Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 315)

Jumat, 11 November 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang


INI tadi bunda buru-buru kesini karena mau lapor ke ayah. Bunda dapet tugas dinas luar dari kantor. Berangkat nanti sore sampai Kamis pagi baru pulang. Pas nuju kesini, telepon Laksa. Kebetulan dia bisa selahin waktu, jadi kami berdua bisa nemuin ayah,” kata istriku lagi.


“O gitu. Laksanain tugas kantor itu, bunda. Ayah izinin, juga doain,” kataku, dengan tegas.


“Alhamdulillah. Terimakasih ayah kasih izin buat bunda. Nanti dari sini bunda baru lapor ke atasan, kalau bunda bisa ikut dinas luar itu. Tapi, bunda pulangnya Kamis lo, ayah. Hari itu kan ayah mau sidang lagi,” ucap istriku, dan memandangi wajahku dengan tatapan serius.


“Ayah sidangnya kan pasti sudah agak sorean, bunda. Kalau bunda sempat, ya dampingi ayah di pengadilan. Tapi kalau nggak bisa, ya nggak apa-apa. Inshaallah Laksa kan bisa tetep temeni ayah. Iya kan, dek,” tanggapku, dengan santai.


“Siap, kak. Inshaallah, aku bisa dampingi kakak sidang lagi hari Kamis nanti,” jawab Laksa dengan cepat dan tegas.


“Alhamdulillah. Jadi bunda konsentrasi aja sama tugas kantornya ya. Nggak usah diberatin soal ayah ikuti sidang. Lagian, Laksa bisa dampingi ayah kok,” tuturku, dan mencium kepala istriku dengan penuh kebanggaan.


“Terimakasih ya, ayah. Bunda usahain tetep bisa dampingi ayah waktu sidang. Tapi kalau nggak bisa, maafin ya ayah,” ujar istriku, sambil memelukku dengan erat.


“Santai ya, bunda. Prioritas bunda lakuin yang terbaik dalam urusan pekerjaan. Apalagi dipercaya atasan ngewakili dalam tugas dinas luar ini. Soal ayah disini, nggak usah jadi pikiran. Yakin aja, semuanya berjalan sesuai alurnya,” kataku, dan juga memeluk erat istriku Laksmi.


Tiba-tiba telepon seluler istriku berdering. Dari atasannya. Diminta segera ke kantor untuk menyiapkan surat perjalanan dinasnya, setelah istriku menyampaikan bila ia siap menjalankan tugas tersebut. 


“Maaf, ayah. Nggak bisa lama ketemu ayah,” kata istriku dengan nada sedih.


“Nggak apa-apa. Ayah paham bener dengan posisi bunda. Lakuin yang terbaik dalam tugas. Apalagi ini memang masih jam kerja. Doa ayah selalu dampingi bunda,” ucapku dan memeluk serta mencium istriku.


Beberapa saat kemudian, istriku dan Laksa pun berpamitan. Kami diantar kabag umum sampai pintu terakhir keluar rutan. Setelah istriku dan Laksa menuju parkiran kendaraan, aku pun berpamitan. Untuk kembali ke kamar. 


Kabag umum memanggil seorang tamping yang bertugas di ruang P-2-O. Memerintahkannya mengawalku sampai di kamar. Dan satu kantong plastik besar berisi berbagai makanan serta minuman ringan pemberian istriku dan Laksa, dibawakan oleh tamping itu. 


Tepat saat aku masuk ke dalam kamar, suara adzan Dhuhur terdengar dari masjid. Setelah menaruhkan makanan dan minuman ke lemari tempat penyimpanan, aku langsung berwudhu. Rudy masuk kamar dengan terburu-buru, dan juga bersiap untuk solat berjamaah. Seperti biasa, aku dan Rudy mengikuti solat di masjid. Dan seusainya, langsung kembali ke kamar.


Selepas apel siang, pak Sibli minta dibukakan pintu untuk berbincang denganku mengenai rencana tahlilan nanti malam. Kami berbagi tugas dalam mengundang beberapa tahanan. Dan setelah pak Sibli kembali ke kamar, aku merebahkan badan. Tidur siang.


Kenyenyakanku berakhir setelah Rudy membangunkan untuk solat Ashar berjamaah di masjid. Begitu selesai solat, ustadz Umar mengajak semua jamaah untuk membaca yasin dan tahlil. Mendoakan almarhumah ibu pak Anas.


Aku dan Rudy berpandangan. Tidak menyangka bila kabar wafatnya ibu pak Anas sampai ke telinga imam masjid rutan serta ditindaklanjuti dengan secara khusus membaca surah yasin dan tahlil untuk almarhumah. 


