar dikagumi. Jika perkataan dan perilakunya sudah bener-bener dari hati, maka diamnya pun akan disegani dan dihormati,” tanggap sipir Mirwan dan tersenyum lepas.


“Ngomong-ngomong, kamu sudah berapa lama jadi sipir?” tanyaku, mengalihkan pembicaraan.


“Masuk enam tahun ini, om. Kalau tugas disini, sudah tahun keempat,” kata Mirwan, sambil meneguk kopi dari kaleng ditangannya.


“Kok kamu bisa jadi sipir, gimana ceritanya? Emang cita-cita atau terdampar dengan profesi ini,” lanjutku.


“Sebenernya karena dendam sih, om,” ucap Mirwan, dengan kalem.


“Maksudnya?” tanyaku, dengan cepat.


“Dulu, kakakku pernah kena masalah dan ditahan. Dia dianiaya sama sipir sampai babak-belur dan setelah sempet dirawat di rumah sakit sekitar seminggu, dia ninggal. Sejak itu, aku bertekad untuk jadi sipir juga. Dendamku membara bener,” kata Mirwan, memperjelas.


“Kok dendam sama sipir malah mau jadi sipir, gimana logikanya,” ucapku, penuh keheranan.


“Aku pengen jadi sipir yang baik, om. Apalagi sesuai tupoksinya, sipir itu nggak boleh aniaya tahanan. Seberat apapun kesalahan tahanan, dilarang main tangan. Ada pola-pola pembinaan dan pemberian sanksi yang sebenernya tetep manusiawi. Nah, sejak aku dilantik jadi sipir, aku terapin profesi sipir yang humanis. Aku manusiakan semua tahanan. Kan yang ditahan itu semua manusia. Sama kayak aku,” tutur Mirwan, panjang lebar. 


“Hasilnya kayak mana dengan pola dendammu yang berbalik 360 derajat dari dendam kebanyakan itu?” tanyaku, penasaran. 


“Alhamdulillah, om. Pelan tapi pasti, perilaku sipir terus ada perbaikan. Aku tebarin semangat pengabdian pada sesama sipir. Kita ngabdi sama orang-orang yang bermasalah dengan hukum. Dengerin ceritanya, deketin hatinya, dan pelan-pelan kita bawa ke arah kebaikan. Berkat dukungan banyak kawan-kawan, akhirnya banyak sipir yang malu sendiri kalau perilakunya nggak sesuai SOP,” jelas Mirwan dengan nada bangga.


“Aneh emang apa yang kamu lakuin, Mirwan. Tapi apapun itu, om angkat topi atas caramu wujudin dendam. Kamu telah lakuin sesuatu yang terbalik dari kebiasaan orang. Nggak lazimlah, sederhananya. Dan om yakin, cuma orang-orang terpilih aja yang punya keberanian buat lakuin sesuatu yang kontroversial kayak gini,” tanggapku, seraya mengacungkan jempol ke arah Mirwan.


“Kalau aku sih, lakuin sesuatu yang ku yakini sejak awal itu, lillahi ta’ala aja, om. Aku pernah diajak kawan-kawan buat ngerjain tahanan, tapi aku tolak. Sampai aku dimaki-maki sama mereka. Aku pernah diisuin minta sesuatu sama tahanan, sampai disidang sama pimpinan. Aku nggak gentar. Aku sadar, ngelawan arus pada awalnya. Namun, aku yakin, arus itu akan berbalik mendukungku. Dan perlahan, keyakinanku terbukti. Sekarang, mayoritas sipir berperilaku humanis. Walau, ya tetep masih ada aja yang sok-sok-an,” kata Mirwan dengan panjang lebar. 


Aku terdiam. Ku pandangi sipir berusia 35 tahunan itu, dengan lekat-lekat. Tampak wajahnya yang keras menyimpan ketenangan. Sebuah keteduhan yang nyaris tidak menunjukkan riak sekecil apapun. 


“Om mau selalu terlihat tenang?” tanya Mirwan, tiba-tiba. Matanya menatap wajahku dengan serius. Spontan, ku anggukkan kepalaku.


“Hilangkanlah rasa takut kepada makhluk dari hati, maka om akan tenang dengan rasa takut kepada Allah. Dan hilangkan berharap kepada makhluk dari hati, maka om bakal rasain kenikmatan dengan hanya berharap kepada Allah,” ucapnya, dengan suara yang tegas.


Ku anggukkan kepalaku. Begitu dalam pelajaran kehidupan yang disampaikan sipir Mirwan. Dan saat itu, baru aku menyadari, makna rutan sebagai dunia dalam dunia, ternyata sangatlah luas.


Tidak melulu soal kekerasan, persaingan, keterpurukan, maupun keterhinaan. Namun juga, penyadardirian akan kenisbian seorang makhluk, penghambaan kepada Sang Pencipta yang terbebaskan dari kepura-puraan dan formalistik persujudan, serta percikan pengetahuan yang menguatkan jiwa dan pikiran. (bersambung) 

LIPSUS