Sekitar 50 jamaah dipimpin ustadz Umar membaca surah yasin dilanjutkan dengan tahlil, dan ditutup oleh doa. Pak Anas yang duduk dengan tenang di samping ustadz Umar, tampak beberapa kali mengusap matanya. Yang dipenuhi oleh air kesedihan.


Sambil berjalan menuju kamar, Rudy menyatakan kekaguman atas besarnya perhatian ustadz Umar terhadap pak Anas. Sehingga secara khusus dan mendadak mengajak semua jamaah mendoakan almarhumah ibunya.


“Kalau nurut om, sebenernya nggak cuma ke pak Anas perhatian ustadz itu, Rud. Kebetulan, pak Anas sekarang sudah ikut ngurus majelis taklim. Mungkin, sebelumnya ada obrolan mereka dan pak Anas nyampein kalau dia tengah berduka. Sebagai seorang pemimpin, ustadz langsung berinisiatif, dan itu sangat positif,” kataku, dengan panjang lebar.


“Maksudnya, kalau ada keluarga tahanan wafat dan ustadz tahu, bisa juga beliau ngajak jamaah baca yasin dan tahlil ya, om,” ujar Rudy.


“Iya, nurut om sih bisa aja, Rud. Sepanjang ustadz Umar tahu, pasti beliau akan mengajak kita yang berjamaah, untuk ngaji dan berdoa. Masalahnya kan, kalau tahanan itu nggak pernah ke masjid, ya nggak pas juga kalau dia minta keluarganya yang meninggal minta didoakan,” tanggapku.   


Sesampai di kamar, aku langsung mandi. Dan berkain sarung. Duduk di kasur. Melanjutkan membaca Alqur’an. Hingga terdengar suara Aris di depan kamar. Mencariku.


“Om Mario lagi ngaji, om. Kalau ada perlu-perlu, sampein aja ke Rudy, nanti Rudy sampein ke om Mario kalau dia sudah selesai ngajinya,” terdengar jawaban Rudy.


“Emang nggak bisa diganggu sebentar ya kalau babe lagi ngaji, Rud?” tanya Aris dengan suara agak kencang.


“Nggak bisa, om. Ada dua kegiatan om Mario kalau diganggu dia bakal marah. Waktu dia lagi ngaji dan kalau dia lagi nulis,” kata Rudy dengan tegas.


“Oke kalau gitu, Rud. Ketimbang babe marah, baikan nanti aja habis maghrib om kesini lagi,” ucap Aris, dan sesaat kemudian terdengar suara sandalnya menjauh dari kamarku.


Aku meneruskan membaca Alqur’an. Yang sempat terhenti karena mendengarkan pembicaraan Aris dan Rudy. Aku pun mencoba memahami, bila kehidupan dan waktu adalah dua guru terbaik. Hidup mengajarkan kita untuk memanfaatkan waktu, dan waktu mengajarkan kita akan nilai kehidupan.


Suara adzan Maghrib mengalun syahdu. Seakan menghantarkan senja yang datang dengan keindahannya, akan segera berlalu. Dan akan tergantikan dengan kehampaan malam yang sunyi.


Setelah menaruh Alqur’an di tempatnya, aku pun bergegas ke kamar mandi. Wudhu. Dan bersama Rudy, menuju ke masjid. Pada saat kami menyelusuri selasar, terdengar suara Aris memanggil.


Setengah berlari, mantan anggota Dewan yang Terhormat itu, mengejar aku dan Rudy yang berada beberapa langkah di depannya. Ia langsung mengambil posisi di tengah-tengah, antara aku dan Rudy.


“Tadi aku ke kamar, be. Mau lapor. Cuma kata Rudy, babe bisa marah kalau lagi ngaji atau nulis, ada yang ngeganggu. Jadi aku batalin,” kata Aris, seraya menata napasnya yang masih ngos-ngosan.


“Emang apa yang mau kamu sampein, Ris?” tanyaku.


“Soal bingkisan buat tahlilan nanti malem itu, be. Nggak jadi aku pesen 30 bungkus. Aku tambah jadi 50. Nggak apa-apa ya, be. Lebih baik sisa banyak daripada kurang,” jelas Aris.


“Alhamdulillah. Itu malah lebih bagus, Ris. Pahalamu makin banyak. Kirain mau lapor, nggak jadi pesen 30 bungkus, bisanya cuma 10 aja,” jawabku, seraya tersenyum. 


Spontan Aris dan Rudy tertawa. Ngakak. Mendengar jawabanku. Dan beberapa saat kemudian, kami telah memasuki masjid. Untuk solat maghrib berjamaah. (bersambung)

LIPSUS